Life-Wrecked

“Usia itu bukan penentu kedewasaan seseorang,”

Di beberapa kondisi gue sangat setuju dengan quote itu, tetapi dikondisi yang lain, ternyata memang usia itu menentukan kedewasaan kita. Ada yang terlahir dengan sikap dan ketegasan dalam memilih jalan hidup dan menghadapi kehidupan, ada juga yang mengarungi tujuh samudera untuk bisa menemukan sebuah jati diri dan ketegasan dalam menentukan sikap.

Bertambahnya umur berarti sebuah titik di mana disitu kita pada akhirnya akan memilih, apakah kita akan maju ataukah tetap ditempat kita berada sekarang. Tapi yang jelas, bertambahnya usia itu berarti bertambahnya pengalaman. Pengalaman yang bertambah membuat kita mengerti bagaimana harus bersikap, bagaimana harus menentukan sikap dan menemukan jati diri kita sebenarnya.

Gue belakangan ini memang lagi down banget karena beberapa sejarah dalam hidup gue terulang dengan serta merta. Menyerbu dari belakang dan depan. Menusuk jantung gue dan melumpuhkan daya pikir gue. Nggak cuma satu. Tapi lebih dari satu. Masalah demi masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik karena sudah pernah terjadi datang. Tetapi butuh waktu berpikir, butuh keteguhan hati yang cukup kuat untuk bisa membuat masalah itu menjadi sebuah anugerah. Dan kondisi gue sekarang sedang tidak berada dalam pikiran yang waras dan hati yang teguh.

Gue selalu mencoba untuk belajar dari pengalaman gue—Ya, walaupun sebenarnya hal itu sulit untuk dilakukan... Jeongmal...

Suatu ketika pas SMP gue pernah sangat bodoh melakukan hal yang benar-benar membuat hubungan gue dan temen baik gue hancur. Masalah simpel anak SMP, jodoh-jodohin si A dan si B. Dan dari situ gue belajar bahwa nggak semua orang suka di jodoh-jodohin. Nggak semua orang suka di cengceng-in. Nggak semua orang bisa dibecandain. Kayak kata Abim, “Suatu saat, orang bisa marah juga...”

Waktu SMA, gue pernah dengan sangat tololnya bilang ke salah seorang temen gue kalau gue merasa nyaman kalau cerita sama dia dan jawabannya adalah 180 derajat terbalik dengan apa yang gue harapkan. Kejujuran itu yang membuat hubungan kami pada akhirnya sampai saat ini menjadi sanag sangat sangat hambar. Sensitivitas gue yang berlebihan membuat semuanya kacau. Dari situ gue belajar kalau nggak semua temen yang lo ajak share tentang masalah lo itu mau benar-benar mendengarkan dan benar-benar ingin tahu soal cerita lo. Gue setuju dengan Necha, “There is no friendship. Just friend in a same ship. But, fuck that ship has been wrecked...”


Dan sekarang, dua semester ini, gue merasa menjadi orang yang sangat bodoh. Bodoh sebodoh-bodohnya manusia. Bagaimana mungkin gue nggak belajar dari pengalaman gue? Bagaimana mungkin gue bisa lupa kalau suatu saat orang-orang bisa marah atau bagaimana mungkin gue lupa dengan konsep bahwa sebenarnya nggak semua orang mengerti tentang sensitivitas gue? Gue menghancurkan hubungan baik gue dengan beberapa orang yang notabenenya temen sekelas gue sendiri yang masih akan bareng-bareng sampe satu setengah tahun kedepan dan itu adalah suatu kebodohan yang sangat menjijikkan kalau buat gue.

Gue nggak bilang kalau mereka salah, tetapi gue juga nggak bisa bilang kalau mereka selalu benar. Gue nggak bilang kalau gue benar tapi gue juga nggak bisa memvonis diri gue kalau gue bersalah. Dua sisi mata uang yang tidak pernah akan bisa bertemu inilah yang seharusnya menjadi penyatu kita kan? Seperti uang itu sendiri. Mereka saling membelakangi, tetapi tidak pernah berpisah.

Gue seharusnya (sekali lagi) belajar dari semua itu. Gue seharusnya tahu, bahwa sensitivitas berlebihan ini salah dan sama sekali nggak bisa ditoleransi oleh siapapun. Gue seharusnya tahu sejak awal kalau nggak ada orang yang benar-benar meluangkap waktunya untuk mau mengerti sejauh mana dan seperti apa diri lo. Karena kalau aja gue mau mengerti itu, mungkin gue bisa menyelamatkan hubungan buruk dengan beberapa teman gue ini.

Kita semua punya masalah. Oh ya, tentu. Satu hal yang ingin gue dapatkan dari masalah-masalah itu adalah bahwa itu bisa membuat gue semakin mengerti bagaimana cara menyelesaikannya jika suatu saat itu terjadi lagi.

Gue tidak menyalahkan mereka atau siapapun karena ini adalah salah gue sepenuhnya. Salah gue yang tidak pernah mau belajar dan selalu berpikir bahwa semua yang ada di dunia ini mau mengerti keadaan gue (yang artinya bahwa ketika gue menangis, mereka juga akan menangis bersama gue dan ketika gue tidak ingin tertawa mereka tidak akan tertawa di depan gue—Jijiknya gue, yak?)

Dan pada satu titik nanti kita akan mengerti bahwa sebenarnya, nggak ada yang peduli kita mau berbuat apa. Nggak ada yang peduli kita mau sesedih apa. Nggak ada yang peduli masalah kita mau seberat apa. Dan pada akhirnya kitalah yang harus pintar-pintar me-manage diri dan masalah kita.

Gue jujur aja nggak suka kalau apa yang gue lakukan, yang mungkin gue nggak sengaja, menjadi topik yang dibahas oleh seseorang yang gue kenal baik. Apalagi kalau dia atau mereka membicarakan itu dibelakang gue. Terlebih lagi mereka teman...

Gue pernah bilang ke salah seorang temen gue, “Entah kenapa, gue nggak suka kalau ada orang ngomongin hal-hal jelek tentang lo di depan gue. Karena gue temen lo, gue nggak suka aja...” Tapi tadi dengan sangat ironis gue tahu kalau orang yang gue maksud dalam kalimat ditanda kutip itu membicarakan gue...

Sigh... Sebenarnya gue juga melakukan hal yang sama. Ya... gue sering membicarakan dia. Super duper sering. Atau kalau gue mau ngeles, pembicaraan tentang itu sebenarnya lebih kepada sharing ke temen lain yang gue anggep deket. Bisa nggak? #merasabodoh Tapi ya, kita memang saling membicarakan satu sama lain dan ini mulai membuat gue bingung.

Life is so hard, huh? Temen, kalau udah jadi musuh, nusuknya sakit... Tapi tunggu, dia bukan musuh gue... Dia masih temen gue...

Lalu apakah kita harus menusuk balik? Tidak... Gue lebih memilih untuk bilang ke diri gue, “Masalah klasik kan? Harusnya lo udah terbiasa, Ron. Udah berapa kali begini? Satu? Dua? Tiga? Countless?”

Dan yang paling gue nggak suka adalah ketika gue sedang berjalan sendirian di sebuah gang sempit dan bertemu dengan salah seorang teman yang sangat sangat sangat sangat gue kenal baik dan dia kenal gue dengan baik, kemudian kami hanya saling menyapa cuma dengan lambaian tangan. Useless rasanya hidup ini...

Kemudian gue berpikir, memang sebaiknya hidup saja di dunia maya. Tidak akan pernah ada teman yang tidak menyapa satu sama lain. Tidak akan pernah ada teman yang menusuk dari belakang. Tidak akan ada teman yang membuat galau. Hidup saja di dunia maya... dan sebaiknya memang teman itu tidak berbentuk. Akan lebih mudah untuk menghadapinya...

@ronzzykevin
http://kaoskakibau.tumblr.com

Share:

0 komentar