Zona Nyaman, Rumah, dan Tempo


Kita nggak bisa selalu jadi orang yang menyenangkan setiap hari. Kadang-kadang kita juga melakukan kesalahan. Sadar atau tidak sadar. Atau kadang-kadang kita berbuat sesuatu yang kurang menyenangkan yang pada akhirnya bikin satu atau dua orang merasa tersinggung. Dalam konteks pertemanan yang sudah sangat dekat, saling singgung-menyinggung ini sebenarnya nggak akan jadi sebuah masalah besar karena biasanya masing-masing partisipan dalam lingkaran pertemanan itu punya level kabaperan yang sudah bisa dikatakan sangat minimal. Tapi dalam konteks pertemanan yang lain nggak bisa disamakan dan dipukul rata. Apalagi misalnya sama teman kerja atau teman sekelompok di kampus yang sebenarnya deket juga enggak (atau mungkin keinginan untuk dekat pun sebenarnya nggak ada) tapi dipaksa keadaan untuk berinteraksi rutin setiap hari. Well, you cannot faking your smile everyday, right? Hihihi. Ketika dihadapkan dengan orang-orang yang demikian, ada kalanya kita yang sudah berusaha untuk selalu terlihat bahagia dan selalu positif dalam hal apapun ini mendadak bermuka masam. Mendadak tidak mau senyum sama sekali. Mendadak tidak ingin berkomunikasi dengan siapapun di dunia kecuali dengan diri sendiri dan Tuhan.

Suatu hari mantan teman sekamar gue pernah update status di LINE yang gue nggak inget persisnya tulisannya gimana tapi intinya bahwa “nggak mudah untuk jadi orang yang selalu ceria setiap hari”. Meski kita seringkali punya pendapat yang berbeda tentang sesuatu, but I totally agree with what he wrote at that time.

Apalagi kalau misalnya lo tipe orang kayak gue. Yang kalau lagi ceria, dia akan terlihat sangat ceria sampai hiperaktif. Belum lama ini saking gue lagi good mood banget, gue pernah niruin dance Cherry Bomb di atas kursi yang berujung gue jatung terjungkal ke belakang bersama kursi yang gue duduki itu karena gue nyendernya kekencengan. Diketawain? Tentu saja. Temen-teman kantor, kalau dalam konteks yang sudah nyaman sama lo, pasti nggak akan repot-repot membantu lo berdiri karena mereka pasti akan sibuk tertawa dulu dan menyelesaikan tawa mereka, hingga pada akhirnya mereka nggak perlu repot-repot membantu lo berdiri karena akhirnya lo sudah berdiri sendiri. Terima kasih.
“Lo jatuhnya kenceng banget. HAHAHAHAHAHAH. Abis ini lo jangan gerak-gerak berlebihan lagi deh di kursi gue takut lo jatuh lagi. HAHAHAHAHAHHAHA.” Begitu kata Dita yang duduk di sebelah gue.
Gue sendiri sebenarnya nggak tahu kenapa orang menilai gue sebagai orang yang ceria. Soalnya kadang-kadang gue ngerasa justru gue adalah orang yang paling miserable hidupnya. Suatu hari di kantor gue pernah lagi ngisi air dari galon di pantry dan hari itu gue benar-benar nggak bad mood sama sekali. Tapi this kind of “resting bitch face” nggak bisa gue kontrol in that exact moment. Temen kantor dari divisi lain, yang kita sama sekali jarang berinteraksi di luar urusan kerjaan, kebetulan ada di pantry juga dan mau ambil air juga. Melihat wajah gue yang kayaknya bete dia langsung nanya, “Lo kenapa?” gitu. Ya gue kaget dong ya maksudnya gue nggak kenapa-kenapa mas serius deh memangnya gue kenapa ya? Gue balik nanya ke dia. “Kelihatannya lagi bad mood banget dan nggak biasanya lo kayak gitu. Yang gue tahu kan lo adalah orang yang paling ceria di kantor ini.”

Resting-Bitch-Face by Do Kyungsoo
ANJIR. ITS NOT THAT I HATE WHAT HE THINKS ABOUT ME. I THANK HIM FOR THAT. BUT HAHAHAHA ITU MALAH JADI KAYAK BEBAN BANGET BUAT GUE UNTUK MEMPERTAHANKAN KECERIAAN INI KETIKA GUE HARUSNYA LAGI BAD MOOD. NGERTI GAK MAKSUD GUE.

Gue nangkep sih poin dia. Mungkin gue adalah orang yang ekspresif. Yang berarti kalau gue lagi bete, gue nggak bisa pura-pura tersenyum atau memaksakan senyum. Ya gitu jadinya nanti pasti orang akan langsung menegur dan nanya ada apa. Gue sangat lemah untuk urusan being fake di depan orang lain. Kalau gue merasa tidak nyaman dengan sebuah situasi tertentu atau orang tertentu, gue nggak akan berusaha untuk dekat-dekat. Nggak akan repot-repot untuk beramah-tamah dengan mereka. Karena buat apa memalsukan senyum? Gue adalah tipe orang yang kalau nggak suka sama satu orang, lalu kemudian kita dipertemukan dalam sebuah situasi hanya karena kita punya circle yang beririsan, gue akan diem aja dan nggak ngomong apa-apa. Nggak ada pilihan “kecuali terpaksa” di sini. Gue akan bener-bener diam dan hanya berkomunikasi dengan Jeno, handphone gue, atau beberapa orang lain yang nggak ada masalah sama gue.

Tapi yang perlu diingat, menjadi orang yang selalu ceria dan menjadi orang yang selalu menyenangkan itu adalah dua hal yang berbeda.


Nggak semua orang terlahir dengan kepribadian yang vibrant alias selalu bersemangat, easy-going, happy-go-lucky. Semua itu bisa dibentuk dan bisa dibiasakan. Dan orang yang selalu bersemangat ini tidak secara otomatis menjadi orang yang selalu menyenangkan.

Gue sebelumnya adalah orang yang superpemalu, jarang bergaul, nggak punya banyak teman. Dua bagian terakhir sih masih tetap. Gue masih jarang bergaul dan teman-teman gue juga cuma itu-itu aja. I keep my circle small and intimate. Tapi sifat superpemalu gue sekarang sudah sangat jauh lebih berkurang ketimbang dulu. Ada banyak orang yang gue temui sepanjang perjalanan pekerjaan gue yang bikin gue jadi lebih percaya diri dan be that happy-go-lucky guy. Tapi, gue bukan orang yang selalu menyenangkan. I am human afterall. Meski gue adalah tipe yang berisik dan KLIK KLAK BADABING BADABONG banget, tapi gue adalah orang yang sangat sensitif dan punya banyak banget insecurities serta kecemasan-kecemasan berlebihan. Itu membuat gue merasa bahwa gue nggak selalu menyenangkan untuk diajak ngobrol misalnya.

Di sisi lain, ada orang yang tidak terlalu terlihat asyik dalam artian dia lebih menampilkan aura yang serius, dingin, diam, ekspresinya selalu terlihat marah misalnya, kayak salah satu teman gue, tapi ketika diajak ngobrol ternyata bisa nyambung dan bisa jadi orang yang sangat menyenangkan. Kadang-kadang gue juga terkejut ketika dia menampilkan sisi yang berbeda yang jarang dia tunjukkan sebelumnya dan dia tidak menunjukkan itu ke semua orang kalau dilihat-lihat. Hanya ke orang-orang tertentu saja. You really cannot judge a book by its cover.

Siapapun kita, entah orang yang happy-go-lucky tapi menyenangkan, happy-go-lucky tapi membosankan dan menyebalkan, atau orang yang selalu menggerutu tapi sebenarnya menyenangkan, pasti ada kalanya kita berada di titik saat dunia terasa seperti nggak bersahabat dengan kita.

Ada kalanya kita ingin lari. Ingin kabur secepat kilat. Pindah ke tempat lain meski sesaat. Menghilang dari hiruk-pikuk dunia yang sekarang kita tinggali. Berandai-andai punya jalan pintas menuju ke tempat yang ingin kita datangi itu dan bisa setidaknya berbaring di atas pasir yang hangat, yang memberikan sedikit kenyamanan di tengah kondisi yang kita pikir sudah tidak bisa kita toleransi lagi. Sometimes we just need an escape, right? Menuju sebuah tempat di mana kita rasanya bisa memberhentikan waktu dan bisa tinggal lama-lama. Tempat yang memberikan kenyamanan. Seperti rumah yang bisa selalu didatangi dan memberikan perasaan tenang dan hangat.


Belum lama ini gue bertemu dengan orang asing di sebuah kafe di Jakarta. Kita sama-sama datang ke kafe itu untuk menyelesaikan sebuah masalah. Gue berusaha untuk menyelesaikan kebuntuan gue dalam menulis sementara dia berusaha untuk menyelesaikan konflik yang sedang dialaminya dengan seseorang. Orang ini lebih muda dari gue dan obrolan kita berawal dari nanyain password wifi di tempat itu. Instead of nanya sama mas-masnya dia memilih nanya sama gue karena kebetulan gue duduk sendiri di meja sebelah dia dalam kondisi yang memprihatinkan. Itu udah nyaris tengah malam dan gue sedang tidak bisa menyelesaikan tulisan apapun untuk konten blog gue. Orang ini kemudian nanya boleh nggak dia nimbrung duduk di meja gue. Gue sebenarnya sedang menikmati waktu sendiri sih tapi karena gue sudah stuck juga mungkin gue bisa mendapatkan ide menulis lewat obrolan dengan orang asing ini.

To be very very honest, gue sangat suka ngobrol sama orang asing. Karena gue merasa gue bisa cerita apa aja ke mereka tanpa takut di-judge. Dan itulah yang terjadi malam itu. Gue menceritakan bagaimana gue buntu dalam menulis dan sudah tidak menulis berbulan-bulan di blog gue ini. Ketika dia tanya kenapa gue bilang nggak tahu.
“Tapi gue curiga alasannya adalah karena gue patah hati,” kata gue.
Nah di situlah obrolan kita jadi makin serius ke masalah perasaan. Orang ini cerita juga kalau dia sedang patah hati. Ketika gue tanya lebih lanjut soal patah hati itu, dia minta gue cerita duluan. Jadi ya gue ceritain deh itu semua yang gue tulis di posting-an sebelum ini ke dia. Setelah satu jam gue membahas kehidupan asmara gue yang nol besar itu, dia kemudian menceritakan kehidupan asmara dia yang sebenarnya jauh lebih menarik dari punya gue. In the end of the story, kita berdua sadar bahwa kita punya satu kesamaan: we both are trying to find a home. Either a place, or a person.
“Lo ngerasa nggak sih kalau kita nih, di dunia ini, cuma sekedar menjalani rutinitas membosankan yang sebenarnya tujuannya cuma buat dapat uang aja, supaya kita bisa kabur dari rutinitas ini ke sebuah tempat yang kita impi-impikan? Semacam rumah yang kita nyaman bisa ngapa-ngapain dan bahkan nggak ngapa-ngapain pun kita nyaman. Seperti orang yang selalu lo ingin temui di setiap akhir pekan karena itu adalah satu-satunya momen lo buat berbahagia setelah lima hari terkutuk di kantor,” katanya.
“Sesimpel Bandung,” jawab gue.
“Ya. Sesimpel Bandung!” Dia mengulangi kata-kata gue.
“Kita harus berusaha untuk menyelesaikan masalah demi masalah, pekerjaan demi pekerjaan setiap harinya untuk uang di akhir bulan supaya kita bisa kabur ke tempat yang kita nyaman itu. Kemudian kita kembali lagi untuk melakukan hal membosankan yang sama, meski malas tapi kita harus melakukannya dan kita nggak bisa lari dari itu, lalu kabur lagi. Kecuali kita bisa menghentikan waktu tepat disaat kita lagi dalam mode kabur ya. Pasti menyenangkan nggak kembali lagi ke rutinitas.” Kata gue lagi.
Kita berdua ketawa. Lalu obrolan dengan orang asing itu ditutup dengan sebuah pertanyaan serius tentang hidup: menurut lo hidup itu kayak gimana sih?

Gue menjawab simpel aja: hidup gue sekarang kayak air mengalir. Gue seperti tahu akan menuju ke mana tapi gue sebenarnya nggak pernah tahu pasti jalan mana yang akan gue tempuh untuk menuju ke situ. Jadi gue ikutin aja apa mau hidup.

Dia menjawab: hidup gue kayak sedang naik motor. Melaju terus dalam kecepatan tinggi yang konstan. Segala sesuatu di sekitar gue berubah dengan cepat. Ngegas terus sampai bensinnya habis. Setelah habis dan berhenti untuk isi bensin, semuanya akan berulang lagi dari awal, begitu terus sampai nggak tahu kapan. Karena gue nggak tahu gue harus ke mana.
“Bukan masalah secepat apa kamu menuju ke sana tapi...”
“Bagaimana kamu menikmati proses perjalanannya yang pada akhirnya akan membuat kamu matang dan siap ketika kamu nanti sudah ada di sana.”
Kita tos lalu dia pamit setelah bilang makasih.

Sementara gue kepikiran satu hal: rumah.


Bukan rumah kayak yang lo tinggali sama orangtua lo. I mean, well, that will always be your homey home. Tapi rumah dalam hal ini tempat kembali setiap kali dunia sedang tidak mendukung lo. Terutama kalau lo hidup jauh dari rumah, kayak gue. Tempat nyaman yang akan memberikan puk-puk di punggung setiap kali dunia terasa terasa terlalu kejam.

Gue membeku. Lalu ketawa sendiri.

Romantically, I don’t have that kind of home. But, I have friends. Walaupun nggak ketemu setiap hari sih tapi some of them are my best of the best. But calling them, or one of them, as “my home is” kind of...  I don’t know... one sided. Because of course you should ask them about that, right? WKWKWKW

I mean, I’ve been in this kind of one sided relationship for too long and it’s not healthy. Lol. So, if I want to call somebody, or make them as my home, the first thing I need to do is ask them, and tell them about that. Hahahahahaha.

Kayak semisal lo mau masuk rumah orang lain kan juga harus ngetuk pintu dulu. Kalo nyamannya cuma sendiri aja kan nggak bisa juga. Kalau dilihat-lihat sih mereka nyaman juga kayaknya sama gue. Maksudnya selama ini kalaupun gue berbuat kesalahan atau membuat mereka kesal nggak pernah yang sampai berlarut-larut gitu. Karena pada dasarnya kan kita memang sudah cocok dalam banyak hal. Pertemanan kan gitu. Masalah cocok atau tidak cocok. Walaupun kita punya kesukaan yang sama tapi kalau cara pandang kita berbeda ya bisa tidak cocok. Karena selama ini kalo dipikir-pikir kalau satu orang dalam lingkaran pertemanan itu slek sama “seseorang” di luar lingkaran pertemanan itu, yang lain dalam lingkaran pertemanan yang sama bisa dipastikan akan ikutan slek juga walaupun nggak pernah juga tahu siapa si oknum “seseorang” itu. Basic banget sih itu dalam pertemanan yang sudah dekat. Kayak Geng Cinta aja, “Musuh salah satu di antara kita adalah musuh kita semua.” Semacem prinsip dalam geng motor juga. Kalau nggak gitu, kalau nggak didasarkan dengan rasa kebersamaan dan toleransi yang berlebihan, Dilan nggak mungkin repot-repot nyerang sekolah lain padahal dia secara personal juga nggak tersakiti.

So, finding a home is not an easy journey I guess.

Begitu juga dengan perjalanan mencari kenyamanan.

Ini akan berubah tentu saja semakin kita bertambah usia, semakin kita dewasa. Walaupun gue nulis panjang lebar kayak gini juga sebenarnya nggak pernah ketika gue remaja gue menargetkan untuk menemukan apa yang gue sebut dengan “rumah” itu. Karena seperti yang gue tulis di atas juga, semuanya akan go with the flow. One way or another, you will found yours. Ya kenyamanan. Ya “rumah” itu.

Gue nggak pernah nyangka kalau gue akan nyaman berada dalam lingkaran fandom Kpop ini. Kebanyakan teman-teman yang gue sebut di tulisan ini adalah mereka yang gue kenal karena Kpop. Kita dekat karena kita sama-sama suka Kpop. Gue dan beberapa dari mereka pada akhirnya dekat juga karena EXO, walaupun sekarang ada yang udah nggak suka EXO lagi. Ada juga yang sukanya sama grup lain tapi kalau EXO comeback tetap diperhatiin juga. Tetap ditonton. Tetap jadi topik pembahasan yang menarik setiap kali kita ketemu. Dan ya, gue nggak pernah merencanakan ini dalam hidup gue. Siapa sih yang tahu kalau beberapa onggok daging dalam grup bernama EXO ini bisa menyatukan banyak orang yang datang dari latar belakang yang berbeda. Yang bikin orang-orang ini jadi sudah seperti keluarga.

Seperti yang gue bilang sebelumnya. Secara romansa mungkin gue belum punya apa yang bisa gue sebut dengan “rumah”. Gue harus tanya dulu ke temen-temen gue sebelum memberikan label “rumah” ke mereka. Tapi untuk yang satu ini, gue bisa dengan semena-mena ngomong bahwa mereka, EXO, in some ways adalah “rumah” itu.


Najis ini cheesy banget sih. Tapi beneran. Orang-orang di lingkaran pertemanan ini kalau sudah ngumpul dan ngomongin EXO tuh berasa kayak masing-masing udah kenal banget sama orang-orang yang ada di EXO ini. Kayak EXO tuh tetangga masa kecil mereka yang mendadak jadi artis, tapi mereka tetap berhubungan baik sampai sekarang dan masih tetep WhatsApp-an, gitu lho. Kita bisa nyaman banget membahas satu topik ini sampai larut. Sampai habis bergelas-gelas kopi. Berbungkus-bungkus Indomie. Kalau belum nyaman, kalau belum merasa seperti berada di “rumah sendiri”, gue nggak tahu lagi bagaimana harus menyebutnya. Walaupun mereka hanyalah sebuah fragmen di satu masa dalam hidup lo yang memberikan keseruan-keseruan yang nggak bisa lo temukan di tempat lain, yang memberikan perasaan-perasaan yang selalu berbeda dalam setiap kemunculannya, yang memberikan sebuah pengalaman menarik yang mempertemukan lo ke temen-temen lo, yang pada akhirnya entah kapan tapi pasti suatu saat nanti akan lo lupakan pelan-pelan. Tapi setidaknya lo menemukan sesuatu untuk disebut “rumah” hanya untuk membuat perasaan lo lebih baik. Karena terkadang itu yang lo butuhkan.

Can we just log on into the red cube and stop the time for a while?


Gue akui gue bukan orang yang jago berteori tentang comeback EXO. Namanya juga fans tua. Udah nggak punya banyak waktu lagi untuk ngepoin satu per satu detail soal comeback grup idolanya. Sekarang fokus mikirin gimana caranya anak dan istri di rumah tidak kelaparan. Padahal punya istri aja belum. Apalagi punya anak. Ya intinya mengurus real life gitu lah. Sebelumnya mungkin memang gue pernah nulis yang geeky banget soal teori EXO di Wolf, Exodus, dan KoKoBop. Tapi itu murni adalah hasil dari overdosis kopi dan terlalu banyak memikirkan orang yang nggak akan pernah balik suka ke gue. Tapi di comeback EXO kali ini, gue melihat sesuatu yang sangat serius yang ingin dimunculkan EXO dalam universe-nya. Dalam dunia mereka yang lain. Sesuatu yang berkaitan dengan real life dan professional life, sebut saja begitu. Sehingga tertarik untuk gue bahas lebih jauh.

Awalnya gue pikir mereka hanya ingin menampilkan sisi yang lebih “manusiawi” dan lebih merangkul masyarakat di kawasan padat penduduk seperti Indonesia dengan naik motor. Soalnya kan ya alien nggak naik motor, mereka naik UFO. Tapi quote premis yang muncul di setiap sehabis kita nge-klik red cube di exo.smtown.com itu seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih serius dari sekedar EXO sedang mencoba mengkopi sinetron Anak Jalanan. Lebih serius dari sekedar hasrat EXO ingin menyaingi Dilan sebagai Panglima Tempur geng motor di Bandung. Atau lebih dari sekedar keinginan EXO untuk merakyat dengan menjajal karier sebagai driver ojek online. Gue merasa EXO ingin memberi isyarat bahwa mereka ingin diberi waktu menyendiri, diberi privasi, diberi jarak antara kehidupan mereka sebagai manusia biasa dan kehidupan mereka sebagai EXO.
Speed loving bikers enter the fragment of frozen time as they log into the red cube. Solving the given puzzle is the only route for all to escape. However, the bikers are unable to resist the temptation and reenter the cube.

Agak sulit untuk menemukan hubungan antara konsep yang ini dengan konsep KoKoBop. Tapi kalau mau maksa (anjir berasa serius banget gak sih wkwkw), kalau dulu katanya KoKoBop adalah awal bagaimana mereka mendapatkan kekuatan mereka (lalu dipertegas lagi lewat Power), nah yang sekarang ini, Don’t Mess Up My Tempo ini semacam sudah menuju titik akhir. Tapi nggak benar-benar berakhir karena pastinya akan ada twist lagi di belakang nanti. Seperti twist tentang kembalinya Lay ke EXO hanya untuk satu versi video dan satu versi lagu saja. Seperti twist tentang debut Amerikanya Lay dalam perjalanan karier grup kesayangan kita ini. Dan kita nggak akan bisa menebak apa yang dipersiapkan SM untuk grup ini ke depannya.

Bagian “speed loving bikers” dalam premis comeback EXO kali ini sudah jelas dong merujuk ke para member EXO. Untungnya nih kita sekarang bisa dapat sembilan member lengkap. Walaupun nggak tahu gimana eksekusi di videonya, apakah beneran sembilan atau gimana. Kalau beneran sembilan sih syukur. Berarti sesi foto teaser group sama sesi syuting MV-nya beda. Tapi kalau sesi foto teaser sama sesi syuting MV-nya barengan, berarti fix gambar Lay di MV cuma tempelan. Nah, dalam premis cerita di comeback kali ini, EXO digambarkan sebagai anak motor yang suka kebut-kebutan. Nggak tahu sejak kapan, soalnya nggak banyak video klip EXO yang sebelumnya yang menampilkan adegan naik motor kecuali Lightsaber. Biasanya EXO (dan kebanyakan artis SM) selalu identik dengan mobil di dalam MV. Sempat sih mikir, kenapa konsepnya nggak pebalap mobil aja. Toh sama-sama berkaitan dengan kecepatan juga. Tapi mungkin Ducati bisa bayar lebih mahal ke SM buat product placement ketimbang brand mobil lainnya. WQWQWQWQ.


Mungkin waktu SM jualan ke brand mobil, nggak ada yang cocok harganya dan nggak ada yang berani bayar mahal. Sementara waktu jualan ke Ducati mereka berani ngeluarin duit dengan jumlah yang luar biasa untuk invest di MV-nya EXO. Ya akhirnya begitulah SM pun deal dengan Ducati.
“Ya, walaupun nggak semua member cocok jadi anak motor,” kata Lee Soo Man. “Kita coba aja deh konsep ini. Tahu sih, ada yang suka naik Vespa dan boncengin siapa gitu sore-sore depan kantor, tapi ini motornya agak gede jadi ya jadi semoga nggak kagok dan nggak aneh keliatannya. Jadi ini karena udah deal sama Ducati, yang hobi naik Vespa tolong ditahan dulu ya hobinya sampai promosi selesai. Nanti dulu kencan bonceng-boncengannya. Dan kalian yang keliatannya nggak cocok jadi anak motor apalagi bermuka garang gitu, yaudahlah dicocok-cocokin aja ya,” tutup Lee Soo Man.
Tapi jujur aja sih, konsep bikers ini gue lebih suka dibanding dengan KoKoBop. At least yang ini jelas gitu lho mereka ngapain. Kalau KoKoBop tuh kan kesannya cuma kayak anak pantai suka party dan selalu mabuk-mabukan. Gue tetap suka KoKoBop dan lagu-lagu lain di The War, tentu saja, tapi gue bisa jamin kalau gue lebih suka konsep Don’t Mess Up My Tempo ini.

Bagian “...enter the fragment of frozen time as they log into the red cube.” agak bikin penasaran juga. Ada apa di dalam red cube ini? Apa sebenarnya red cube ini? Kenapa di dalam situ waktu terasa seperti berhenti?

Well, dulu EXO punya member yang punya kekuatan mengontrol waktu. Sekarang udah nggak sama EXO lagi dia. Sementara konsep waktu dan pengendali waktu ini sebenarnya di universe EXO merupakan elemen yang punya peran penting. Gak cuma di universe EXO sebenernya, di dunia pada umumnya pun demikian. Gue rasa itu yang bikin konsep-konsep kekuatan pasti gedeg banget deh ya waktu ybs keluar dari grup.

“WANJIR KENAPA DULU KEKUATAN PENGONTROL WAKTU GUE KASIH KE DIA SIH?! KALAU TAHU DIA KELUAR DAN GUE BAKAL RIBET KAN MENDING KASIH KE YANG LAIN. KADAL KUDISAN!”


Gini lho maksudnya, di EXO nggak apa-apa deh nggak punya pengontrol api, kan api masih bisa diciptakan dengan cara lain. Seperti menyambarkan petir ke atas dedaunan kering misalnya. Kan bisa juga terbakar. Tapi kalau pengontrol waktunya nggak ada, sementara konsep waktu akan selalu muncul dalam universe ini kan ya berabe juga. Karena nggak mungkin tiba-tiba Park Chanyeol, yang selama ini dikenal sebagai member yang berapi-api terutama saat nge-rap dan saat memarahi sasaeng yang menginjak sendal mahalnya sampai putus, berubah kekuatan dari penguasa api ke penguasa waktu; akhirnya SM memutuskan untuk mencari sesuatu yang lain, yang bisa memberikan mereka kemampuan yang sama dengan kemampuan yang diberikan oleh ybs yang udah cabs dari EXO, yaitu menghentikan waktu. Akhirmya diputuskanlah bahwa EXO tetap bisa menghentikan waktu lewat sebuah medium. Yaitu the red cube ini.

Nah tapi belum terjawab tuh, sebenarnya ada apa sih di dalam sana?

Kita hanya bisa menebak-nebak sih sejauh ini. Tapi yang jelas di dalam red cube ini adalah sebuah dunia lain di mana waktu bisa diutak-atik oleh mereka yang memasukinya. Ini semacem maze tapi dalam bentuk yang lain. Kita masih tetap ada di dalam maze sampai red cube ini muncul. Jadi ini semacam labirin di dalam labirin gitu. Soalnya untuk keluar dari the red cube kan mereka harus “solving the given puzzle” dulu. Hanya saja, kalau selama ini EXO seperti terkungkung dalam stres di labirin, red cube ini semacam memberikan kenyamanan.

Kita mungkin bisa mengibaratkan the red cube ini sebagai zona nyaman. Sebagai “rumah” seperti yang sudah kita bahas di awal posting-an ini. Tempat di mana kita bisa berlama-lama ada di situ, rasanya kayak nggak mau pergi, kita nggak mau beranjak, kita berharap waktu bisa berhenti sejenak di momen itu supaya kita bisa selalu bahagia dan selalu merasa nyaman. Soalnya di luar kotak itu, di maze, hidup kadang-kadang nyeruduknya terlalu keras.

Di dalam red cube ini, para bikers menemukan sesuatu yang membuat mereka merasa tenang. Nggak ada tuntutan-tuntutan untuk menjadi sosok yang sempurna. Kayak semisal kita yang manusia biasa dan budak korporat ini, red cube itu ibarat tempat tanpa ada bos yang nyuruh-nyuruh kita buat kerja mengejar deadline, nggak ada klien yang nyuruh revisi, nggak ada orang yang ikut campur soal urusan-urusan pribadi dan mengajukan pertanyaan soal kapan nikah, kapan wisuda, kapan dapat kerja, kenapa Korea-an terus, bla bla bla. Di dalam red cube ini, waktu adalah sepenuhnya milik mereka. Sebagai diri mereka sendiri.

So there won’t be anyone who will mess up with their tempo.


Tapi di saat yang sama mereka tahu bahwa sebenarnya mereka nggak bisa juga lama-lama ada di dalam red cube itu. Meski mereka merasakan kenikmatan berada di dalam sana, mereka masih tetap harus memikirkan kehidupan di luar itu. Ya semacem mereka masih punya tanggung jawab gitu lho sama dunia luar. Jadi ada kalanya mereka harus keluar dari sana.

“...solving the given puzzle is the only route for all to escape.”

Kalau bikers itu adalah EXO, maka ketika mereka masuk ke red cube ini mereka kembali jadi pribadi mereka masing-masing yang bukan EXO. Mereka nyaman di dalam sana karena mereka punya privasi. Mereka punya kehidupan sendiri-sendiri sebagai orang biasa. Mereka boleh pacaran. Mereka nggak peduli sama omongan netizen. Waktu hanya punya mereka dan tempi kehidupan mereka, diatur oleh mereka sendiri. Mereka nyaman di situ karena kehidupan mereka tidak terjamah oleh siapapun kecualu orang-orang yang bersinggungan dengan zona tersebut. Tapi mereka harus ingat juga kalau mereka punya tanggung jawab sebagai EXO ke masyarakat. Makanya ada kalanya mereka harus keluar dari sana dan menghadapi dunia yang sebenarnya. Gitu lho.

Kenapa mereka keluar dari dalam red cube itu harus menyelesaikan puzzle dulu? Soalnya zona nyaman itu bisa sangat manipulatif. Mereka bisa dipaksa untuk tinggal selamanya dan lupa kalau mereka punya tanggung jawab di luar sana. Jadi menyelesaikan puzzle itu semacam EXO harus bekerja keras dulu untuk mengenyampingkan kehidupan pribadi mereka demi fans-fans di luar sana.

Bukan berarti EXO tidak berada di zona nyamannya ketika lagi sama fans. Tapi memang ya namanya manusia kan ya pasti butuh me time, zona nyaman untuk diri sendiri ini adalah sesuatu yang mahal harganya ketika sudah jadi selebriti. Makanya di akhir kalimat premisnya “However, the bikers are unable to resist the temptation and reenter the cube.” karena pastilah ada kalanya capek menjalani kehidupan sebagai EXO. Mereka mau kali punya kehidupan pribadi. Jadi ya mereka satu atau dua kali masuk situ buat sekedar beristirahat dan membuat diri mereka nyaman.

#NGAWUR #ANJAYY #NGOMONGAPAGUA

Atau sederhananya mereka memang sedang mencoba untuk jadi driver ojek online. Soalnya itu di motornya udah ada tempat khusus buat handphone ya ngomong-ngomong. Sangat dipikirkan sekali memang konsep EXO sebagai driver ojol ini. Terima kasih SM dan Ducati.


Sementara buat kita, manusia-manusia budak korporat ini, tempat semacam red cube itu nggak benar-benar ada. Kita nggak berada dalam dunia di mana kita bisa menghentikan waktu kapanpun kita mau. Di kehidupan kita ini, kita diwajibkan untuk menyelesaikan puzzle membosankan setiap hari demi sebuah pelarian bernama akhir pekan dan gaji di akhir bulan. Karena sesuatu seperti the red cube itu nggak ada di kehidupan nyata kita, makanya kita harus pinter-pinter untuk mengatur tempo kita. Mengatur kecepatan kita. Tahu kapan harus berjalan dan mengerti kapan harus berlari. Kita nggak bisa menghentikan waktu, tapi kita bisa menikmati setiap waktu yang berjalan dalam kehidupan kita dengan sebaik-baiknya.

Kalau nanti seandainya EXO memang ingin menghilang sejenak dari dunia fana ini untuk beristirahat dan berlama-lama di dalam “the red cube” mereka masing-masing, gue akan sangat senang sekali dan mendukung mereka. Kita aja yang bukan selebriti butuh liburan, masa mereka yang dance dan nyanyi siang-malam nggak dikasih waktu buat menikmati hidup. Kalau abis ini mereka mau hiatus dua tahun atau ada yang mau wamil, yaudah nggak apa-apa wamil dulu aja, nanti kembali lagi akan lebih lega. Kalau abis ini mereka hiatus lama, yaudah nggak apa-apa. Asal nanti pas mereka kembali, Yixing udah enggak lagi separo di Korea separo di China.

 
Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram / roninredconverse / roningrayscale
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)
Photos from personal library and SM Entertainment.

Share:

0 komentar