Kalau Mimpi Jennie & Kai Bisa Jadi Nyata, Kenapa Gue Enggak?


Lagi banyak banget yang resign dari kantor gue beberapa bulan terakhir. Beberapa adalah orang yang gue sendiri nggak tahu mereka ternyata sekantor sama gue (hahaha maaf anaknya memang tidak tahu sopan santun), beberapa adalah orang yang gue tahu dan pernah koordinasi kerjaan. Selama periode kerja di beberapa kantor gue biasanya nggak pernah terlalu mikirin siapa yang datang dan siapa yang resign. Karena memang kan fase kerja di perusahaan swasta kayak gitu. Kalau orangnya nyaman sama kerjaannya mungkin mereka bisa bertahan dua atau tiga tahun. Tapi kalau mereka merasa tidak berkembang secara personal atau tidak nyaman secara pribadi, ya nggak bisa disalahkan juga kalau enam bulan udah cabut. Tapi yang kemaren resign sih rata-rata memang orang-orang yang sudah ada bahkan sebelum gue masuk ke situ. Kenapa ya? Karena sudah pindah kantor tiga kali sejak lulus kuliah, adegan orang-orang pamit buat resign kayak gini seharusnya udah jadi hal yang biasalah. Toh gue sendiri sudah pernah resign juga kan dari tiga kantor sebelumnya. Tapi kemaren tuh aneh aja gitu, ada sesuatu yang ganjal di dadaku. HAHAHAHAHAH. Gue nggak bisa bohong kalau gue kepikiran. Like, why people? Why?! Alasannya apa?!

Well, sebenarnya ini jawabannya simpel aja: mencari yang terbaik. Karena kalau yang sekarang nggak memberikan apa yang kita cari dan yang kita butuhkan ya kita kan sebenarnya memang harus pindah. Daripada terpenjara terus dan terjebak di kubangan yang sama kan? Gue jadi ingat obrolan sama Rizka dan Ais dalam kunjungan main-main pertama gue ke Bekasi akhir pekan lalu. Topikya soal resign ini juga dan soal gimana salah satu temen mereka memutuskan untuk cabut padahal baru tiga bulan kerja. “Ya soalnya kondisinya nggak lebih baik dari kantor sebelumnya. Jadi buat apa lama-lama?”

Waktu gue resign dari kantor gue yang sebelumnya, ada banyak yang nanya “Kok bisa sih lo mengambil keputusan secepat itu?” Dan sekarang ketika orang-orang pada resign, kok gue malah jadi bingung ya? Hahahahaha. Ya mungkin jawaban lainnya: mereka sedang dalam proses mengejar mimpi.

Hmmm... mimpi...

SHIT! SHIT! SHIT! SEJAK KAPAN KATA INI JADI SANGAT MEMBUAT GUE BAPER?!
Kalau boleh jujur, kondisinya sekarang dalam hati gue sedang gonjang-ganjing soal mimpi ini. Gue pernah ada di satu titik, beberapa tahun yang lalu, ketika gue bisa melihat dengan jelas mimpi gue dan jalan gue menuju ke sana. Gue bisa membayangkan secara nyata soal itu tanpa harus berpikir lama-lama. “Lo adalah salah satu orang yang gue temui di acara ini yang sepertinya sudah punya jalan yang terencana buat masa depan lo,” kata Khulan, salah satu teman yang gue temui di acara Asian Cultural Young Leaders’ Camp 2017di Seoul, dalam satu sesi curhat colongan di Messenger Facebook. Saat itu memang gue sedang dalam masa-masa gonjang-ganjing yang sama dengan ketika gue menulis posting-an ini.

Seiring waktu berlalu, waktu seperti menggerus semua itu. Menggerus titik terang dan jalan menuju mimpi itu. Bahkan mungkin mimpi itu sendiri. Gue masih punya mimpi nggak sih sekarang? Kok rasanya semuanya jadi benar-benar kabur. Jadi nggak kelihatan sama sekali. Sekarang malah muncul pertanyaan dengan tanda tanya yang superbesar, oke nggak cuma tanda tanya, tapi font yang superbesar juga: 2019 ini gue mau ngapain?


Salah satu teman gue di circle kecil yang gue punya belum lama ini mengumumkan pertunangannya. Wow. Mendengar berita itu gue sama sekali nggak tahu bagaimana harus memprosesnya. Kayak lamaaaaaaaaa banget sampai akhirnya gue baru yakin gue nggak salah baca isi chat yang dia kirim ke grup. Memang sih, beberapa bulan terakhir kita jarang ketemu dan ngobrol lagi, tapi sebelum itu gue ingat banget bahwa dari obrolan kita, kesannya dia bukan orang yang mau cepat-cepat mengubah dinamika kehidupannya sampai sedrastis itu. Apakah dalam periode kita nggak ketemu itu dia mengubah mimpinya? Atau selama ini sebenarnya gue yang nggak tahu bahwa salah satu mimpinya yang paling besar adalah itu?

Yang kedua sih kayaknya benar.

Lalu muncul lagi pertanyaan besar: bagaimana orang-orang ini bisa mengambil keputusan sepenting itu dalam waktu yang sangat singkat?

Sampai sekarang gue masih nggak bisa memproses semua ini. Sampai sekarang gue masih shock.

Balik lagi soal resign, beberapa teman di satu divisi dan yang sudah tidak di satu divisi lagi tapi masih sering ngobrol, gue perhatikan juga sedang berada di fase-fase itu. Fase berpikir untuk mencari yang terbaik. Fase siap-siap mengucapkan selamat tinggal dan menyerahkan surat resign. Mengejar mimpi mereka dan mencari kenyamanan baru buat mereka. Sedikit, beneran deh sedikit, gue pun terinspirasi. Terinspirasi untuk kembali membangun mimpi lama yang memang sebelumnya terseksan terlalu receh dan remeh (gue nggak mau bilang tidak realistis karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini dan karena pada akhirnya setelah gue tidak memimpikan hal itu lagi, jalannya justru terbuka lebar). Tapi untuk kembali memimpikan hal yang sama kali ini gue terbentur dengan batasan-batasan yang gue buat sendiri. Batasan-batasan yang pada akhirnya kembali memunculkan pertanyaan lain yang nggak kalah besar dengan yang ada di paragraf sebelumnya.

Apakah ini yang terbaik? Bisakah ini mendukung kebutuhan-kebutuhan dalam kurun waktu yang sudah gue tentukan sebelumnya? Atau apakah ini hanya sekedar keinginan-keinginan childish yang sudah seharusnya gue lupakan?

Kalau dipikir-pikir lagi, dan biasanya kan awal tahun gini waktu yang tepat untuk berpikir ya, setahun terakhir gue merasa ada yang salah deh dengan hidup gue. Ada ketidakseimbangan yang sangat parah yang kalau gue rinci satu-satu mungkin akan bikin kalian yang baca ini nyumpahin gue dan geleng-geleng kepala. Dude, I don’t even understand myself anymore! Gue biasanya nggak kayak gini. Gue, seperti yang Khulan bilang, biasanya tahu apa yang gue mau. Gue nggak pernah merasa se-“hilang” ini sebelumnya lho. Apakah ini karena gue belakangan jadi jarang ngaji Quran tapi kebanyakan ngaji Kpop? WAH DAJJAL SUDAH MERASUKI DUNIA GUE. AYO HIJRAH GAIS. Atau mungkin ini karena memang gue sedang dalam fase tidak fokus yang parah banget. Ya dua-duanya mungkin aja. Kalau mau disingkat dalam satu atau dua kata, gue berani bilang kalau tahun 2018 adalah tahun terkacau dan penuh kelalaian. Terlepas dari banyaknya hal-hal menyenangkan yang terjadi, sekali lagi gue harus bilang kalau gue sangat “hilang”. So, this is a great time to start all over again, right? Dan mungkin nge-set ulang mimpi itu bisa jadi hal yang paling berfaedah yang dilakukan awal tahun ini.

Apa mimpi kalian? Apa yang ingin kalian raih tahun ini? Apa yang ingin kalian wujudkan tahun ini?


Gue mau bilang kalau nggak ada mimpi yang terlalu besar atau terlalu kekanak-kanakan. Jadi, apakah tidak apa-apa kalau gue bermimpi buat jadi jurnalis Kpop lagi? Hehe... For some reasons, I didn’t feel happy while doing my job these days. You know. Sometimes you just have these certain expectations but it didn’t happened. Dan kalau dibilang kekanak-kanakan, yaudah gapapa. Mau gimana juga, jujur, jadi jurnalis Kpop lagi selalu jadi list teratas di mimpi gue dalam setiap pergantian tahun. Karena gue tahu rasanya doing something you love for living tuh nggak tergambarkan oleh kata-kata. Bahagia banget kan kedengarannya? And you know what? Ada kesempatan sebenarnya gue untuk balik ke situ. Tapi gue terlalu takut untuk melangkah keluar dari zona nyaman yang sudah ada sekarang. Gue ingin ambil risiko ini sebenarnya, tapi apakah worth it? Gue masih mikirin itu. Mungkin di akhir tulisan ini gue akan menemukan jawabannya. Apakah gue akan kirim CV atau tidak.

Untuk saat ini, mari kita beralih ke mimpi yang lain dulu. Boleh? Mimpi yang kecil-kecil mungkin? Target-target jangka pendek? We can also called those things as dreams, right?

Ada beberapa obrolan dengan beberapa teman di penghujung tahun ini yang sangat serius dan layak untuk diingat. Walaupun gue orangnya sangat receh dalam beberapa hal, tapi gue selalu berusaha untuk mendapat insight dari setiap obrolan itu. Gue merasa belakangan ini entah kenapa kemampuan gue berbasa-basi jadi menurun banget. Semacem gue nggak akan ngobrol kalau nggak penting-penting banget. Mungkin itu salah satu hal yang harus gue perbaiki di 2019 ini. Dan kembali soal obrolan bareng teman itu, ya, gue berhasil dapat beberapa masukan yang bisa jadi penting buat gue ke depannya.

Seperti misalnya obrolan dengan teman yang sepanjang tahun ini masuk ke daftar orang yang (sebaiknya) gue hindari soalnya gue suka baper kalau ketemu dia. WKWKWKW. Di suatu malam gue memberanikan diri untuk ngajak dia ketemu dan bicara walaupun sebenarnya nggak diniain untuk ngomongin hal-hal serius. Cuma memang dia tuh anaknya suka kepancing. Obrolan yang harusnya stay di ranah receh jadi merembet ke mana-mana dan malah jadi serius banget. Padahal gue sama sekali nggak pernah memulai untuk masuk ke topik itu. Tapi gue selalu mendengarkan. Mungkin nggak banyak yang tahu, tapi gue termasuk pendengar yang baik. Ketika dia bilang dia ingin lebih banyak jalan-jalan, lebih menikmati hidup, memperluas pergaulan; gue merasa itu memang hal-hal yang dia butuhkan. Dan mungkin juga gue butuhkan. Kecuali poin ketiga. Hahaha... Nggak tahu kenapa, entah apakah ini karena hormon introvert gue (kalau term itu memang ada di muka bumi ini) sedang membuncah saat itu, gue langsung menolak mentah-mentah poin itu (dalam pikiran gue sendiri). Gue memang enggak sesupel dia. Gue susah buat memulai percakapan seperti yang gue tulis di caption posting-an Instagram gue beberapa pekan terakhir. Jadi di poin itu gue menegaskan ke diri sendiri bahwa di tahun baru nanti gue akan lebih fokus untuk memperbaiki kualitas hubungan gue dengan orang-orang yang sudah gue kenal sejak lama, yang sudah ada di lingkaran gue sejak lama, sebelum satu per satu dari mereka nggak bisa lagi diajak main dan ngobrol karena sudah sibuk dengan urusan pribadi yang lebih prioritas.

It’s not that I don’t want to expand my connection or anything, tapi ada rasa capek banget harus memulai lagi sosialisasi dengan orang-orang baru. Memulai lagi semuanya dari awal. Kembali lagi jadi jaim dulu sebelum mereka tahu gue kayak gimana. Atau kembali menjelaskan ke semua orang-orang baru ini gue tuh orang yang seperti apa, dsb, dsb dsb. Sementara di saat yang sama, orang-orang yang ada di circle gue aja kadang suka kesekip, kua jarang ngobrol, suka jarang ketemu.

Dan diam-diam di dalam hati gue menambahkan satu poin lain yang sebenarnya sangat ingin gue lakukan di tahun baru: lebih dekat lagi sama orang yang gue ajak ngomong ini. WKWKWKWKWKW. RON, YOU’RE PATHETIC! GUE LEMAH KAN GUE UDAH BILANG KALAU KETEMU DIA TUH GUE SELALU BAPER.


Dalam kesempatan yang berbeda, sebuah obrolan serius juga terjadi antara gue dan teman gue yang lain dalam perjalanan random ke Cianjur pekan lalu. Awalnya kita cuma ngobrol santai soal kerjaan dan tetek-bengek kehidupan. Lalu semua mendadak serus karena gue kembali mengajukan pertanyaan yang sama soal “resign” tadi dan dia nangkep umpannya dengan tepat banget. Temen gue yang ini, di antara orang-orang baru yang gue kenal selama setahun terakhir, adalah yang terbaik sih kalau kata gue. Terbaik dalam hal dijadikan teman curhat. Ya, oke, ini gue klain sendiri. Karena kalau dia denger dia pasti akan “EWWWWW MENJIJIKAN KAU RON!” dan kabur hanyut bersama kerikil di Curug Citambur. Menurut gue dia bukan tipe yang bocor gitu lho makanya gue suka ngeluh ke dia soal banyak hal dan dia, walaupun awalnya kayak “APAAN SIH LO RON!” gitu ketika gue memulai cerita, tapi selalu mencoba memberikan nasihat-nasihat kehidupan dan memaksa gue untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda. Ke sisi yang positif. Menyikapi semuanya dengan lebih wise. Gue ingat gue pernah nulis ini tapi lupa di mana, entah di Twitter atau di blog ini, kalau kadang-kadang kita cerita ke orang tuh bukan karena kita mau dengar nasihat atau dinashatin atau mau saran atau pendapat, kadang kita cerita tuh cuma ingin didengarkan doang. Nah yang gue suka dari temen gue yang ini, dia selalu bisa memberikan komentar yang simpel, pendek, tapi netral di saat yang sama. Nggak mendukung gue sebenarnya tapi tidak juga menjelekkan oknum yang sedang gue ceritakan. Sebelnya, dia selalu benar. Meski ketika gue nggak meminta dia buat komentar (dan dia tahu dia nggak diminta untuk komentar tapi dia komentar anyway), gue selalu mendapat secercah cahaya dari obrolan kami.

Jadilah malam itu ketika kita lagi makan malam di rumah kakaknya, gue membuka obrolan dengan “Kenapa ya banyak yang resign?” Lalu kita mulai membahas satu per satu siapa yang pergi dari kantor selama beberapa bulan terakhir tanpa merinci alasan mereka. Akhirnya temen gue ini sampai di titik dia bicara soal mimpinya. Soal apa yang benar-benar ingin dia lakukan. Soal bagaimana dia melihat pekerjaannya saat ini. Dia bilang kalau mimpi paling besarnya bukan di tempat ini, bukan apa yang dia kerjakan sekarang. Dia bilang dia punya sebuah mimpi besar untuk membuat namanya terpampang di layar lebar.

“Ya kejerlah! Kenapa lo masih di sini? Kenapa nggak bergerak buat ngejar mimpi itu? Lo ada di bidang dan area yang sangat mendukung. Lo punya koneksi ke situ, jadi apa masalahnya?” tanya gue. Pada saat yang sama gue juga mengajukan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Apa yang sebenarnya gue dan dia tunggu? Pada saat itu gue belum tahu jawabannya. Atau mungkin gue tahu tapi gue belum yakin. Sampai akhirnya jawaban temen gue itu mengubah pikiran gue dari nol persen ke tujuhpuluh lima persen paling tidak.

“Ya soalnya waktu gue terima kerjaan ini ada target yang harus dikejar. Sekarang target itu sudah di-set dan sudah berjalan untuk dikejar. Jadi ya gue jalani dulu aja sekarang,” katanya. So I guess he already know what he’s done, right? Jadi kalau dia sudah mencapai targetnya itu, berarti dia akan resign, right? Terus gue gimana?

Bukan gue nggak punya target. Ada. Tapi deadline-nya nggak sesingkat dia. Jangka waktu yang gue bikin untuk diri gue sendiri lebih panjang dari dia. Lebih lama beberapa tahun. Dan selama periode menunggu daeadline itulah sebenarnya yang harus gue isi dengan mimpi-mimpi kecil, target-target jangka pendek yang harus terwujud. Sehingga nanti ketika gue sudah sampai di penghujung limit gue, gue nggak akan menyesal. Gitu kan, Ron? Ya kan?

Lalu bagaimana dengan mimpi untuk jadi jurnalis Kpop lagi itu?

Well...

“Gue kayaknya harus tidur dulu deh, biasanya besok paginya pas bangun gue akan dapat jawabannya.” kata gue ke diri sendiri ketika kembali dari makan malam akhir tahun bareng Cicil di Gandaria City 31 Desember 2018, semalam.


Pergantian tahun 2017 dan awal tahun 2018 gue lewatkan dengan perjalanan yang sangat menyenangkan di Korea Selatan. Dari Ilsan ke Itaweon, dari Itaewon ke Namdaemun dan melihat sunset manja di Yeoido. Sementara tahun ini, yah, mungkin memang ditakdirkan sendirian aja. Berpikir. Right? Hahahaha. Gue nggak pernah ada masalah dengan kesendirian. Dengan menghabiskan waktu sendiri. In fact, ketika sendiri gue biasanya lebih produktif. Kayak misalnya ketika gue menyelesaikan tulisan ini, gue harus menyendiri dulu supaya bisa fokus. Sambil mendengarkan playlist This is IU di Spotify dan sesekali nyanyi kalau nggak ada yang perhatiin (YA SIAPA YANG MERHATIIN LU GILAK). Mojok di salah satu coffee shop di salah satu mall di Jakarta. Sesekali lagunya gue kecilin supaya gue bisa mendengarkan obrolan dua orang di samping gue yang kayaknya baru match di Tinder. Hehe. Judgemental banget ya gue, memang. Dan yah, pergantian tahun semalam gue lewatkan dengan menahan sakit gigi dan nonton Hana-Kimi versi Taiwan lagi sampai nyaris subuh (TERGEMAS SIH ELLA SAMA WU ZHUN TUH!!!!!). Belum lagi gue mendadak mules karena ramen yang semalam gue makan dan kebangun pas subuh karena keinginan buang air besar. Ya bersyukur juga bangun jadi gak bablas subuhnya. Mama pasti bangga padaku hari ini.

Setelah gue merasa baik-baik saja, perut aman dan gigi nggak rewel, gue balik tidur lagi. Soalnya pertanyaan semalam soal jurnalis Kpop dan mengirim CV itu belum terjawab. Dan ketika gue bangun sekitar jam sembilan pagi di 1 Januari 2019, gue diam sebentar dalam posisi terlentang. Fokus gue beralih ke lampu Natal yang menyala sejak semalam. Kayakya tadi gue mimpi bagus banget deh. Tapi apa ya....

-----
Gue sering cerita soal mimpi random gue di Twitter. And when I said random, it’s like totally random. Dan pagi itu juga se-random itu. Tapi bagus. Setiap kali gue merasa gue habis mimpi bagus, lucu, atau memorable gitu, biasanya ritual gue pas bangun tidur adalah bengong. Tapi bengong yang bahagia gitu. Mungkin ekspresinya sama seperti setiap kali gue terpesona ngeliat orang yang gue suka meracau tentang apapun ke gue. Bedanya cuma ya rambut awut-awutan dan muka kusut aja. Ritual bengong bahagia ini memang harus gue lakukan supaya gue bisa memanggil lagi ingatan-ingatan soal mimpi tadi sampai se-detail mungkin. Abis itu siap deh ditertawakan wkwkwkwk. Ketawa gue bisa ngakak sampai yang mules di kasur gitu lho. Inilah yang gue ingat dari mimpi pertama gue di 2019 pagi tadi:

Langitnya sedang berawan, ada yang abu-abu ada yang putih. Langitnya biru jelas banget. Persis langit yang gue lihat dari jalan layang Sumarecon Mal Bekasi hari Minggu kemaren. Tapi gue lagi nggak di Bekasi. Gue yakin. Soalnya udaranya adem banget. Mungkin itu di Jakarta Pusat? Soalnya gedung-gedung tingginya kayak di sekitaran Thamrin gitu. Nggak tahu di mana sih tapi tebakan gue mungkin itu di sekitaran Grand Indonesia – Menara BCA gitu. Atau mungkin bisa jadi juga itu sebenarnya di Seoul. Soalnya gue ingat ada warna-warna metalik kayak bangunan Dongdaemun Design Plaza. Kurang ajar sih memang dari Bekasi ke Seoul, tapi ya namanya mimpi kan kita kadang nggak tahu lokasinya di mana. Ujug-ujug di situ aja udah. Kalau di-zoom in ke posisi gue saat itu, gue sedang menunggangi Daniel—nama motor gue—yang baru aja gue parkir di gedung parkir salah satu gedung tinggi yang ada di sana. Gue lagi nelepon dan lagi marah-marah sama orang yang ngomong di telepon itu. Kayaknya karena dia batalin janji atau apa gitu. Yaudah karena kesal, gue jalan keluar dari gedung parkir itu dan sampailah gue di atas trotoar di jalan yang nggak terlalu lebar di antara gedung-gedung itu. Nah di situlah gue kemudian melihat seseorang yang familiar. Bener-bener familiar karena kayaknya gue tuh baru ketemu dia deh semalem. Tapi dia bukan Cicil.
 

Gue berjalan agak mendekat ke orang ini dan memerhatikan wajahnya lekat-lekat. TARDULU. DEMI APAPUN?! DONG SHI CHENG?! HEH WAHAHAHAHAHAHAHA! SERIUSAN NGAPAIN LO DI SINI? EH INI DI MANA SIH GUE JUGA NGGAK TAHU YA?!

Gue ketawa kenceng banget bahkan di dalam mimpi. Sensasi familiar yang gue rasakan pas ngeliat muka dia itu sebenarnya karena kemaren, seharian gue ngetawain grup baru dia yang namanya wayV itu. Mau marah nggak sih lo, SM mau debutin WinWin dan Kun (OMG FINALLY!) dan member NCT lain kayak Lucas, Ten, YangYang, Hendery, dan XiaoJun lewat sebuah manajemen di Tiongkok dengan nama wayv?! I mean... like... seriously.... wayv?!?!?!?!



Gue menduga WinWin sedang ada event di dekat-dekat situ. Memang kedengarannya agak aneh sih, soalnya kan seorang WinWin yang notabenenya artis SM Entertainment, keliaran pas dia ada event. Hari itu (maksudnya pas di mimpi gue itu) dia lagi di pinggir jalan yang sama dengan gue dan dia pakai kostum performance lengkap. Memangnya dia member grup cover dance yang lagi lomba, bisa keliaran pas ada event?! Gue ingat banget rambutnya hitam dengan belahan yang rasionya 70:30 berat kanan (kesayangan Rasul banget), pakai baju nuansa monokrom dan make up on point. Yang paling: DIA LAGI SENDIRIAN.

Kalau di dunia nyata sih gue nggak akan berani nyamperin nih orang yang lagi sendiri dan terang-terangan menunjukkan kealayan gue dengan menyodorkan kamera ponsel ke depan mukanya. Tapi karena ini mimpi gue dan dia mendadak ada di dalam mimpi gue, gak ada salahnya gue alay. Kapan lagi gue bisa ketemu dengan bias sendiri, dengan kostum lengkap, dengan belahan rambut kesayangan Rasul, dengan make up on point?! Yaudah, gue langsung merogoh saku dan menarik Jeno—nama ponsel gue—dari dalam sana dan langsung buka aplikasi kamera. Lalu,

“YA! DONG SHI CHENG!”

Panggil gue dengan kasar kayak preman anjir gue gak ngerti lagi. Akrab banget kesannya gue sama dia. Kamera udah dalam posisi merekam. Dan si anak ini noleh terus senyum. Wah kacau! Nggak ada perlawanan! Yaudah gue mendekat.

“WAH ANJIR BENERAN ELO DONG! BOLEH SAY HI KE FOLLOWERS INSTAGRAM GUE NGGAK?! LUMAYAN NIH BUAT PANSOS KETEMU WINWIN!” kata gue. Wah ajaib dia ngerti dong sama omongan gue padahal gue pake bahasa Indonesia sehari-hari aja gitu. Lagian kan bahasa Korea gue juga jelek banget, nggak lebih bagus lah dari dia. Bahasa Mandarin gue juga cuma sebatas zen me ban wo bu zhi dao le aja nggak mungkin gue maksain buat ngomong Bahasa Mandarin ke dia. Dalam mimpi gue sendiri pun gue masih dipaksa untuk realistis ya. Padahal kan bisa aja gue sok-sokan ngomong bahasa Zimbabwe dan kita berdua sama-sama ngerti. Namanya juga di dalam mimpi.

Setelah dia say hi dan melambai-lambai sambil tersenyum ke kamera, dia bilang kalau dia lagi buru-buru. Dan pas dia ngomong gitu, di belakangnya muncul rombongan masyarakat wayv. Wah gue sih mau banget nih pepet Qian Kun tapi pikiran gue lagi nggak ke situ. Gue malah nanya ke WinWin, “Suho nggak ada di sini nih? Biar gue sekalian bisa minta video greetings!”

Gak sampe beberapa detik setelah gue menyelesaikan pertanyaan itu, si abang-abang kimjunkapas muncul dengan rambut belah tengah rasio 50:50, tersenyum awkward ke gue. Pas gue mau nyamperin Suho sekalian buat alay dan pansos, ada WhatsApp masuk dan suara notifikasinya kenceng banget. Enggak cuma sekali, tapi berkali-kali. SIAL!

Gue kebangun.

Jeno nyelip di bawah bantal entah bantal yang mana saking banyaknya bantal di atas kasur gue. Gue ngeraba-raba dengan mata masih terpejam. Agak lama sebelum akhirnya gue menemukannya. Pas gue skrol notifikasi dan liat ada WhatsApp, ternyata dari tempat kantor. Untungnya sih bukan masalah kerjaan. Kalau masalah kerjaan sih mau marah rasanya. GUE TUH BARU AJA MAU PANSOS KE KIM JUNMYEON! INI MALAH NGOMONGIN KERJAAN. Tapi sekali lagi untungnya bukan. Dan ini ternyata lebih penting dari masalah kerjaan.

“Ronzzy, Kai sama Jennie noh!”

Mata gue langsung melek. Kantuk gue hilang. Ingatan soal mimpi gue barusan buyar. Yang ada di kepala gue setelah baca pesan teks itu adalah bahwa saat ini gue harus segera nge-tweet: “BITCH. I’M NOT SOLO.” dengan GIF Jennie di bagian bawahnya. Gue senyum sebentar. Lalu bengong lagi...




Wah gila. Gila gila gila!!!!!! Kai dan Jennie sudah berhasil mewujudkan mimpi dan keinginan mereka padahal ini baru beberapa jam berselang setelah pergantian tahun. Mereka mengambil risiko untuk ketahuan Dispatch (kalau bukan settingan) dengan pacaran depan umum (yang Wallahualam disengaja atau tidak sengaja meneketehe yang penting kamera Dispatch dapet aja gambarnya). Masing-masing keluar dari zona nyaman lama sebagai jomblo dan masuk ke zona nyaman baru sebagai pasangan yang bisa jadi akan terus diomongin sampai mereka putus (ya maaf, tapi hubungan kayak gini mah ya paling banter enam bulan juga ntar putus. Kecuali Kai mau langsung nikah sama Jennie ya beda cerita. Tapi gak mungkin lah hahahahaha mereka kan bukan HyunA dan E-Dawn). Mereka ambil risiko itu.

Jadi, harusnya kan gue juga nggak perlu berpikir lama-lama kalau sekedar mencoba. Kalau mimpi Jennie dan Kai bisa jadi nyata, kenapa gue enggak? Meski mimpi kami beda sih. Tapi kan sama-sama mimpi dan berusaha mewujudkannya! Kan nggak ada salahnya mencoba. Kan kalau nggak dicoba nggak akan pernah tahu. Kalau 2017 gue berani ngomong ke orang yang gue suka soal perasaan gue ke dia. Kalau 2018 gue berani ngomong ke orang yang sama kalau gue masih suka dia walaupun di 2017 dia sudah nolak gue. Kenapa sekarang gue harus takut untuk sekedar mencoba? It’s just about sending your CV, Ron! Belum tentu juga kan lo diterima atau dipanggil atau apa kek. Harusnya gue juga segera beraksi aja, ya kan?

So I prepared my CV and send it to that company.

Kalau memang sudah jalan hidupku ke situ, ya ke situ deh. Kalau memang aku akan jadi jurnalis Kpop lagi, yaudah aku akan jadi jurnalis Kpop lagi.

Males mikir macem-macem. Capek nggak sih? Capek lah! Jadi gausah dipikirin. Klik send aja terus lupain. Ya kan?

Selamat tahun baru, teman-teman!

---



Share:

0 komentar