Gue akhirnya memulai podcast pribadi gue. Hehe... sebenarnya di awal 2019 gue sudah pernah mengunggah podcast dengan nama ‘Gloomy Monday’ ke Soundcloud. Waktu itu gue belum terlalu tahu seluk belum podcasting dan belum mengenal Anchor buat bisa masukin podcast ke Spotify. Ada dua episode yang gue unggah waktu itu tapi akhirnya nggak berlanjut lagi karena berujung gue fokus ke KEKOREAAN. Setelah kurang lebih setahun berkutat di KEKOREAAN, akhirnya gue menemukan kemauan dan semangat untuk membuat podcast pribadi yang gue kasih nama ronzikologi.
Tadinya memang gue mau lanjutin aja ‘Gloomy Monday’ tapi rasanya so last year banget. Haha... lagipula, nama itu sudah lengket dengan label ‘Live Instagram’ karena memang itu adalah live show Instagram yang gue mulai pas gue masih kerja di rumah produksi film dulu. Kemudian nggak berlanjut lagi karena hidup saat itu bener-bener kayak roller coaster. Keputusan untuk mengubah nama ke ronzikologi juga karena selain ini adalah fresh start gue juga ingin menempelkan branding nama ‘ron’ di setiap apa yang gue bikin. Biar sejalan gitu sama ‘ronzzykevin’, ‘ronzstagram’, dan sekarang ‘ronzikologi’.
(maaf ya kaoskakibau, jadi nggak dianggep sejalan)
(tapi kau tetap di hati lah! mau gimana juga!)
Kalau dipikir-pikir ternyata memang gue hanya butuh untuk menjadi sibuk agar lupa dengan hal-hal yang seharusnya nggak gue khawatirkan saat ini. Kenapa ya gue nggak pernah sadar tentang hal ini sebelumnya? Atau sebenarnya sih gue udah tahu tapi karena kekhawatirannya terlalu berlebihan dan kadang diada-adain jadinya malah kalah, gitu ya? Bisa jadi sih.
Gue sedang duduk di belakang meja kecil yang gue beli dari warnet yang sudah mau tutup di dekat kosan gue pas di Depok dulu dan baru selesai ngerjain artikel buat naik di portal kantor besok ketika gue memikirkan ini. Beberapa hari terakhir harus work from home membuat ritme kerja gue agak berubah. Termasuk juga keseharian mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan kemudian tiba-tiba saja gue kepikiran tentang hari-hari di mana gue selalu memikirkan hal-hal yang tidak pasti soal hidup. Kecemasan-kecemasan yang mendadak datang padahal sebenarnya nggak penting-penting amat buat dicemaskan.
Beberapa waktu yang lalu gue pernah menulis tentang bagaimana gue anxious mendengarkan pengakuan dua orang berbeda tentang dua hal serius yang ingin mereka bicarakan dengan gue. Yang satu mengaku kalau dia mengidap penyakit serius, yang satu mengaku kalau dia pacaran dengan salah satu teman gue. Gue nggak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi gue iri banget sama orang-orang yang bisa mengumpulkan keberanian buat ngomong secara terbuka tentang sesuatu yang mereka anggap penting, ke seseorang yang (mungkin) mereka anggap penting.
Pikiran gue soal dua momen itu kemudian membawa gue ke pertanyaan yang gue ajukan ke diri gue sendiri: apakah reaksi gue saat itu sudah tepat?
Gue tahu sih seharusnya memang masa lalu tuh nggak usah dibahas lagi. Yang lewat ya sudah lewat aja. Tapi tiba-tiba aja gue kepikiran sama hal yang satu ini: reaksi.
Sebagai seorang introvert, satu-satunya alasan untuk menjauh dari keramaian adalah karena bergaul itu bisa jadi sangat melelahkan. Semua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang introvert pasti merasakan ini. Bersosialisasi itu selain menyenangkan juga membutuhkan banyak energi. Biasanya kami, para introvert, butuh waktu untuk menepi dan menjauh dari segala bentuk interaksi dengan manusia-manusia lain untuk mengisi ulang energi yang hilang itu. Dan itu bisa dengan banyak cara tapi yang pasti kami semua sepakat bahwa momen menjauhi keramaian dan interaksi sosial itu adalah momen menyendiri yang sakral dan perlu dilakukan.
Sekarang mungkin orang-orang menyebutnya dengan social distancing.
Ada nggak sih orang yang mau hidupnya mentok di satu titik dan nggak bergerak sama sekali? Pertanyaan ini muncul di kepala gue dalam manuver singkat dari tempat tidur menuju ke kamar mandi di suatu malam. Gerakan yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah monolog yang harusnya tetap di kepala gue aja tapi ternyata keterusan sampai ke mulut.
“Nggak ada kali yang mau kayak gitu,” kata gue pas lagi cuci tangan. Belakangan ini gue lagi rajin banget cuci tangan pakai sabun karena takut kena virus corona.
Sebagai orang yang sehari-harinya menulis dan mendapatkan uang dari situ, stuck adalah salah satu hal haram yang rasanya amit-amit banget kejadian. Kayak pengin ngetok-ngetok meja berkali-kali, lanjut ngetok-ngetok jidat berkali-kali supaya dijauhkan dari kutukan bernama stuck. Mereka yang menulis menyebutnya Writer’s Block dan itu terjadi pada semua penulis mau dia baru mulai atau dia sudah senior. Bedanya mungkin mereka yang sudah senior bisa lebih tahu bagaimana cara menyikapi hal ini sementara yang penulis pemula akan sangat panik dan merasa diri mereka gagal karena tidak produktif.
Gue adalah yang kedua.
Meski agak enggan untuk mengakuinya karena takut akan terdengar cengeng dan drama, tapi gue harus terus terang kalau beberapa bulan terakhir ini memang hidup rasanya menghantam gue dengan terlalu keras. Tentu saja ini nggak berkaitan dengan kutukan Jaehyun yang waktu itu, walaupun gue masih yakin kalau ya sedikit banyak ada hubungannya sama itu (ya ini mah halu total mohon maaf) (WKWKWKWKWKWKWK), tapi gue harus bilang sekali lagi kalau real life is hard. So damn hard. Apalagi kalau lo sedang sakit.
Jujur aja gue nggak tahu ada apa dengan tubuh gue selama berbulan-bulan sejak, ya, dikutuk Jaehyun itu. WKWKWKWK. Di satu sisi tahun ini rasanya berjalan sangat cepat sampai tiba-tiba udah pertengahan Desember aja. Di sisi lain juga sangat lambat karena gue menghabiskan sebagian besar paruh kedua 2019 dengan slow-motion. Ya, literally slow-motion. Badan gue sedang tidak sama sekali ada dalam kondisi yang sehat walafiat seperti yang gue harapkan membuat pergerakan gue lamban banget kayak siput jompo. Ini adalah tahun terburuk untuk kesehatan gue.
Gue sakit. Tapi sayangnya sejak pertama kali gue merasa sakitnya ini sudah terlalu mengganggu, gue nggak tahu dengan persis gue sakit apa. Di blogpost sebelumnya gue bilang kalau gue kena muscle spasm, berdasarkan diagnosa dokter rehab medik yang gue datangi kala itu. Tapi kemudian rasa sakit gue berkembang jadi sakit-sakit yang mulai aneh. Mulai nggak jelas dan mulai random datangnya dari mana. Satu hari gue bisa bangun dengan kondisi punggung yang sangat berat kayak sedang memikul Saturnus. Satu hari gue bisa tidur dengan badan yang supersakit dan nggak bisa menemukan posisi yang nyaman; enggak menghadap ke kiri, enggak menghadap ke kanan, nggak juga terlentang. Semua posisi rasanya salah dan semua posisi rasanya sakit. Pada akhirnya gue nggak pernah bisa tidur. Jangankan nyenyak, tidur pun susah. Satu hari gue bisa merasa demam nggak karuan yang datangnya bener-bener random. Entah karena AC kantor yang terlalu dingin atau karena badan gue yang memang sedang tidak bisa mentoleransi perubahan suhu sekecil apapun.
Satu hari gue mendadak bangun dengan kondisi badan yang payah. Pundak gue rasanya seperti berat sebelah. Dada gue sakit banget yang bikin gue setiap kali berusaha berdiri tegak seperti sedang menahan beban yang sangat berat. Alhasil selama beberapa hari gue jalan bungkuk. Nggak cuma bungkuk tapi juga miring ke kiri. Gue bisa merasakannya karena memang agak aneh kalau sedang jalan. Orang-orang pun bisa dengan jelas melihatnya. Penegasan juga datang dari beberapa temen kantor yang ngeliat gue dengan postur aneh itu.
“Kenapa kok badan lo miring?”
Jawabannya selalu sama.
“Gue nggak tahu.”