Dikutuk Jaehyun NCT, Muscle Spasm, dan Fisioterapi


“Gue lagi sakit. Gue mau pulang biar bisa fokus ke pengobatan dulu.”

Aneh rasanya kalimat itu bisa keluar dari mulut gue. Gue dan sakit adalah sebuah paduan yang nggak masuk akal. Apalagi sakit parah yang sampai harus periksa ke dokter atau bahkan ke fisioterapis gitu. Sejak pertama kali gue meresmikan label “anak rantau” gue jarang banget sakit sampai harus ke dokter. Yang paling parah dan gue rasa itu terakhir deh gue ke dokter buat periksa rutin adalah untuk memeriksakan gigi gue yang udah ancur karena ketakutan gue ke dokter gigi selama bertahun-tahun sampai akhirnya harus diganti pake gigi palsu. Setelah itu kalau gue sakit ya paling sakitnya yang biasa diidap orang sehari-hari. Sakit yang nggak butuh dokter tapi cuma butuh warung terdekat aja beli parasetamol dan ya sudah aku sembuh dan kembali seperti sediakala. Dalam beberapa tahun terakhir ini adalah sakit terparah gue.

Harus mulai dari mana ya?

Gue kembali dalam kondisi sehat setelah pulang dari Seoul awal tahun ini sampai akhirnya gue tiba-tiba merasa ada sesuatu yang aneh di dada kanan gue. Sesuatu yang bergerak di bawah rusuk gue. Kalau kata YouTuber yang suka bikin kue yang sering gue tonton ada “air bubble” di dalam situ. Kadang-kadang gue merasakannya meletup tiba-tiba, kadang-kadang ketarik tiba-tiba, kadang-kadang pindah dari atas ke bawah dan seperti merayap di bawah rusuk gue. Sakit? Iya banget. Gue pernah terbangun di satu malam teriak karena itu. Tapi kalau dipencet atau ditekan di bagian rusuk itu, nggak ada apa-apa. Nggak sakit sama sekali.

“Saya bingung dok, ini kayaknya ada monster yang mau keluar dari dalam tubuh saya. Saya juga berdebar tapi kok di kanan?”

Saking gue bingung bagaimana menjelaskannya, gue ngomong aja apa adanya ke dokter di klinik dekat kosan. Klinik yang selalu gue lewati setiap harinya kalau mau ke kantor, klinik yang sepertinya lebih akrab dengan mantan teman kosan gue dulu karena dia emang orangnya sakit-sakitan, klinik yang akhirnya gue datangi juga untuk memeriksakan kondisi gue.

Dokternya bilang gue kelelahan dan stres.



“Karena kalau saya lihat tekanan darah normal, jantung normal, paru-paru bersih dan normal. Jadi kayaknya cuma kelelahan dan stres,” katanya.

Oke, gue menerima diagnosa itu dan dikasih obat lalu obatnya gue minum sampai abis dan ya gue kembali beraktivitas dengan normal.

Berminggu-minggu berlalu semua terasa biasa-biasa saja sampai akhirnya setelah Lebaran gue liputan konser NCT 127 di Singapura. Beberapa hari sebelum konser ini gue sudah merasakan sakit di bagian bahu dan punggung tapi gue cuekin aja. Gue pikir mungkin gue cuma butuh GoMassage dan semuanya akan baik-baik saja. Akhirnya gue berangkat ke Singapura dengan satu ransel yang isinya penuh banget dan jujur aja berat banget. Itu pertama kalinya gue merasa ransel gue berat setelah sekian lama gue melakukan perjalanan. Mungkin gue memang secapek itu. Untungnya malam itu gue sama Dimas, temen yang ngajak gue ke Singapura buat beli sesuatu untuk pacarnya, dapat tebengan tempat tidur yang nyaman. Jadi nggak perlu sakit-sakitan dan kedinginan tidur di lantai di bandara atau berebut tempat tidur sama orang-orang terdampar lainnya di Changi Airport. Semua terasa biasa-biasa saja sampai akhirnya pas konser, gue mulai ngerasa nyeri.


Sepanjang konser gue bisa menikmati dan masih bisa joget-joget, walaupun tas kecil yang gue bawa yang biasanya gue pasang di pundak kiri sekarang malah menyakiti pundak gue dan gue pindah ke pundak kanan. Konser itu berjalan lancar dan gue pun bisa bener-bener menikmatinya dari belakang. Gue bahkan spazzing sendiri waktu ngeliat Mark dan Doyoung. Tapi sekeluarnya gue dari konser itu, persis ketika gue sedang duduk selonjoran di pinggiran Singapore Indoor Stadium, gue merasakan serangan monster yang sama dan sekarang nggak cuma di bawah rusuk kanan tapi sampai ke punggung.

Di situlah kutukannya bermula.

Wow. Kutukan NCT 127 rupanya? Apakah ini kutukan dari Jaehyun karena selama ini gue sering ngejulidin dia?

Ya mungkin.

Gue ketemu Dimas di salah satu Starbucks di depan venue dan minta tolong dia buat beliin gue koyo karena gue sudah mulai susah napas dan sakit banget bahkan buat bicara. Gue sudah mulai hancur. Badan gue sudah mulai koyak pelan-pelan. PR selanjutnya sebenarnya memasang koyo itu di tempat yang tepat. Karena sakitnya di punggung, pasti gue nggak akan bisa masang itu koyo sendiri dan gue terlalu segan untuk minta tolong Dimas memasangkannya. Jadi malam itu gue pasangnya asal-asalan aja di toilet mall. Mendadak setelah itu kepala gue jadi pusing banget.

“Pasti karena belum ngopi deh,” kata gue ngomong sendiri. Malam itu masih panjang dan setelah dari Singapore Indoor Stadium kita pindah ke Marina Bay Sands buat nonton air mancur. Hasrat ingin ngopi gue akhirnya tersalurkan waktu kami memutuskan untuk menghabiskan waktu nongkrong sebentar di Starbucks sekalian buat menghilangkan pusing gue dan sebelum kita jalan lagi ke Garden by the Bay. Ya bener aja, pusing gue ilang setelah menyesap Ice Americano.

Malam itu sama sekali nggak kelihatan kalau gue sedang menahan sakit di punggung. Semuanya terlihat baik-baik saja. Sampai akhirnya kita tiba di penginapan dan wow gue baru sadar kalau hostel itu dingin banget. Gue nggak tahan dinginnya! Dinginnya nggak bisa dikecilin karena pake AC sentral dan karena dingin itu, badan gue pun jadi kaku. Sialnya kita dapat kubikel (yang satu kubikel isi dua orang) di atas jadi harus manjat tangga besi (yang jadi dingin banget!) dulu buat naik. Sementara gue tidak dalam kondisi yang prima untuk naik turun naik turun apalagi kalau mau pipis. Mau mati aja rasanya.

Tidur gue udah mulai nggak tenang malam itu karena punggung dan pinggang gue sakit banget. SAKIT BANGET. Gue bahkan berkali-kali mengerang kesakitan dalam tidur apalagi ketika mau pindah posisi.

Tubuh gue udah ancur.

Sebelum pulang paginya gue mandi air hangat untuk bikin itu otot-otot kendur semua. Somehow it works. Sampai akhirnya gue tiba di Jakarta, pesan GoMassage dan sekarang permasalahan gue nggak lagi sakit punggung tapi sakit pinggang.

Dari situlah sakitnya pindah-pindah. Dari pinggang kiri ke pinggang kanan, ke tulang ekor, ke punggung bagian bawah, ke pundak, ke mana-mana. Gue rasa gue mulai sakit jiwa karena sakit yang gue alami ini. Gue udah periksa ke beberapa dokter terutama setelah gue mulai ikutan lari sore sama temen-temen kantor dan merasa sakit gue udah terlalu parah. Diagnosanya sama, kecapekan dan stres. Obat yang dikasih sama, penghilang rasa sakit. Sejak saat itu gue nggak pernah lagi ke dokter. Sejak saat itulah gue keranjingan minum painkiller.

Because it works. It helps.

Nggak baik tapi gue perlu.


Gue hidup dengan koyo dan painkiller selama beberapa bulan sampai akhirnya semua sakit di pinggang itu sekarang udah ilang dan numpuk di punggung. Di sinilah gue merasa badan gue sudah ancur seancur-ancurnya.

Sakit banget, kaku, susah gerak. Kalau malam pas mau tidur, badan gue akan terasa sangat sakit waktu menuju posisi berbaring. Kalau udah berbaring besok paginya akan sulit untuk bangun. Pernah suatu hari gue beneran nggak bisa bangun dan cuma bisa natap langit-langit kamar sambil terlentang di kasur dan nggak tahu harus gimana selain nunggu sakitnya reda baru bisa mulai ke kamar mandi. Sakitnya sesakit itu. Mau pindah posisi tidur aja gue rasanya mau nangis. Pernah juga suatu malam gue beneran nangis saking gue bingung gue kenapa.

“Periksa lagi aja. Sekarang ke fisioterapi. Mungkin bisa membantu,” kata salah satu temen.

Gue sama sekali nggak pernah ke fisioterapi jadi gue browsing dulu. Di Jakarta ada di mana, berapa tarifnya, terus nanya sama temen-temen yang udah pernah melakukannya dan kesimpulannya adalah gue nggak akan sanggup kalau sendirian.

Agak manja sih, tapi, ya gitu deh.

Gue gerak aja susah. Kalau nggak minum obat penghilang rasa sakit, mungkin gue akan terkapar di kamar dengan punggung sakit. Bangun aja susah, bagaimana gue harus ke dokter setiap hari sebelum masuk atau sesudah kantor buat kontrol dan fisioterapi? Gue parno duluan. Udah panik duluan. Gue merasa semuanya too much untuk gue jalani sendirian. Mau minta ditemenin siapa? Temen yang mana? Semua kan pasti sibuk dengan tugas mereka masing-masing sebagai umat manusia di muka bumi ini, masa gue mau ngerepotin mereka?

Gue gak pernah nanya ke mereka sih. Tapi gue pikir gitu. Agak sungkan untuk minta tolong ditemenin ke dokter berkali-kali. Dan untuk yang satu ini rasanya gue nggak mau sendirian. Rasanya kok kayak kasian banget sih apa-apa sendirian.

Sebel kenapa gue mendadak jadi manja dan emosional gini. Tapi duduk di ruang tunggu rumah sakit sendirian itu membosankan dan menyebalkan seperti malam ketika bagian di bawah ketiak gue sakit banget dan harus ke IGD untuk periksa. Gue butuh moral support. Ditemenin. Untuk saat ini satu-satunya yang bisa gue lakukan adalah pulang. Periksa di rumah. Ke dokter di rumah aja. Karena di rumah pasti akan ada nyokap yang nemenin.

Akhirnya gue memutuskan untuk pulang.

Sayangnya perjalanan pulang ini ternyata nggak semulus pesan tiket pesawat dan cus langsung berangkat.

Beberapa hari sebelum pulang gue harus menyelesaikan beberapa hal yang memang mendesak. Menyambung hubungan yang sempat terbengkalai selama beberapa waktu dengan partner kerjaan. Gue bahkan sempat mencoba memulai merekam podcast pribadi juga sebelum itu meski setelah gue dengerin lagi gue nggak akan mau mengunggahnya karena terlalu TMI. Di antara semua itu ada dua hal paling penting yang terjadi sebelum gue pulang ke Lombok: yang pertama adalah hal yang bikin gue bingung dan berujung ke pikiran-pikiran self-destructive, yang kedua adalah hal yang bikin gue mendapat pencerahan dan ilmu.

--


Salah satu orang di inner circle gue nelepon gue di tengah-tengah film pas sedang nonton di CGV.

“Urgent.” katanya dalam SMS karena teleponnya nggak gue angkat.

Gue dan orang ini, kita sebut saja namanya X, memang sudah berkonflik lama dan kita sama sekali nggak pernah berkomunikasi setelah itu. Kami sama-sama menutup jalur komunikasi di semua media sosial dan chatting apps dengan mem-block akun satu sama lain. Tapi SMS dan telepon tetap terbuka karena, yah, siapa sih yang masih SMS-an di tahun 2019 ini kecuali gue dan nyokap gue? Dan dia bukan tipe orang yang suka telepon.

Salah satu temen gue yang ada di circle yang sama juga mengirimi gue pesan lewat beberapa aplikasi berbeda.

“Kalau dia telepon tolong diangkat, katanya urgent.”

Gue yang malam itu sedang baik-baik saja, sedang nonton ‘SUNNY’ di CGV dan sore tadi baru saja ketemu Kang Sora di press conference, pokoknya mood gue sedang bahagia banget deh. Dua pesan dengan kata ‘Urgent’ itu bikin gue gelisah dan cemas. I don’t want to say this but that messages triggered my panic. Gue jadi nggak tenang nonton dan kepala gue mendadak dipenuhi dengan pikiran-pikiran jelek.

“Urgent.”

Kata itu berulang-ulang keputer di kepala gue. Terucap lagi dan lagi.

“Urgent.”

“Urgent.”

“Urgent.”

“Urgent.”

“UGHHH SHIT!!!!!”


Gue sama sekali nggak mau balas SMS itu karena GOD DAMN IT I HATE THIS X SO MUCH. Tapi akhirnya gue balas juga. Karena apa? Gue takut dia bunuh diri. Sebenci itu gue sama dia, gue tetap takut kalau dia kenapa-kenapa.

“Sekarang di mana?” gue balas SMS itu sambil mengembuskan napas pelan. Berusaha untuk nggak panik beneran. Gue pernah kena serangan panik karena orang yang sama beberapa waktu lalu dan gue nggak mau itu terjadi lagi.

Setelah bertukar beberapa pesan gue akhirnya tahu dia lagi di mana dan tahu gue harus nyusul dia ke mana. Malam itu jam 8, filmnya baru mulai setengah jam, gue keluar dari bioskop dengan punggung yang sakit banget dan langkah kaki besar-besar. Setelah pesan ojol gue dengan pin point yang asal-asalan karena gue cuma bisa menebak-nebak lokasi terakhir gue nurunin dia dalam sebuah perjalanan pulang bareng beberapa bulan yang lalu, gue pun meluncur ke kosan orang itu.

Shit. Sepanjang jalan gue nggak bisa berhenti memikirkan hal-hal negatif dan buruk yang bisa saja terjadi.

“Harusnya gue nggak datang. Harusnya gue cuekin aja! Gue kan benci sama nih orang!”

“Gimana kalau dia beneran mencoba bunuh diri?”

“Ya sih. Tapi gimana dong?! Sebenarnya dia maunya apa sih? Bukannya sudah jelas-jelas dia declare kalau dia nggak mau lagi kontak-kontak gue tapi kenapa sekarang malah ngirim vague message gini yang malah bikin gue panik?”

“Ya gatau. Mungkin memang se-urgent itu. Coba lo pikir-pikir lagi. Kira-kira dia mau ngomong apa?”


Percapakan itu terjadi antara diri gue dan diri gue yang lain di dalam kepala gue. Bukan antara gue dan driver ojolnya. FYI, itu hanya kutipan singkat aja karena dialog aslinya bener-bener panjang banget sampai jadi sesuatu yang berlebihan. Tapi poinnya adalah: gue takut dia beneran mati.

Sampai ketika ojeknya berbelok di Jalan Sudirman, ada sesuatu entah apa dan entah gimana caranya datang ke pikiran gue. Masuk ke kepala gue dan meyakinkan gue. Kalau gue bisa menggambarkannya dalam kata-kata, ini semacem ada cahaya aura gitu jatuh dari langit lalu mendekati cahaya aura gue yang sedang ada di atas motor yang kemudian tanpa bicara sedikitpun memberikan kejelasan dan keyakinan dan menjawab semua pertanyaan gue tentang “Urgent.” itu.

Setelah itu gue jadi lebih tenang. Sambil berbisik pelan gue ngomong ke diri gue sendiri.

“Oh... dia mau bilang kalau dia sakit parah.”

Ini bukan pertama kalinya gue dipanggil cenayang. Tapi malam itu entah kenapa gue merasa kalau gue memang punya bakat jadi cenayang. Tapi mungkin untuk orang-orang terdekat aja. Soalnya ini juga pernah kejadian beberapa bulan yang lalu ketika salah satu temen perempuan gue dari inner circle berbeda ngajakin ketemuan dan persis sama ritmenya kayak gitu. 


“Aku mau ngomong serius.”

Gue suka orang ini. Tapi gue sepengecut itu buat ngomong ke dia kalau gue suka dia. Dan ketika dalam perjalanan ke tempat ketemuan kami, terjadi lagi dialog di dalam kepala gue yang akhirnya gue dan diri gue yang lain menyimpulkan dua hal:

1. Dia akan ngomong kalau dia suka gue (which is impossible lol)

2. Dia akan bilang kalau dia sudah pacaran (kemungkinan ini)

Mungkin lo mikir “kenapa juga dia harus laporan sama lo kalau dia sudah pacaran?”, gue juga mikir gitu awalnya. Tapi karena dia sedang dekat dengan salah satu teman gue dari lingkaran pertemanan yang berbeda semuanya jadi masuk akal.

Sebelum gue berbelok ke jalan yang akan membawa gue ke lokasi ketemuan kita, that shining aura thingy approached me and tell me this: dia akan bilang kalau dia sudah pacaran.

Shit. Mendengar intuisi itu saja gue udah sakit. Tapi mendengar itu dari dia ternyata lebih sakit.

Ya.

Persis seperti apa yang gue pikirkan. Dia bilang ke gue kalau dia sudah pacaran.

Dan ya, kembali lagi ke X, dia bilang ke gue kalau dia sakit parah persis seperti yang gue pikirin saat di ojek itu.

Kalau ada orang yang gue beeeeeeenciiiiiiiiii sebenci-bencinya mungkin dia adalah X. Gue sudah kehabisan kata-kata dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris gue yang biasa-biasa saja ini untuk mendeskripsikan kebencian gue. Gue tahu, ini bukan hal yang baik untuk dipendam atau bahkan ditulis dalam posting-an blog kayak gini. Tapi merasakan kemarahan itu gue rasa manusiawi. Kemarahan-kemarahan gue ke X selama ini sudah bertumpuk dan sekarang sudah jadi sebuah kebencian yang cenderung jahat. Maafkan gue untuk ini, gue memang bukan teman yang baik dan gue memang pendendam. Ketika malam itu dia bilang kalau dia sakit, gue nggak tahu bagaimana gue harus berkomentar atau menanggapi. Yang ada di kepala gue saat itu adalah gue pengin banget jambak rambut dia, mukul dia kenceng-keceng dan bilang ke dia kalau dia adalah orang paling bodoh di dunia ini.

Tapi gue tahu, bukan itu yang dia butuhkan. Dia nggak butuh tahu bagaimana perasaan gue saat itu. Bagaimana marahnya gue saat itu mendengar cerita dia. Bagaimana gue ingin menjambak rambutnya dan mengobrak-abrik kulit mukanya yang mulus itu. Karena gue tahu, di saat seperti ini yang dia butuhkan adalah dukungan.

Dan ternyata itu sulit.

Di situlah gue merasa jahat banget. Gue merasa bukan orang baik. Perasaan gue begajulan dan campur aduk.

Gue benci orang ini tapi gue tahu dia butuh dukungan. Tapi semakin lama gue ada di situ dan di dekat dia itu akan bikin gue jadi makin marah. Semua hal jelek yang dia lakukan ke gue dalam beberapa tahun terakhir langsung memenuhi pikiran gue dan itu menghalangi semua moral support yang harusnya gue kasih ke dia malam itu. Gue nggak tahu harus gimana sampai akhirnya dia nangis kejer.

“Gue jahat banget nggak sih? Gue selama beberapa hari ini mikirin ini dan gue merasa gue bukan orang baik, Nad,” kata gue ke Nadya, salah satu teman dekat gue.

Nadya dan semua orang yang gue sebutkan di atas bukan bagian dari satu circle yang sama.

Cerita gue ke Nadya dan alasan kenapa gue nggak bisa memberikan X fully support mungkin memang terdengar egois. Tapi itu jujur. Mungkin sampai di sini lo masih merasa bagian dari cerita ini agak nggak jelas karena gue nggak menceritakan kenapa gue benci banget sama X. Kalau gue rangkum dalam satu kalimat pendek mungkin begini: gue dulu care banget sama dia, se-care itu sampai gue bahkan lupa memedulikan dan mementingkan diri gue sendiri dan orang-orang lain di sekitar gue yang sebenarnya lebih penting. And X took all that kindness for granted.

Sekali lagi ini hanya kesimpulan gue sendiri. Bisa jadi salah. Lo mungkin harus dengar versi dia.

“Hmm lo jadi kaya menyalahkan diri lo sendiri karna masih benci sama temen lo ini walau di saat dia sedang terpuruk dan harusnya lo dukung?” tanya Nadya untuk mengonfirmasi cerita yang gue tulis singkat buat dua.

“Iya kurang lebih kayak gitu,”

“Wajar aja sih Ron kalau perasaan benci itu masih ada, apalagi kalau dia selama ini belum pernah melakukan permintaan maaf yang sepantasnya. Gue pun pernah ngerasa gitu kok, antara gak tega sama kondisi ini orang sekarang tapi kadang kalau inget yang dulu tuh rasa sakitnya masih kebayang. Tapi kalau gue pribadi ya lebih ikutin kata hati gue sekarang aja sih, gak usah dipaksa Ron. Gak usah memaksa lo harus langsung manis-manis sama dia sementara sebenernya lo masih gondok juga. Soalnya apa ya, dia kan lagi dalam posisi rentan nih, lagi ancur banget, misal lo paksain deket dia dan malah jadi ga sengaja terlontar soal kebencian lo dulu, yang ada dia makin sedih gak sih?”


I actually said “I hate you” few times that night. Fuck.

“Mungkin sulit banget melupakan sesuatu yang menyakitkan, tapi pada waktunya kita pasti bisa memaafkan orang yang menyakiti kita kok walau gak 100% tapi setidaknya cukup untuk gak mengungkit itu lagi. Penyakit yang dia idap juga bukan main-main sih Ron. Beberapa orang pejuang ujung-ujungnya ada yang karena apalah gue juga gak paham detail banget,”

Dan gue malam itu takut banget dia mati lebih dulu dari gue. Takut banget.


“Anggep aja itu balasan dari Tuhan untuk dia. Tuhan udah balesin buat lo, lo ga perlu nambahin lagi, yakin aja Tuhan udah Maha Adil. Pelan-pelan aja Ron. Gue juga pernah kok menyimpan kebencian dalam waktu yang cukup lama sama seseorang, bertahun-tahun dan ujung-ujungnya tiba-tiba hati gue merasa udah enteng aja, baru deh gue bisa berkomunikasi lagi sama itu orang walau gak akrab juga. Nggak apa-apa Ron, gak usah dipaksa gue bilang. Asli deh. Sayangi diri lo. Lo mau paksain deket juga gimana? Lo juga gak akan bisa ngebahagiain dia kalau lo sendiri aja gak bahagia kan? Lo bantu lewat doa aja. Itu jauh lebih berarti dan bermanfaat dibanding sok-sokan mau jadi support system dia tapi ternyata hati lo berkata lain. Tapi Allah itu emang luar biasa sih Ron. Maha Pembolak-balik Hati deh. Gue juga gak nyangka gue bisa maafin orang itu. Minta maaf juga engga ada kok. Emang cuma Allah yang bisa (begitu),”

Sebelum gue ngomong panjang lebar ke Nadya itu hari-hari gue rasanya kayak dipenuhi dengan pikiran kalau gue orang jahat karena gue nggak bisa memberikan dukungan ke orang yang gue kenal ini dan dia sedang struggling dengan penyakitnya. Tapi apa yang Nadya bilang masuk akal juga. Meski gue pikir gue tetap aja jahat karena.... AH PLEASE HENTIKAN SEMUA PIKIRAN-PIKIRAN INI.

But then...

“Gue nggak jahat kan ya, Nad?” tanya gue ke Nadya diikuti dengan emoji sedih.

“Gak lah!”

Semoga ini bukan jawaban yang hanya bermaksud untuk bikin gue merasa baikan.

“Orang selemah-lembut dan gak berdaya kaya gue aja juga bisa menyimpan kebencian yang besar kok. Wajar lah kita kan manusia bukan malaikat,”
lanjut Nadya. “Cuma, ya gimana kita berusaha kontrol aja. Jangan sampe jadi toxic juga atau berubah jadi Joker. Haha. Lagipula kalau pun (apa yang lo lakukan ke dia) itu dikategorikan sebagai "jahat" trus so what gitu? Emang kita gak boleh sesekali jahat? Emang kita ustad? Biksu? Pendeta? Ya kan emang kita harus jadi orang baik terus? Kita kan juga bukan jadi benci tanpa sebab. Kita gak sembarang menebar kebancian kaya geng Mean Girls yang benci sama anak yatim cupu, yang ngerjain orang tua miskin dan sebagainya.”

Menebar... apa? Sebentar.

“Nad?”

“Maksud gue menebar kebencian. Anjir wkwkwk,”

“Dasar hati kamu memang beku.”

Gue menarik napas panjang. I love Nadya. She always know what to say to me whenever I feel down. Gue cuma bisa berdoa semoga gue nggak kena karma dari kejahatan gue ini. Kalau pun kena, semoga karmanya nggak gimana-gimana.

LHA NAWAR.

Semua hal yang terjadi, masalah-masalah yang tersisa dan bertumpuk di sudut kepala gue, mungkin juga jadi salah satu faktor yang membuat punggung gue sakit banget selama beberapa bulan terakhir ini. Gue inget dokter yang gue ceritain soal monster di dada gue itu bilang kalau gue harus mengontrol stres gue. Dokter dari aplikasi HaloDoc juga bilang kalau gue harus me-manage stres gue. Yet I still don’t know how. Tapi yang jelas, pertemuan gue dengan X malam itu selain menyisakan pikiran soal betapa gue adalah orang yang paling jahat di muka bumi ini, juga menyelesaikan semuanya. Gue masih benci dia dan gue sudah bilang ke dia soal itu. Gue juga bilang kalau kita mungkin nggak akan bisa berteman kayak dulu dan gue juga nggak akan bisa masuk ke support system yang sedang berusaha dia bangun sekarang. Sambil nahan sakit punggung dan nahan nangis, gue peluk dia dan semua harus selesai di situ.

Walau setelah itu gue gak bisa tidur nyenyak sampai akhirnya gue cerita ke Nadya.

--


Kejadian penting kedua sebelum gue pulang adalah ketika gue jadi MC di acara bedah buku Penerbit Haru di hari Minggu 13 Oktober kemarin Hari itu gue terbang ke Lombok malam dan siangnya karena gue sudah tanda tangan kontrak gue harus jadi MC dulu. Awalnya gue takut banget karena gue tidak sedang berada di “zona aman” gue: audience acara itu kemungkinan besar lebih banyak fans BTS. Hihihi... alasannya simpel: karena buku ‘I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki’ yang dibahas di bedah buku hari itu adalah buku yang pernah dibaca oleh RM. Untungnya semua berjalan lancar dan gue bisa sok asik aja gitu jadi MC “EXO-L” di antara para ARMY. Anyway, salah satu influencer yang diundang hari itu juga ARMY jadi ada becandaan-becandaan yang ngalir yang semoga nggak banyak orang tersinggung karenanya.

Penerbit Haru mengundang dr. Jiemi Ardian juga sebagai salah satu pembicara hari itu. Karena kita mau membahas soal self love dan juga something related to depression. Memandu acara yang mendatangkan ahli kadang-kadang bikin tertekan juga karena takut kalau gue salah ngomong atau apa. Tapi dr. Jiemi, terlepas dari dia nggak tahu Kpop sama sekali dan gue cengin berkali-kali karena dia roaming dengan omongan gue dengan narasumber lain (WKWKWKW MAAF YA DOK), dia bisa masuk ke topik yang sebenarnya sangat dekat dengan remaja sekarang terutama yang memang fans Kpop. Satu hal penting untuk dicatat dari sesi singkat bersama dr. Jiemi siang itu adalah bahwa “feel depressed” tidak sama dengan “depression”.

“Kita mungkin merasa hidup kita berat, banyak masalah, kita nggak dapet tiket konser yang kita mau, lalu kemudian kita bisa bilang kalau kita feel depressed. Beda dengan depression. Orang yang depresi berada dalam kondisi di mana mereka berpikir kalau mereka tidak akan pernah merasa bahagia lagi. Bisa aja mereka sekarang menikmati konser dan bersenang-senang, tapi setelah itu mereka akan kembali lagi ke perasaan-perasaan tertekan itu. Jangan sekali-kali menyamakan dua hal itu karena memang beda banget. Buat orang depresi, bisikan-bisikan untuk bunuh diri dan mati itu selalu ada di belakang kepala mereka.”

Kita juga kemudian membahas sedikit tentang bagaimana caranya untuk nggak overthinking. Gue sebagai MC hari itu sebenarnya ingin mengulik lebih banyak soal hal-hal yang terkait dengan ini. Tapi karena waktu yang singkat dan gue juga ada cue card yang sudah menentukan gue harus ngapain dan bilang apa dan tidak keluar dari jalur, jadi gue hanya bisa tahan-tahan aja sambil menyelipkan pertanyaan-pertanyaan yang bikin gue penasaran.

“Kalau overthinking mulai merasuki pikiran kita, coba alihkan pikiran ke saat ini. Ingat bahwa apa yang kita pikirkan itu hanya ada di pikiran kita, nggak nyata dan bukan realita. Realitanya adalah bahwa saya sekarang sedang duduk, saya sedang ada di kamar, saya sedang pakai baju warna kuning, saya sedang mendengarkan lagu.” Ya kurang lebih begitu katanya meski kalimatnya nggak 100 persen kayak gitu. Memang sih ini terdengar mudah untuk ditulis tapi gue akan mencoba untuk mengamalkannya juga since overthinking adalah penyakit gue banget.

Sesi singkat bersama dr. Jiemi hari itu mungkin adalah hal paling berfaedah yang gue lakukan selama seminggu terakhir. Semua kalimat yang keluar dari mulut dia sebagai seorang pakar bener-bener ngena di gue. Terutama di bagian soal self love-nya ketika dia bilang, “Penerimaan harus selalu diikuti dengan perubahan supaya kita bertumbuh.” dr. Jiemi memberi contoh, semisal kita punya berat badan yang lebih dari seharusnya dan ya kita menerima diri kita apa adanya—dan itu adalah bagian dari self love—tapi bukan berarti kita menerima itu lalu kita biarin gitu aja. Kita juga harus bertumbuh dan berubah, tetap dengan target-target tertentu yang kita inginkan, meski itu bukan jadi faktor yang memberikan tekanan pada kita alih-alih kita justru menikmatinya. Dari situlah kemudian ada sedikit poin tentang “memaafkan” yang nyambung banget dengan kondisi gue saat itu juga. Gue nggak tahu apakah ini sempat dibahas di acara bedah buku atau gue baca dari salah satu posting-an media sosial dr. Jiemi soal itu. Yang pasti kita perlu belajar untuk mengenal konsep “memaafkan” itu. Bahwa memaafkan nggak sama dengan memberikan kepercayaan kembali. Memaafkan itu melepaskan rasa sakit, tapi juga hak kita untuk tidak disakiti lagi.

Itu bikin gue berpikir, mungkin selama ini sakit yang gue rasakan ini sebenarnya karena gue sendiri belum bisa memaafkan banyak hal. Memaafkan diri gue terutama. Atau X misalnya. Atau kakak gue, atau bokap gue. Mungkin ini saatnya untuk benar-benar membuka diri untuk memaafkan supaya, seperti yang dokter bilang, rasa sakit ini bisa lepas dari diri gue.

Mungkin kenapa akhirnya Tuhan menakdirkan gue untuk tanda tangan kontrak jadi MC di acara bedah buku ini sebenarnya berhubungan dengan SMS “Urgent.” yang dikirim X di malam gue kembali jadi cenayang itu. Mungkin Tuhan sebenarnya ingin supaya gue menyelesaikan semua permasalahan gue dengan X dan memaafkan semuanya. Mungkin dengan itu, sakit punggung gue jadi nggak akan separah sekarang.

--


Beruntung penerbangan ke Lombok malam itu (pertama kalinya naik Air Asia rute Jakarta – Lombok!) lancar tanpa guncangan yang berarti. Gue tidur pulas banget sepanjang penerbangan dan baru bangun ketika pesawat sudah mendarat. Gue capek banget karena dalam perjalanan ke Bandara gue dapat driver taksi online yang ngobrol terus dan teriak-teriak. LITERALLY TERIAK-TERIAK!

“LIAT FOTO OM NGGAK DI APLIKASI?! WEHEHEHEH GANTENG KAN KAYAK TOMMY SOEHARTO?! WUEHEHEHEH TAPI SEKARANG LIHAT WAJAH OM KAYAK APA?! KAYAK ONDEL-ONDEL WAHAHAHAHAHAHAHAHA”

Satu-satunya hal yang gue khawatirkan setelah pesawat itu mendarat adalah gimana caranya gue bisa menggapai ransel gue yang ada di kompartemen penyimpanan di atas kepala karena gue nggak akan sanggup untuk menjulurkan tangan sejauh itu karena yah gue sudah jompo.

Sesampainya di rumah gue ceritain semua keluhan gue ke nyokap dan rasanya mau nangis tapi nggak bisa. Biasanya sebelum sampe rumah gue sering kepikiran drama-drama di kepala gue kayak gue akan nangis kejer mintak dipuk-puk banget gitu misalnya. Tapi malam itu sambil berusaha untuk melakukan gerakan stretching yang gue pelajari dari video, gue mengeluh kesakitan sambil memikirkan apa yang harus kita lakukan besok.

Apakah gue akan langsung ke dokter?

Apakah gue akan ke pengobatan alternatif seperti terapi syaraf dan akupuntur?

Apakah gue akan mengikuti saran teman-teman gue untuk fisioterapi?

Setelah makan opor ayam sebelum tidur malam itu dan kondisi rambut yang berantakan dan badan bau keringat tapi malas mandi karena malam-malam begini biasanya di kamar mandi rumah gue ada tokek dan gue benci banget makhluk itu, gue dan nyokap pun setuju kalau kita akan ke tukang urut dulu sebelum ke dokter.

Tukang urut ini, namanya Haji Irfan, bisa dibilang masih keluarga sama gue. Masih sepupu dari pihak bokap. Kemampuan pijat dan urut ini sudah diajarkan turun-temurun dalam keluarga. Jadi kalau menurut dia, kakek gue dari pihak bokap dan Ayah dari pak Haji Irfan, adalah sepupu yang memang dalam garis keturunannya punya kemampuan dan bakat pijat dan urut gitu dan memang semuanya menurun ke anak cucu tapi memang ada yang diseriusin, ada yang nggak. Sedikit menjelaskan kenapa beberapa teman kantor bilang kalau pijetan gue juga enak. Tapi bedanya dia dengan orang lain yang ada di keluarga, dia fokus untuk mempelajari tekniknya. Nggak cuma teknik sebenarnya tapi juga anatomi tubuh manusia yang tentu saja penting untuk dia tahu supaya nggak salah-salah ketika sedang menangani pasien.

Seperti kebanyakan tukang urut tradisional, he’s not certified or anything, tapi semua orang yang datang ke dia langsung sembuh dari keluhannya itu dalam sekali kunjungan. Wow. That was magic. A miracle worker!

“Pernah kaki saya keseleo dan dia cuma sentuh sedikit saja terus ditiup dan dikasih doa gitu, langsung bisa jalan lagi,” kata salah satu Bibi gue yang pernah diurut sama dia.

So yeah, mendengar banyak sekali cerita keberhasilan pak Haji Irfan, gue pun mencoba untuk datang di hari pertama gue di Lombok sebelum nanti juga tetap memeriksakan diri ke dokter since gue butuh surat dokter juga buat izin ke kantor. Jadi hari itu, gue yang sama sekali nggak pernah dipegang sama pak Haji Irfan untuk pertama kalinya merasakan tangan magis itu dan berteriak.

BERTERIAK.

KENCENG BANGET ANJIR.

DI TERAS RUMAH ORANG MASIH PAGI.

Gue berani bersumpah dia bahkan nggak memberikan tekanan pada saat dia nunjuk ke salah satu titik sakit gue. Tapi sakitnya YA ALLAH YA TUHAN MAU NANGIS. Gue harus melewati proses menyakitkan itu selama kurang lebih setengah jam di hari pertama. Kondisi gue sebelum datang ke situ adalah punggung kaku, bagian di bawah ketiak nyeri, pinggang agak nyeri dan sedikit kaku, pokoknya kalau jalan akan terlihat sangat robot. Lalu dia pegang semua bagian-bagian itu, diurut sama dia, “Dibenerin dulu ini yang udah melilit.” Kalau kata dia sih, lalu gue ber-AW! AW! AAAARRGGGHH!!!!! OOOOMMMAYYYGGGATTTTT!!!!! berkali-kali sebelum akhirnya dia bilang “Ini sudah akumulasi kelelahan bertahun-tahun. Ya wajar semua bagian keras banget. Kaku banget,” katanya. Mungkin itu sudah termasuk penderitaan gue dalam menahan rindu.

Nggak cuma dia “meluruskan” otot-otot gue yang kacau, dia juga memberikan massage di bagian perut sampai ke pinggang. Bahkan juga leher dan kepala. Hasilnya di hari pertama itu gue sudah bisa merasakan perubahan yang sangat berarti, meski pun masih ada rasa sakit. Kalau tadi ketika gue datang sakitnya sebadan-badan, sekarang sakitnya udah fokus ke bagian punggung aja. Jadi selama beberapa kali kunjungan gue berikutnya hanya fokus di punggung karena bagian itu yang berat banget. Punggung, ketiak, dada. Sementara leher ke atas dan dada ke bawah itu udah kayak nggak ada keluhan sama sekali.

Di kunjungan keempat I feel better. Way better than the first day. Dan di hari keempat itulah gue juga akhirnya janjian sama dokter Fisioterapi di salah satu rumah sakit yang jaraknya cuma Rp 14 ribu pakai GrabCar.

“Masih bisa daftar nggak mas untuk fisioterapi?” kata gue di meja CS.

“Masih sih mas, tapi ini antreannya sudah banyak banget. Mungkin nanti dapat gilirannya lama. Kalau mau besok pagi aja datang lagi,”
kata mas-mas CS-nya.

“Besok pagi jam berapa ya mas?”

“Kalau sudah pernah diperiksa dokternya, biasanya dari jam 6 udah bisa antre untuk tindakan. Tapi kalau belum pernah diperiksa mungkin sekitar setengah sembilan,”

“Hmm... Ogitu,”


Gue tidak menunjukkan tanda-tanda beranjak dari kursi itu karena gue merasa gue butuh ditindak sekarang, nggak mau besok. Sampai akhirnya masnya balik lagi ke gue dan bilang:

“Mas pasien umum atau BPJS?”

“Umum mas,”


Lalu dia ngomong ke orang sebelahnya.

“Dokter Era masih ada kan ya?”

Lalu dia balik ke gue.

“Kalau pasien umum, periksa aja dulu mas ke dokternya, masih ada kok dia. Ini nomor antreannya dibawa aja ke loket pendaftaran di sebelah sana,”

“Oh jadi saya nggak usah nunggu sampai besok buat diperiksa?”

“Iya mas, langsung aja.”


Hmm... semenderita itu apa ya pake BPJS? Gatau ah.

Ada sekitar belasan orang yang antara nunggu diperiksa dokter dan nunggu difisioterapi di ruang tunggu yang posisinya hadap-hadapan dengan musala. Mostly adalah lansia, satu ada anak kecil abis kecelakaan, dan yang lainnya gue. Gue nggak tahu deh dapat urutan ke berapa. Gue datang sekitar jam 10:30-an dan baru diperiksa dokter jam 12 lebih, itu pun gue sempat solat zuhur dulu. Di situlah akhirnya gue tahu apa nama penyakit gue ini: Muscle Spasm.

“Ini karena melakukan pekerjaan yang monoton dan terus-menerus, seperti kelamaan duduk di depan komputer misalnya. Saya lihat tulangnya normal dan nggak ada masalah lain, cuma spasm-nya aja ini mas. Nanti abis itu ke ruangan sebelah untuk di fisioterapi ya,” kata dokternya.

For your information, muscle spasm
adalah kondisi ketika otot berkontraksi, menjadi kaku, atau berkedut tanpa sadar. Yang benar-benar merangkum apa yang terjadi pada gue selama beberapa bulan terakhir ini. Teriakan-teriakan di malam hari itu, AW! AW! yang tiba-tiba itu, dan monster yang ada di bawah rusuk gue itu. Sayangnya ketika menjalani tindakan fisioterapi, gue nggak merasakan sesuatu yang gimana-gimana banget. Penyinarannya biasa-biasa saja dan setrumnya juga nggak terlalu berasa. So yeah... it was kind of disappointing, RS Islam Siti Hajar!


Informasi soal muscle spasm itu kemudian gue bawa ke tempat fisioterapi lain yang jaraknya lebih dekat dari rumah. Malam itu, di fisioterapi kedua gue, gue ditangani oleh Mas Puguh di Klinik Fisioterapi Kamboja. Seperti halnya ketika gue ke dokter, gue juga skeptis dengan klinik ini. Tapi ternyata ketika gue sudah ditangani oleh fisioterapisnya, wow memuaskan sekali! Penyinaran infra-merahnya berasa banget dan comforting dalam prosesnya. Lalu alat kejut listrik apapun namanya itu juga bener-bener bikin gue merasa nyaman banget. Abis itu, mas Puguh juga memberikan beberapa excercise untuk meringankan rasa sakit di punggung gue. Beberapa gerakan sederhana tapi melelahkan karena sejak gue sakit otot ini gue jadi susah bernapas dan napas gue jadi pendek-pendek.

Pulang dari situ gue bisa tidur nyenyak. Bolak-balik posisi nggak lagi sesusah itu. Memang masih ada rasa sakit di punggung dan di dada tapi hanya beberapa titik saja. Ini baru yang namanya ada efek. Makanya itu akhirnya satu malam setelahnya gue kembali lagi ke klinik yang sama dan kali ini gue ditangani oleh terapis yang berbeda. Namanya Mas Edi.

Can I be specific and little bit exaggerated on this? LOL

Mas Edi kelihatan seperti karakter-karakter nerd di komik. Orangnya nggak terlalu tinggi, pakai kaca mata dengan frame agak tebal, rambutnya ponian, dan senyumnya ramah. Dari aksennya kedengerannya dia datang dari bagian Timur pulau ini. Awalnya dia ketawa karena melihat topi anjing yang gue pakai dan mungkin dia nggak ngeh kalau ternyata gue orang. Makanya dia bengong agak lama di depan pintu waktu temennya di loket bilang kalau ada pasien yang mau fisioterapi.

“Ya ini pasiennya,” kata temennya. Lalu Mas Edi ngeliat gue dan mempersilakan masuk ke ruangan terapinya.

Ruangan itu cahayanya agak remang-remang. Di dekat pintu masuk ada meja dan komputer, di seberang meja itu ada bilik-bilik yang disekat dengan gorden berwarna oranye yang didalam biliknya ada tempat tidur kecil dan satu kursi, serta ada beberapa alat penyinaran inframerah dan beberapa alat fisioterapi lain. Di sebelah kanan meja ada beberapa alat seperti treadmill dan sepeda statis.

Ketika masuk ke ruang periksa, gue menjelaskan apa yang Mas Puguh lakukan pada gue semalam. LHA SOUNDS SO WRONG. Lalu Mas Edi malam itu melanjutkan dengan memberikan treatment yang berbeda. Memang gue sama-sama disinari dengan inframerah dan juga diberikan kejut listrik itu. Tapi alih-alih dilakukan bergiliran, kali ini keduanya dilakukan di saat yang sama. Gue juga sudah mulai terbiasa dengan aliran listriknya jadi gue minta agak kenceng dikit supaya bener-bener terasa gitu.

Nah bencana sebenarnya terjadi setelah itu.

Mas Edi orangnya asik. Mungkin karena dia masih muda jadi obrolan kita masih nyambung. Mas Puguh juga masih muda sih, tapi semalam dia nggak terlalu banyak ngobrol. Jadi nggak berasa tek-tokan kami pas ngobrol, nggak kayak gue sama Mas Edi. Waktu dia mulai massage punggung gue, dia banyak nanya soal pekerjaan dan kenapa akhirnya gue bisa sakit punggung kayak sekarang. Nggak jauh beda dengan Pak Haji Irfan, Mas Edi fokus massage di bagian-bagian yang memang sakit. Di situlah gue makin tahu kalau ternyata bunyi kretek-kretek ketika kita dipijet itu adalah sebuah tanda bahwa otot kita bermasalah.

“Harusnya itu nggak bunyi. Harusnya mulus aja gitu mas,” katanya.

Dan masalahnya kretek-kretek gue nggak cuma di satu titik, tapi ada di beberapa titik berbeda. Ya inilah akhir dari hidupku.

Gue nggak tahu dia massage-nya pakai gel apa tapi rasanya nyaman banget di punggung gue yang kurus kering itu.

“Dulu saya juga lebih kurus dari ini, tapi saya makan lima kali sehari dan latihan otot buat nambah berat badan,” katanya.

“Wow. Saya makan sehari kadang suka lupa. Hehe...”

Bohong. Padahal gue termasuk banyak makan meski memang nggak teratur. Gue baru inget kalau dari siang gue juga belum makan.

“Kalau kurus gini, gampang kena penyakit infeksi mas. Jadi harus jaga kesehatan,”

“Iya. Temen saya juga ada tuh yang kurus dan sakit-sakitan,” kata gue. Agak disertai dengan dendam.

Setelah semua sesi massage tanpa baju selesai (gue paling nggak pernah mau disuruh buka baju di depan siapapun mau dia berjenis kelamin apapun bahkan di depan nyokap gue sendiri tapi selama seminggu gue sakit ini gue nggak punya pilihan. Bahkan di teras rumah orang pun.... HUHUHUHUH BADANKU HUHUUHUHUHU) sekarang gue disuruh duduk di kursi.

“Brace yourself,” katanya.

“WAIT... WAIT... WHOA, WHAT?!”

GUE NGGAK TAHU TIBA-TIBA UDAH ... KRETEK!!!

Dua tangannya megang bahu gue dan lututnya diposisikan di tulang di antara punggung dan kemudian ditarik sama dia.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Mau nangis tapi udah nggak punya tenaga.

Abis itu dia mengeluarkan alat lain yang gue nggak tahu persisnya apa tapi semacam... UltraSound... kinda thing? Entahlah. Yang pasti alat itu katanya buat meluruskan jaringan otot dari luar dan dipijetnya di leher. Jadi leher gue dikasih gel gitu ya kayak USG gitu deh terus alatnya digerak-gerakin pelan di bagian leher.

“Agak kayak ketusuk rasanya tapi nggak akan sesakit itu,” kata Mas Edi.

Tapi apa bisa gue percaya orang ini setelah adegan BRACE YOURSELF dan KRETEK tadi?!

Gue disuruh nunduk sama dia agak lama dan gue ternyata terlalu lelah untuk nunduk selama itu. Lo pernah nggak sih berada di titik yang capek banget sampai beneran yang udah nggak sanggup buat mengangkat tangan lo lagi? Mana lagi gue belom makan. Sampai akhirnya di satu titik gue merasa sangat lapar dan gue bilang “Mas... laper...” lalu dia ketawa. Ya memang reaksi yang wajar karena gue ngomongnya kayak beneran memelas gitu. Tapi gue jujur. Gue memang laper banget. Satu hal lagi yang jujur gue katakan setelah itu adalah “Mas abis ini saya mau pingsan.”

Dia mungkin nganggep itu becanda tapi gue sudah merasakan dingin di sekitar wajah gue. Keringat dingin sudah mulai keluar dan penglihatan gue sudah nggak berfungsi dengan baik lagi. Kuping gue juga tiba-tiba nggak bisa mendengar suara apapun dari luar. Kecuali samar-samar gue mendengar Mas Edi keluar dari bilik periksa itu dan manggil nyokap gue.

Di momen singkat itu gue merasa seperti... mati.

Mungkin rasanya seperti itu?

Gue kehilangan kesadaran entah berapa lama. Meski ini sebenarnya bukan pertama kali gue mengalami ini tapi ini yang terparah gue rasa.

Gue nggak bisa merasakan badan gue sama sekali. Gue melek tapi mata gue nggak bisa melihat apapun, semuanya putih. Lalu telinga gue nggak bisa mendengar dengan sempurna tapi gue bisa mendengar nyokap gue datang dan menghampiri gue. Rasanya seperti roh gue ditarik sesaat hanya saja gue nggak bisa melihat diri gue sendiri. Seolah roh gue juga buta mendadak meski dia sudah meninggalkan tubuh gue. Semua orang mencoba untuk mencari solusi gue harus diapain dan yang paling sigap ya Mas Edi. Dia tahu gue butuh makan sesuatu yang manis jadi dia minta temennya buat ambilin apapun makanan manis. Mereka kembali dengan sebotol Teh Pucuk Harum dan sekaleng butter cookies.

Itu adalah Teh Pucuk Harum dan butter cookies terenak yang pernah gue makan seumur hidup gue.

Gue nggak tahu persisnya berapa lama tapi setelah beberapa saat gue kembali merasakan hangat di badan gue. Roh gue udah balik. Gue bisa melihat nyokap di sebelah gue dan minta bantuan dia buat naik ke kasur. Lalu gue meringkuk di kasur dengan keringat dingin yang bercucuran dan sekejap gue lupa dengan sakit punggung yang gue rasakan. Gue cuma butuh gula. Karena semua kejadian itu adalah efek dari gula darah gue yang mendadak drop.

“Wajahnya tadi putih banget mas, bibirnya juga. Sekarang udah keluar ini warnanya, hehe,” kata Mas Edi.

“Gausah dicengin dong!” kata gue sambil nahan malu.

“Abis ini nanti ditulis ya mas, pasien fisioterapi pingsan karena kurang gula,”

“YA OKE BAIK KALAU ITU MAUMU MZ!”


“Sebenarnya tadi mau saya lanjutin sama excercise, tapi karena.... heheheh.... besok aja ya? Saya praktek pagi sampai sore, ke sini lagi aja besok ketemu saya, tapi jangan lupa sarapan dulu hehehehe,”

Malu sebenarnya. Tapi ya aku kan memang lemah. Jadi ya. HMMMMMMMMM.

Di kali keempat fisioterapi gue kembali ke haribaan Mas Edi dan hari itu cuma dilakukan penyinaran inframerah tanpa dialiri listrik. Padahal entah kenapa gue pengin disetrum banget hari itu. Mungkin dengan disetrum sekali lagi rasa rindu yang terpendam lama ini bisa hilang. AHAHAHAHAHHAHAHAHAHATAIK. Adegan UltraSound kinda thingy itu juga dilakukan lagi.

“Jangan pingsan lagi ya?”

“UDAH DEH JANGAN CENGIN SAYA TERUS! INI TUH KARENA KEMAREN KELAMAAN NUNDUK!”

“Kok bisa? Kan cuma nunduk dan cuma sebentar?”

“Ya gak tahu. Pas saya nunduk rasanya kayak sakit dan nahan banget jadi saya merasa lelah aja gitu. Tapi kali ini kalau saya mau pingsan saya akan kabari segera deh jadi bisa langsung tiduran di kasur dan makan butter cookies. Enak soalnya,”
kata gue.

“Yaudah saya siap-siap pesen Mie Ayam di GoFood nih kalau pingsan,” katanya lagi.

Kambing kudisan.

Fisioterapi keempat itu penuh bercanda dan agak lebih santai. Akhirnya gue bisa sampai tahap exercise lagi seperti waktu hari kedua sama Mas Puguh. Tapi kali ini gerakannya berbeda dan agak lebih sakit meski nggak terlalu melelahkan. Since ini juga hari terakhir sebelum gue kembali ke Jakarta, gue berusaha melakukannya dengan sungguh-sungguh.

“Dilatih aja setiap sebelum tidur atau sebelum beraktifitas. Semoga cepat sembuh ya Mas. Jangan lupa sediain yang manis-manis di tasnya jadi kalau kejadian kayak kemaren terulang lagi, bisa cepat diatasi, hehehe... batal viral deh ya hehehe,” masih aja dicengin padahal gue udah mau pamit.

“Ya semoga kita nggak ketemu lagi di klinik ya mas, ketemunya di tempat lain aja kalo nggak sengaja. Makasih Mas Ed!”



--


Agak bingung sebenarnya kenapa gue harus merasakan sakit seperti ini sementara teman-teman gue yang lain juga kurang lebih punya kegiatan yang sama tapi mereka nggak sakit. Merasa dunia ini tidak adil! AHAHAHAHAH Yang pasti pulangnya gue buat berobat dan terapi ini memberi banyak pelajaran tentang pentingnya untuk tetap bergerak dan menjaga kesehatan. Mungkin memang selama ini gue nggak pernah sakit parah dan sekalinya sakit parah ya izin sakitnya sampai selama ini. Tapi nggak ada yang benar-benar tahu rasa sakit yang gue rasakan selain gue sendiri, kan?

Masih ada banyak PR yang harus diselesaikan selain kerjaan yang sudah ditinggal selama lima hari: stretching, olahraga, minum air putih, makan teratur, istirahat teratur, maintain stress. Terdengar sangat simpel tapi sebenarnya tanpa pengingat akan mudah untuk lupa melakukan itu. Mungkin itu kali ya gunanya pacar, buat mengingatkan dan nge-buzz handphone setiap waktu buat nanyain salah satu dari pertanyaan itu di waktu yang berbeda? Nggak tahu juga. Nggak pernah punya pacar sih. Tapi mungkin kalau gue punya, dia akan cepet bosen.

Beberapa bulan terakhir ini memang benar-benar terasa berat banget buat gue. Tapi semoga gue bisa tetap menemukan sesuatu untuk ditertawakan dan sesuatu yang bisa membuat gue tersenyum.

Gue akan berusaha untuk tidak mengkonsumsi painkiller lagi setelah ini. Mungkin juga berhenti rindu.

Pesan terakhir buat yang mau hijrah, semoga istikomah.

Samlekom. 


Share:

0 komentar