Chi-Maek, Taksi, Goodbye Jung-gu, dan Halo Teman Baru dari Manila!

Sebelum benar-benar mengucapkan selamat tinggal buat Petite France, gue sempat berdiri di tengah-tengah jalan sepi yang dingin di depan sebuah toko kelontong di sana. Ngeliat ke arah Sungai Han yang dari kejauhan yang mulai gelap. "Kapan bisa ke sini lagi?" Pertanyaan yang selalu muncul kalau misalnya sedang jalan-jalan dan sudah mau pulang. Kita bisa saja hidup senang di hari ini tapi nggak ada yang bisa menjamin apakah kita masih hidup besok, kan?

Mendadak jadi mellow.

Kita semua sama-sama tahu dan mengerti kalau badan kita udah nggak sanggup lagi buat ngapa-ngapain lagi. Perjalanan balik dari Petite France emang lancar sih, tapi cobaan banget. Makin malem, udara dingin di kawasan ini jadi makin menusuk. Seriusan deh, ini tuh kayak baru abis kena ujan, terus masuk kamar malah diguyur pake es batu ala-ala Ice Bucket Challenge. Mungkin bisa lebih parah dari itu. Belum lagi bus yang kita tumpangi buat kembali ke stasiun ngebutnya luar biasa. Kayaknya sopir-sopir bus hop on - hop off ini sudah hapal banget sama jalan berliku-liku di bukit itu kali ya? Nggak ada takutnya sama sekali loh! Gue yang ada di dalem bus udah istigfar aja sambil berusaha untuk tidur. Berusaha juga nggak muntah.

Kita sampai di Gapyeong Station sekitar jam 7 atau setengah 8 malam. Dinginnya udara malam itu bikin gue pengen pipis (dan ini sebenarnya udah ditahan dari Petite France). Pipis tuh sebenarnya nggak akan jadi masalah, kecuali, yah, dalam kondisi musim dingin yang lo nggak mungkin pake baju (dan celana) cuma selapis aja. Demi bertahan hidup gue pake bawahan longjohn. Menggunakan benda ini bikin pipis jadi PR yang luar biasa males banget untuk dilakukan. Dan nggak cuma itu saja tentunya yang bikin ribet.

Posting-an ini adalah bagian kesepuluh dari 'Finally, Seoul!', catatan perjalanan pertama saya ke Seoul, Korea Selatan. Sebelum melanjutkan baca bagian ini, baca dulu beberapa cerita sebelumnya supaya lebih nyambung yuk. Link posting-an sebelumnya ada di bawah ini ya!
2. Jadi Tukang Foto Orang Pacaran di Nami
3. Ngeliat Song Seung Hun Syuting 'Saimdang - The Herstory' di Ohjukheon
4. OMG! Saya Ikutan Press Conference Drama Korea!
5. Pertemuan Pertama yang Awkward dengan Salju (ALAY BANGET ASTAGA!)
6. Ngegaul Sendiri di Dongdaemun Design Plaza
7. MBC World, Tempat Seru Buat Ngalay!
8. Jangan ke Myeongdong Kalau Nggak Punya (Cukup) Uang
9. Dream Come True: Finally, Seoul!
Pertama, itu coat hitam yang gue pake nggak boleh sama sekali kena sepercik air kotor dari toilet karena itu bukan punya gue. Artinya ketika gue masuk ke dalam bilik toilet (sorry, gak terbiasa pipis di tempat yang berdiri. Apa sih namanya? Uriner? Ya yang itu. Ini sama halnya nggak terbiasa dengan kloset duduk walaupun sekarang sudah bisa dengan bahagia menggunakannya) itu coat harus dicopot. Kedua, sweater yang gue gunakan di dalam coat-nya juga butuh digulung di bagian lengan supaya nggak basah. Ketiga ya bawahan longjohn itu. Karena benda ketat melekat ke kulit itu sama sekali nggak membantu mempermudah proses pipis. Jadilah masuk ke toilet tuh kayak grabak grubuk grabak grubuk kayak lagi berantem sama masa lalu.

Mungkin ketika kalian baca ini kalian bertanya-tanya, seperti apakah toilet umum di Korea? Kemungkinan kalian membandingkan toilet di stasiun kita yang ada di Indonesia, yang bisa saja ketika suatu hari kalian masuki kalian mendapatkan pengalaman buruk karena jorok banget. Terus kalian ngumpat, "DASAR YA, ORANG INDONESIA!"

Eits, jangan sedih. Serius. Nggak boleh menggeneralisasi orang-orang Indonesia seperti demikian. Karena bahkan, meski Korea Selatan ini ppanjak ppanjak nuni busyo banget dengan dunia entertainment-nya yang penuh dengan politik tak terlihat itu, walaupun Korea Selatan ini dijadikan tempat syuting 'Avenger: Age of Ultron' sekalipun, tetap aja kok, toilet stasiunnya jorok juga. Seperti salah satu yang gue masukin itu misalnya, masih ada aja orang-orang bodoh enggak tahu malu yang meninggalkan sisa kotoran mereka untuk dilihat orang lain. Padahal tinggal pencet flush loh, nggak disuruh nimba air dulu di Sungai Han. Gila sih. Stres.

Melihat sisa-sisa menjijikkan orang lain di toilet itu bisa banget bikin trauma. "Bangke sih ini mah kepikiran sampe pulang kayaknya." kata gue. Berusaha menenangkan diri sejenak, gue baru sadar kalau ternyata gue haus dan memutuskan untuk mampir ke 7/11 buat beli air mineral. Setelah itu kita semua masuk ke peron dan menunggu kereta kembali ke Seoul. Kali ini Mas Aryo yang memimpin dan dia memilih untuk menggunakan jalur dengan transit paling sedikit yang dia temukan di Apps Subway.

Kita sempat ketawa-ketawa nggak jelas setelah mencoba menggunakan vending machine yang ada di pinggir peron malam itu sebelum akhirnya masuk ke kereta dan duduk santai menuju ke stasiun transit selanjutnya. Berada di dalam subway yang sepi malam itu bikin ngantuk, tapi juga bikin gue ketawa-ketawa sendiri. Kali ini nggak ada pasangan yang pacaran dan mesra-mesraan. Tapi yang kepikiran malam itu adalah satu fanfic Baekhyun-IU-Suho yang gue buat beberapa tahun lalu yang idenya muncul saat gue lagi naik angkot Depok-Pasar Minggu. Kejadian di fanfic itu di dalam subway dan dulu gue nggak tahu sama sekali seperti apa subway di Korea. Pure ngarang sebisanya aja. Dan sekarang akhirnya bisa naik subway langsung rasanya kayak wah banget sih. Bener kata orang ya, bahagia itu sederhana.



Ada satu stasiun transit yang menyenangkan banget yang kita singgahi saat itu. Di salah satu tangga EXIT Station-nya, anak-anak tangganya berfungsi sebagai tuts piano! Awalnya gue bertanya-tanya dari mana suara itu berasal ketika kita turun dari kereta. Kemudian kita melihat beberapa orang melintasi tangga itu dan bunyi setiap kali diinjak. Penasaran. Akhirnya ketika yang lain sedang ke toilet, gue sama Mbak Swita langsung alay naik turun tangga cuma buat bikin itu anak tangga bunyi. Meskipun bunyi note-nya nggak perfect karena setelah Do nadanya bukan ke Re tapi kayaknya langsung Fa, tetep aja menyenangkan karena di Jakarta nggak pernah nemu yang begitu.

Setelah hanya tinggal berapa stasiun lagi sampai di Euljiro 3-ga, gue baru sadar kalau perut udah laper banget. Bibimbab yang kita makan di Nami siang tadi rupanya sudah hilang bersama keringat dan keceriaan sepanjang hari tadi. Pantesan aja badan makin terasa dingin. Ternyata lapar. Nggak tahu apakah itu ada hubungannya atau nggak.

"Yuk sampe di Seoul makan ayam." Mbak Dian menawarkan ide yang not bad. Karena udah laper gue setuju-setuju aja. Belum kepikiran juga mau makan apa soalnya, jadi yaudah, belum pernah juga nyicipin ayam langsung di Korea nih kayak di TV-TV. Yang malam itu hinggap di kepala gue soal makan adalah merebus indomie ketika sudah sampai di hostel. "Dul dul Chichken aja. Enak tuh. Sekalian nyoba Chi-Maek." kata Mbak Dian lagi.

"Mau deh ayamnya. Tapi nggak mau minum maekju. Hehe," kata gue.

"Cobalah sekali-kali, minum biar anget nih mumpung dingin," goda Mas Aryo. Gue cuma meringis.

"Nggak deh mas, takut bikin masalah nih aku tuh nggak pernah mabok. Kalo nanti aku mabok terus tiba-tiba gelundungan di jalanan Jung-gu kan kalian juga yang repot. Itupun kalo kalian mau direpotin sih. Kalo nggak mau direpotin yaudah panggilin aja aku Kim Junmyeon."

Nggak ada yang tahu siapa itu Kim Junmyeon.

Sebenarnya males banget buat meninggalkan stasiun Subway dan mendaki tangga menuju permukaan bumi di atas sana. Karena stasiun Subway itu hangat banget. Sementara di sana anginnya pasti kenceng. Coba ada Dul dul di Subway ini pasti seru banget. Dengan berat hati harus keluar dari stasiun Subway, melewati beberapa homeless yang tidur di bawah sana dengan beralaskan kardus. Yak, Korea juga masih punya homeless people kok. Jangan sedih.

"Kita makan dulu aja. Barang-barangnya kita ambil setelah makan." Kata Mas Aryo. Kita semua setuju. Dan bener aja, baru aja sampai di tangga keluar Euljiro 3-ga, anginnya udah berasa dingin. Sarung tangan yang sejak tadi gue buka pasang buka pasang sekarang udah kepasang dengan sempurna. Topi gunung yang kata Mbak Dinda membuat gue terlihat seperti orang Tibet itu gue pasang dengan erat. Kita melintasi Lotte Hotel Seoul, dan langsung berjalan ke seberang. Mencari kios ayam bumbu khas Korea yang ada di sana.


Jadi tuh ceritanya semalem ketika gue, Mbak Dinda dan Mbak Swita dan Lainey jalan-jalan ke Myeongdong, beberapa yang lain makan ayam Dul dul itu. Tapi ketika malam itu dicari lagi nggak ketemu. Akhirnya yaudah, kita makan di kios yang juga namanya Dul dul (tapi bukan yang dikunjungi semalam sebelumnya) dan mutusin buat makan di sana. Lokasinya kecil banget di antara gedung-gedung tinggi yang ada di Jong-no. Terlihat seperti apa yang sering muncul di drama deh pokoknya.

"Anyeonghaseyo..." kata gue spontan ketika pintu gue buka dan gemerincing suara lonceng terdengar. Tempat itu bener-bener sempit dan di dalemnya cuma ada tiga meja doang. Ada yang buat berdua ada yang buat rombongan berempat sampai berlima. Di meja dekat pintu ada serombongan laki-laki dan perempuan berpakaian rapi yang juga lagi nge-bir, nyoju dan makan ayam juga. Kita duduk di pojokan, persis di belakang mereka.

Gue kalau lagi laper jadi nggak banyak omong. Jadi malam itu dengan komunikasi yang terbatas kita pesen ayam yang paling aman dimakan aja pokoknya. Porsi besar karena kita rame-rame dan pesan beberapa versi. Nggak ngeh Mbak Dian pesen apa aja tapi yang jelas ayamnya enak dan gue makan banyak banget.

Itu malam terakhir kita bareng-bareng omong-omong. Karena setelah ini, Mbak Dian akan pindah ke hostel di kawasan Dongdaemun. Sementara gue memilih untuk tinggal di kawasan Hapjeong/Hongdae sana. Gue sama Mbak Dian akan pulang ke Indonesia hari Minggu (6/12) sementara Mas Aryo, Mbak Dinda dan Mbak Swita balik ke Indonesia (2/12). Ada banyak lokasi di Seoul yang harus gue eksplor buat kepentingan pekerjaan juga, jadi gue ada excuse untuk berlama-lama. Sementara Mbak Dian, karena dia self-employee jadi nggak perlu di kantor dia bisa kerja di mana aja.

Malam terakhir bareng-bareng biasanya sih berkesan. Tapi malam itu karena kita semua laper, obrolan kita jadinya hanya berakhir pada "Wah enak." "Mau lagi dong!" "Pesen yang rasa lain aja." sama "Bismillah aja semoga nggak ada babinya." Sayup-sayup juga gue mendengar obrolan meja sebelah yang lagi bahas SISTAR sama Boyfriend. Entahlah tapi sejak awal masuk gue entah kenapa curiga mungkin mereka dari salah satu manajemen yang lagi rapat dadakan di luar terus makan-makan. Karena ada salah satu dari mereka yang nyebut "Depyonim" dan segala macem Sotoy sih sebenarnya.

Makan malam itupun kita tutup dengan itung-itungan soal utang dan uang yang kita keluarkan sepanjang hari dari Nami ke Petite France. Setelahnya kita bareng-bareng kembali ke Lotte Hotel Seoul buat ambil barang dan berpisah untuk menuju penginapan yang berbeda. Andai bisa lama-lama aja di Lotte Hotel Seoul ya... Hahahahahaha... Ya gimana dong! Hotel ini asyik banget. Di tengah kota, gratisan, fasilitas lengkap. Wah. Once in a lifetime banget sih pengalaman ini mah. Kalo terulang Alhamdulillah, nggak terulang juga nggak masalah yang penting pernah.


Gue sendiri udah nggak sabar buat pindah ke hostel. Gue nggak sabar untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang nggak gue kenal sebelumnya dan berteman dengan orang-orang baru yang kemungkinan gue akan temukan di sana. Gue nggak sabar untuk merasakan gimana sih jadi traveler kayak orang-orang di media sosial sana. Terlebih ini adalah pengalaman pertama gue tinggal di hostel di luar negeri. Bener-bener mulai dari ketika gue menggeret koper gue keluar dari Lotte Hotel Seoul malam itu gue akan berjuang sendiri. Setidaknya sampai di hostel. Karena Mely janji akan datang lusa dan nginep di sana juga.

Jalanan di Jung-gu sudah sepi banget padahal baru jam 10:30 PM. Gue pikir Seoul itu kotanya 24 jam ternyata jam segitu udah sepi aja. Masing-masing dari kita mikirin mau pake apa ke hostel masing-masing.

"Taksi sih kayaknya." kata gue karena gue udah punya budget untuk naik taksi. Itu yang pertama. Dan yang kedua entah kenapa gue merasa males aja ribet kalau harus geret koper ke Subway lagi. Tapi ternyata keputusan gue itu sangat sotoy dan terlalu over percaya diri.

Kami sedang berdiri di pinggir salah satu jalan besar di Seoul tapi jarang banget ada taksi kosong yang melintas. Yang lewat selalu dengan penumpang. Dan yang kosong selalu keduluan sama mereka yang mabok atau yang emang lebih beruntung sih kayaknya. Dalam kondisi badan yang udah lelah karena seharian jalan, ransel berat karena berisi laptop, koper yang hampir 20 kilo, ditambah coat+sweater+syal yang bikin ribet, belum lagi angin malam yang dingin menyebalkan membuat gue senewen.

Hihihi... Lucunya adalah, sekarang gue kalo senewen suka yang ditegar-tegarin. Kayak semacem "Gue pernah kok ngerasain yang lebih buruk dari sekedar nggak dapet taksi. Masa cuma perkara nggak dapet taksi aja terus emosian sampe meledak-ledak sih?" kayak gitu. Pengalaman buruk mengajarkan segalanya lah pokoknya. Jadilah malam itu walaupun senewen mari kita keep smile kayak Badut Ancol.

Dua menit...

Tujuh menit....

Tiga belas menit....

Lima belas menit berlalu, kita masih struggle buat nyari taksi. WAH GILA SIH. INI DINGIN BANGET NGERTI GAK. Keluhan mulai terdengar dari geng sebelah. Sementara pikiran gue melayang jauh entah ke mana ketika gue melihat di seberang sana, ada satu orang mabok yang sedang dicarikan taksi oleh teman-temannya. Persis seperti yang ada di drama Korea. Mereka teriak-teriak juga.

"Apa gue nyerah aja dan pake subway?" gue merogoh hape yang malam itu rasanya gede banget yang gue taruh di kantong kanan celana jins gue yang baru dan agak ketat itu. Sudah hampir jam 11 malam. Seinget gue masih akan ada Subway sampai setengah 12. Lagipula dari Euljiro 3-ga ke Hapjeong nggak terlalu jauh sih. "Tapi kalo ada taksi yang bisa nganter sampe depan hostel ya kenapa ribet deh?" kata gue ke diri gue sendiri.

Lagi-lagi itu sotoy banget sebanget-bangetnya.

Ketika geng sebelah akhirnya berhasil mendapatkan taksi, gue makin senewen. "YA ALLAH INI NIH AKIBAT KEBANYAKAN DOSA NIH." gue mengumpat dalam hati. Setelah melambaikan tangan ke geng sebelah, gue berusaha tegar dan berjalan menjauh dari lokasi itu, ke pengkolan supaya lebih cepet dapetnya. Tapi perasaan begajulan tiba-tiba aja menyerang setelah taksi geng sebelah menghilang dari pandangan. Damn! Perasaannya antara excited sama takut. Rasanya kayak lagi di depan wahana Tsunami yang ada di Mikie Holiday di Berastagi yang pernah gue (dan BTOB--more story later) naiki Desember tahun lalu. Walaupun momen Seoul-nya terjadi duluan sih. Perasaan yang penasaran pengen ngerasain tapi takut di saat yang sama.

Sesampainya di pengkolan, selayaknya orang yang lagi berusaha nyetop taksi gue gerak-gerakin tangan kiri setiap ada kendaraan berwarna kuning yang lewat. Eh ternyata dapet satu. Anjir, deg-degan. Ini pengalaman pertama memberhentikan taksi di Seoul dengan kemampuan berbahasa Korea yang masih 3%. ANJIR.


Sebentar... ajoessi, gue tarik napas dulu. Ini pasti gue harus ngomong Korea kan? Karena kayaknya abang-abangnya nggak bisa Bahasa Inggris. Pas dia nurunin kaca jendela, dia langsung nyamber nanya "Mau ke mana?" pake Bahasa Korea. Alhamdulillah kalo cuma ditanya itu gue ngerti. Masalahnya adalah, apakah gue bisa membalas pertanyaan itu dengan menjelaskan detail soal tujuan gue?

"Hongdae, juseyo," kata gue. "Eum... yogi," gue ngasih liat alamat hostel gue lewat hape. Dia sepertinya cukup mengerti dan gue menangkap sinyal positif. Tapi gue belom masukin barang dan segala macem karena belom tawar menawar harga. Sebagai pemula soal urusan taksi di Seoul, tentu saja gue nggak akan mau dibodohi oleh orang yang gue nggak kenal di negara yang katanya penuh kebahagiaan buat fans KPop itu. Intinya nggak mau terlihat bodoh. Walaupun sebenarnya memang bodoh untuk urusan ini.

"Olmayeyo?" tanya gue.

"Hongdae, thirty thousand." katanya.

Gue yakin sih kayaknya otak gue malam itu sudah beku dan sudah diliputi perasaan cemas berlebihan karena takut kemaleman. Sampai-sampai ketika dia bilang "thirty" itu gue mikir lama banget. Apakah itu maksudnya "tiga ribu" atau "tiga puluh ribu". Agak lama gue mikir dan baru ngeh ternyata "tiga puluh ribu".

"Sorry? How much?" tanya gue lagi.

"Thirty Thousand." katanya.

DEMI APAPUN TIGA PULUH RIBU WON. EGILAK.

Gue memang nggak pernah tahu rate taksi rata-rata di Seoul itu tuh sebenarnya berapa. Apakah 30 ribu Won ini harga wajar atau tidak untuk perjalanan dari Jung-gu ke Hongdae yang kalau menurut Google Maps sih nggak jauh-jauh banget. Atau memang ini adalah harga mahal yang dari abang-abang taksi untuk turis yang nggak bisa Bahasa Korea dan clueless kayak gue?

30 ribu Won sebenarnya bukan jumlah yang besar mungkin. Tapi buat turis kayak gue tentu saja itu jumlahnya banyak banget, gilak! Udah hampir seharga hostel gue tuh. Kan tetep aja nggak mau rugi. Memang sih, ada budget buat taksi di perhitungan perjalanan gue. Tapi kalau misalnya bisa lebih murah ya kenapa nggak? Akhirnya gue berusaha buat nawar.

"10 ribu aja deh. Gimana?" tanya gue.

"Wah sorry banget nih bro, lagi peak time. Thirty!" kata dia lagi.

"Yaudah dwaseoyo. Gomapmakasih," kata gue. Setelah itu dia langsung ngebut lagi.

Gue masih tetap berusaha untuk tenang walaupun sebenarnya malam itu gue ngerasa sangat diburu waktu. Takut kemaleman aja pokoknya. Karena nggak punya temen yang bisa diajak diskusi soal ini, akhirnya gue googling aja "normal taxi fare in Seoul" di Google. Tapi ah, nggak ada informasi yang langsung menjelaskan soal itu. Yaudah akhirnya nyerah.

"Coba setop satu lagi deh Ron. Mungkin abang-abang yang tadi pengen cepet naik haji makanya mahal," kata gue.

Yaudah nih gue mencoba untuk nyetop taksi satu lagi dan dapet lagi. Pas gue tawar lagi dia juga mau harga yang sama. Tapi kali ini alasannya bukan peak time, tapi karena tujuan gue diklaim dia sebagai tujuan yang mengharuskan dia untuk mengambil jalan memutar dan berlawanan arah dengan posisi dia sekarang.

Gila sih ternyata sopir taksi di Seoul sama di Jakarta nggak jauh beda. Sama-sama ribet dan pilih-pilih banget urusan penumpang. Yasudah, karena sudah malam banget, sudah hampir jam 11, akhirnya gue kirim email ke hostel dan bilang kalau gue datengnya agak telat. Gue sudah memutuskan untuk naik Subway aja.


[FYI, besokannya gue denger cerita kalau ternyata geng Mas Aryo, Mbak Dian, Mbak Swita dan Mbak Dinda hampir dikerjain sama taksinya. Mereka dimintain ongkos lebih dari 30 ribu Won padahal perjanjian awalnya 30 ribu. Udah gitu mereka hampir mau diturunin di pinggir jalan, nggak di depan hostel. Untung Mas Aryo orangnya tegas dan punya aura yang emang agak nakutin sih. HIHIHIHI. Akhirnya mereka aman dan nggak bayar lebih.

Sementara beberapa bulan setelah perjalanan ini terjadi, gue mendengar cerita dari salah satu temen gue yang bayar sampai Rp 1 juta cuma buat taksi aja karena dikerjain sopir taksinya, dibikin muter-muter.

Ternyata nggak salah gue suuzon. Sopir taksi di Korea ternyata brengsek juga ya. Jangan sampai tertipu gengs!]

Barang-barang yang bisa gue jejelin ke ransel gue masukin. Termasuk laptop dan segala tetek bengek yang tadi ada di tangan. Powerbank sudah siap di luar buat jaga-jaga. DAMN COAT-NYA BERAT BANGET. Tapi harus tahan. Akhirnya gue jalan balik ke Lotte Hotel Seoul, melintas di depannya sekali lagi sambil baper memegang dada karena nggak tega ninggalin kemewahan yang dirasakan selama dua malam terakhir, lalu masuk lagi ke pintu Subway Euljiro 3-ga.

Di sanalah tantangan terbesarnya. Koper yang hampir 20 kilo itu harus dibawa turun tangga dengan diangkat. Bener-bener repot hihihihi. Satu anak tangga berenti, satu anak tangga berenti. Coba bisa kayak Sulli yang meluncur dari atas tangga kayak di 'To The Beautiful You' mungkin bisa lebih cepat. Tapi karena takut celana dalam gue berserakan juga kayak Sulli jadi gue nggak melakukan itu.

Petang tadi Subway itu masih rame, sekarang udah tutup semua toko-tokonya. Seneng sih, karena gue nggak perlu diliat sebagai orang yang canggung geret-geret koper yang berat ini. Bermodalkan petunjuk jalan yang ada di dalam sana, gue menggeret koper berasa keren aja karena sendirian. WKWKWKWK Nggak bergantung sama keputusan dan kepentingan orang lain tuh bener-bener bikin hidup enak pokoknya. Karena kalo nggak bergerak ya nggak bakalan bisa kan. Kalopun maksain naik taksipun pasti udah nggak bakalan dapet ataupun kalo dapet pasti tekor. Yah pokoknya hostel sudah menunggu untuk ditiduri deh.

Koper gue warnanya merah dan bagian depannya dicoret-coret pake sipol item random banget. Kalo digeret suara geretek-gereteknya kedengeran kenceng banget. Nggak tahu apakah hanya gue aja yang denger atau semua orang bisa mendengarnya. Karena berisik banget. Gue lega sih karena malam itu udah sepi jadi kalopun ada yang merasa terganggu jumlahnya mungkin nggak terlalu banyak.

Yang ribet kalo bawa koper sendiri ini ya pas bagian melewati portal setelah tap T-Money itu. Karena lorong portalnya kecil, takut kopernya nggak cukup karena kembung kan itu koper. Jadilah agak sedikit seperti orang kampung. Aduh malam itu ribetnya berasaaaa aja pokoknya. Tips aja sih, kalo nanti mengalami keribetan yang sama, pakai pintu tap disable aja agak lebar soalnya.

Setelah berhasil masuk, baru merasa tenang. Alhamdulillah ya Allah. Sekarang hanya tinggal turun di Hapjeong, dan mengikuti peta yang diberikan oleh hostel via email. AKHIRNYAAAA LIBURAN AKAN SEGERA DIMULAI!!!!!!!

(karena yang kemaren itungannya masih kerja)

(Eh tapi sebenarnya the rest of my stay in Seoul basically juga teritung kerja sih hahahaha)

(Tapi menyenangkan)

(HAHAHAHAHAHAH)

Subway malam hari sudah nggak terlalu rame. Gue masuk dan langsung dapet duduk sebenarnya. Tapi karena deg-degan, gue memilih berdiri. Lagipula ribet juga kalau duduk dengan barang bawaan sebanyak itu. Gue berusaha untuk deket-deket sama pintu keluar biar gampang. Koper gue taruh di selangkangan supaya nggak kemana-mana, ransel gue turunin karena punggung nggak sanggup lagi. Delapan stasiun aja menuju ke Hapjeong dan itu ditempuh dalam waktu sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Gue nggak yakin. Tapi yang jelas ketika gue sudah sampai di Hapjeong, perasaan gue udah lega selega-leganya.

Gue mengikuti arahan dari email hostel: EXIT 5 di Hapjeong, cari toko sepeda lalu belok kanan, lurus sampe ketemu 7/11 di sebelah kiri terus belok kiri, lurus sampe Pizza Etang terus belok kiri dan sampe deh. Setibanya di EXIT 5 gue langsung bengong karena ada Sungyeol di sana. IYA! SUNGYEOL 'INFINITE'! Tapi dalam bentuk poster ucapan selamat ulang tahun. WKWKWKWKWKWK

Alhamdulillah Hapjeong keluarnya ada eskalator. Jadi gue nggak perlu susah payah untuk angkat-angkat itu koper hampir 20 kilo dan naik satu tangga berenti, naik satu tangga berenti. Keluar dari stasiun Subway, angin dingin kembali terasa. Kali ini makin dingin karena sudah makin malam. Adegan itu gue inget banget berasa kayak pas Rachel Berry baru keluar dari salah satu stasiun Subway di New York. Tapi bedanya dia sambil nyanyi, gue sambil ngumpat.

"NAGA KUDISAN! INI DINGIN BANGET WOY SEOUL WOY!!!!! GILA APA HAH!"

Secinta itu gue sama salju tapi tetep aja gue yang anak tropis ini nggak tahan sama dinginnya. ANGINNYA NGGAK NYANTAI!

Gue tinggal di Maru Hostel Hongdae, omong-omong. Hostel ini gue temukan di barisan paling atas di booking.com ketika gue urutkan "by cheapest price". Bener-bener yang termurah dibandingkan dengan hostel lain sih. Walaupun gue nggak tahu seperti apa bentukannya, tapi gue kebayang bunk bed kayak hostel yang pernah gue tinggalin di Bandung beberapa minggu sebelum berangkat ke Seoul. Untuk 5 malam di Maru Hostel Hongdae gue hanya perlu membayar 51.600 Won aja. Waktu itu rate-nya masih sekitar Rp 12,5 - Rp 13 per Won. Jadi selama lima malam itu ya sekitar Rp 670 ribuan lah.

Jalanan di sekitar Hapjeong malam itu udah lumayan sepi. Tapi karena ini masih deket-deket kawasan Hongdae, tetap ada lokasi 24 jam yang buka dan menawarkan hiburan malam dan juga makanan-makanan ringan juga bir. Sepanjang perjalanan dari Subway ke hostel malam itu banyak banget yang pacaran. Yang baru kelar pacaran. Yang baru mau pacaran. Dan baru pulang ngegaul. Bener-bener kayak lagi ngeliat orang-orang di drama Korea deh. Orang-orang di sini pada stylish banget!

Gue berusaha mengikuti peta sambil percaya sama insting untuk menemukan hostel itu. Sampai di Pizza Etang gue langsung mengembuskan napas lega. WE'RE HERE! KITA SAMPE DI HOSTEL ROOONNNN!!!!!!!!

Air panas sudah memanggil-manggil untuk digauli. Kasur sudah memanggil untuk ditiduri. Alhamdulillah walaupun hostelnya ada di lantai 6, tapi ada lift yang membuat gue nggak perlu gotong itu koper ke atas. Setelah pintu lift terbuka di lantai enam, suasananya mendadak awkward, soalnya langsung di ruang tamu hostelnya.

Beberapa penghuni lama sedang duduk bareng di ruang tamu sambil nonton YouTube di televisi superbesar. Yang ditonton MV-MV KPop. Di sofa yang ada di paling ujung di depan gue ada cewek bule rambut pirang yang kayaknya datang dari negeri jauh. Dia yang megang keyboard buat menggunakan internet dan sambil memangku Apple Macbook. Di sofa sebelah kanan, di dekat kaca jendela besar yang tirainya tertutup ada cewek rambut hitam bule juga, yang auranya kayak anak-anak emo. Agak serem. Serius ngeliatin handphone-nya dengan tatapan membunuh. Seolah-olah lagi merencanakan pembunuhan.

Gue deg-degan karena feel-nya rada awkward. Sampai akhirnya si rambut pirang pendek ngomong.

"Just wait a little bit, he's upstair fixing something," katanya. Mengacu para laki-laki penjaga hostel yang harusnya ada di belakang meja komputer yang ada di kanan gue.

"Oh, fine. Thank you," kata gue kemudian duduk.

Gue memerhatikan sekitar. Di dekat ruang tamu itu ada dapur yang cukup besar. Nggak jauh dari sofa tempet si cewek bule rambut pendek duduk ada lorong yang kayaknya menuju kamar-kamar. Dapurnya lucu banget. Gemes aku pengen punya dapur kayak gitu. (MENDADAK AKU). Observasi gue buyar ketika mas-mas yang jaga akhirnya kembali.

"Hey, sorry for come in too late. I can't get taxi so I rode subway," curhat dikit.

"It's okay," kata dia.

Dia langsung ngecek booking-an gue dan minta paspor untuk di scan. Gue aja hampir lupa itu paspor ada di mana untung aja nggak ketinggalan di pinggir jalan. Setelah scan paspor dan bayar uang sewa, dia langsung ngasih selembar kertas sama kunci. Oh iya, serunya di sini nggak pake deposit, biasanya di hostel-hostel pake gitu deposit (even hotel besar pake). Di sini enggak. Pas di Singapura pas gue nonton EXO tuh pake.

"This is your room key, I will show you your bed. But before that, I will explain everything. Here is the common room, there are one bathroom near the kitchen. You can cook if you like. Breakfast as much as you want there are bread and jam and unlimited coffee. Don't eat what isn't yours. There are toilet over there (nunjuk ke lorong), and one in you room. In this paper (nunjuk kertas yang dia kasih) there are codes for your room and the main door (nunjuk pintu yang tadi gue masukin setelah keluar lift). After 11 PM, we will lock the elevator so you can come in from that door if you want to come late," katanya. Penjelasannya panjang lebar dan sangat jelas. Walaupun dia orang Korea, maksud gue. Dan walaupun ngomongnya bisik-bisik entah karena ngantuk atau karena emang volume-nya cuma segitu.

Selanjutnya dia nganter gue ke kamar dan nunjukkin kasur gue. Karena itu kamar yang paling murah, jadi satu kamar isinya 12 bunk bed. Gue dapet kasur di atas. Dan yang pertama kali gue perhatiin ketika gue masuk kamar itu adalah tulisan "JANGAN BERISIK". Egilak. Gue mau ambil baju buat ganti jadinya musti pelan-pelan banget. Bahkan sampe napas pun harus hati-hati kaykanya. Setelah urusan check in selesai dan semua penjelasan gue mengerti, akhirnya gue punya kesempatan untuk mandi. Alhamdulillah. Berkat kuasa Allah SWT. Akhirnya bisa istirahat malam ini.

Air panas di hostel itu terasa sangat menenangkan. Otak gue yang beku akhirnya mencair oleh guyuran air dari shower. Tiba-tiba semua hal yang terjadi selama tiga hari dua malam terakhir keputar ulang di kepala. Gimana gue buru-buru dari preskon GOT7 di Jakarta buat ke bandara, gimana gue mendarat dengan selamat di Incheon, gimana pertama kali masuk ke kamar di Lotte Hotel Seoul, gimana perjalanan ke DDP sendiri, gimana ke MBC World, ketemu Song Seung Hun dan Lee Young Ae, gimana ketemu sama salju.

Wah... Alhamdulillah banget... ternyata kunjungan pertama gue ke Seoul jauh lebih seru dari yang gue bayangkan dulu. Apalagi kalau ingat perjalanan ini gratis. HIHIHIHIHIHI I LOVE KANTOR <3 Dan dari sini, mulai deh menjajaki itinerary yang sudah dibikin bareng Mely.

Selesai mandi gue kembali ke kamar dengan celana training SMA gue yang masih cukup dan masih gue bawa sampai sekarang padahal gue udah lulus SMA dari kapan. Celana itu udah 9 tahun dan masih muat. Betapa nggak pernah berkembangnya badan gue selama ini. Kembali ke kamar akhirnya gue bisa merasakan kasur setelah seharian lelah. Gue berbaring sebentar. Berpikir sedikit, siapa yang harus gue ajak ngobrol pertama kali di kamar itu karena tentu saja gue harus berkomunikasi supaya nggak bosen kan.

Gue mendengar pintu terbuka dan seketika gue langsung duduk. Nggak tahu kenapa. Kayak lagi nebeng tidur di rumah temen terus tiba-tiba ibunya temen masuk kamar gitu. Gue ngeliat ada cowok, yang kayaknya lebih muda dari gue, masuk dengan koper dan ransel ke dalam kamar. Bentar... mukanya kok kayak familiar... tapi siapa?

Dia ngeliat gue sedang merhatiin dia dan dia langsung senyum.

"Hai," kata gue. Gue turun dari situ dan langsung jabat tangan dia. Sambil mikir ini orang mirip seseorang tapi gue lupa. SEBEL!!!! BENCI PERASAAN MIKIR KERAS SEPERTI INI!!!

"Hello," jawab dia. Pertanyaan selanjutnya yang biasanya akan gue tanyakan adalah:

"Where are you come from?"

"I'm from Manila," katanya. Cara dia menyebutkan kata 'Manila' itu bikin geli. L-nya kayak ada tiga. 'MANILLLA'.

"Oh hi! I'm from Indonesia," kata gue. "Whats your name?"

"Ched."

"Chad?"

"No, its Ched. C. H. E. D,"

"Oh right. I'm Ron,"
kata gue.

"Nice to see you, Ron!"

"You too!"


Dan siapa yang menduga kalau percakapan tengah malam itu ternyata berujung ke perjalanan-perjalanan seru, penuh drama dan pertemanan yang masih terjalin sampai hari ini.


Follow Me/KaosKakiBau in everywhere:
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram
Steller: ronzzykevin
Snapchat: snapronzzy
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)

Share:

0 komentar