Rabu yang Basah di Gwanghwamun


“Cepetan pulang yuk, bentar lagi hujan!”

Gue sedang dalam perjalanan dari fx menuju ke kosan ketika gue teringat pada sebuah adegan ketika gue masih duduk di bangku SMA. Eh bentar, kenapa bahasa gue jadi kaku banget?!

*puter-puter sekrup di kepala* *oke done*

Gue sedang merasa insecure dengan rambut gue semalam, Senin (3 Oktober 2016). Makanya sepanjang perjalanan itu gue tutupin terus kepala pake hoodie jaket Halfworlds pemberian HBO tahun lalu. Oh iya, gue baru ngewarnain rambut gue lagi. Setelah pirang di tahun 2014 dan rada-rada golden brown di 2015 kali ini akhirnya gue bisa mencoret salah satu bucket list gue: rambut biru. Sebenarnya urusan rambut ini nggak ada hubungannya sama hujan. Tapi ketika gue kembali dari fx menuju ke kosan semalam, hujan turun rintik-rintik ringan.

Hm, masih nggak ada hubungannya sih. WK.

Well ngomong-ngomong, gue suka hujan. Kesukaan gue pada kondisi cuaca yang satu itu bisa dibilang berlebih. Ibarat gue suka banget sama grup menyebalkan bernama EXO yang menguras duit dan hati itu. Kesukaan gue udah sampe tahap yang lebih memilih untuk basah-basahan sampe kosan dari kantor lama daripada harus nunggu di kantor sampe hujan reda. Gue suka mandi hujan. Karena membawa banyak sekali kenangan masa lalu yang lucu-lucu gimanaaa gitu.

Entah sejak kapan kegiatan mandi hujan itu jadi hal yang sangat menyenangkan. Mungkin sejak gue belum sekolah dulu, berlanjut ke TK, SD, SMP, SMA bahkan sampe kuliah. Gue inget banget dulu setiap kali musim hujan, sekitar rumah gue pasti banjir karena kekurangan saluran air yang mumpuni untuk membawa air itu ke tempat yang seharusnya (dimana?!?!?!). Ditambah lagi posisi daerah rumah gue yang agak bawah jadi air dari komplek atas turun semua.

Cuma kondisi itu menjadikan setiap kali hujan turun sangat seru! Gue dan temen-temen gue sering menikmati momen itu dengan basah-basahan di bawah hujan. Lari-larian di lapangan bulutangkis sebelah rumah yang tergenang. Nyanyi-nyanyi kayak adegan dalam film India yang lagi hits zaman itu, ‘Dil To Pagal Hai’, adegan ketika Shah Rukh Khan sama Madhuri Dixit lagi nyanyi-nyanyi di bawah hujan sama banyak banget anak-anak kecil dengan koreografi yang mendadak mereka hapal padahal kita gak pernah tahu kapan latihannya. Dan mandi hujan gue selalu diakhiri dengan meniru adegan terakhir dalam lagu itu: Shah Rukh Khan tiduran di lapangan sambil menikmati setiap rintik hujan yang turun.

Dan Ron kecil nggak pernah peduli bahwa air yang tergenang itu bisa saja bercampur sampah bahkan kotoran anjing. Dia cuek aja.

Ketika SMP adegan mandi hujan jadi agak-agak tabu. “Jangan mandi hujan! Capek nyucinya!” kata sepupu gue yang hobinya memang marah-marah. Padahal kan sebenarnya kalo bajunya basah karena mandi hujan, kan sama halnya dengan nyuci. Begitu pikiran gue waktu itu. Dan ya, gue mandi hujan dengan pakaian lengkap. Baju, baju dalam, celana, celana dalam. Tapi karena gue suka banget mandi hujan gue nggak pernah mengindahkan larangan itu. Gue pun tetap meniru adegan Shah Rukh Khan dan Madhuri Dixit di lagu India yang sama dengan yang gue dengarkan ketika SD.

Dialog paling atas di posting-an ini dikutip dari sebuah adegan di suatu hari di musim hujan ketika gue SMA kelas 2. Itu sekitar tahun 2007 atau 2008. Gue punya geng, yang isinya nyaris semuanya cewek, dan ada satu cowok namanya Aldi. Aldi kalo ke sekolah naik motor, sementara gue, April dan salah satu temen gue namanya Hulpy, kita semua tim jalan kaki. Sebenarnya rumah kita tuh nggak deket-deket banget sama sekolah. Tapi jalan kaki adalah pilihan yang sangat asyik setiap kali pulang karena seru aja bisa sambil cerita. Dan ngomongin orang.

“Mau nunggu hujan apa diterabas aja?” tanya gue ke April dan Hulpy. Kita lagi di lantai dua gedung SMA 5 Mataram, setelah kelas Sejarah yang membosankan di siang hari. “Gimana kalo kita terabas aja? Kan ini hari Kamis. Besok bajunya nggak dipake lagi,” gue memberi ide. Seragam kita dulu memang dipakenya dua hari – dua hari.

“Aduh, gak usah ah. Nunggu reda aja deh,”
jawab Hulpy. Di antara kita dia memang yang paling susah untuk urusan spontanitas. Sementara April mau-mau aja diajak basah-basahan.

“Terus kalo mau basah-basahan, sepatunya gimana? Buku? Tas?”

“Santai. Kita beli plastik keresek merah besar itu di depan, terus sepatu sama buku dimasukin aja ke situ. Terus kita pulang deh telanjang kaki,” kata gue lagi. “Gimana?”

“Yaudah yuk!”

Dan begitulah, kita bertiga beli plastik merah ukuran jumbo, masukin sepatu, sabuk, tas dan buku-buku ke situ, terus jalan kaki pulang dari sekolah ke rumah masing-masing yang searah, tapi beda kampung dan emang jauh-jauhan.

Satu momen hujan-hujanan yang gue inget ketika kuliah adalah ketika pertama kalinya gue merasakan musim hujan di Depok. YANG MANA SANGAT MEMBAHAYAKAN UMAT MANUSIA. Kondisi gang stasiun UI bener-bener nggak wajar. Dan saat itu gue sama sekali enggak tahu kalau ternyata kondisi gang itu kalau hujan BENER-BENER ENGGAK WAJAR. Gue ambil risiko nerabas hujan, eh ternyata banjirnya sampe betis. Belum lagi arusnya deres banget gapaham. Yaudah, terlanjur basah celana jins gue, basahin aja semuanya. Kebetulan tas gue isinya nggak ada buku dan laptop masi bisa dibungkus plastik.

Dan momen lain adalah ketika gue ngejer kuliah jam 9 dan waktu itu hujan angin. Nggak deres hujannya. Tapi anginnya Ya Allah……………. Yang dipayungin kepala, yang diserang badan dari segala arah sama si angin. Yaudah sampe kelas, buka tas, sepatu, kaos kaki, langsung dipajang di depan AC. Kalo  nggak salah pernah gue tulis juga sih di blog.

Dan bicara tentang hujan, rintikkan air yang turun dari langit ini (halah apa sih Ron ah) juga yang menyapa gue pagi itu.

Seoul, Rabu (2 Desember 2015).
Posting-an ini adalah bagian ke-12 dari 'Finally, Seoul!', catatan perjalanan pertama saya ke Seoul, Korea Selatan. Sebelum melanjutkan baca bagian ini, baca dulu beberapa cerita sebelumnya supaya lebih nyambung yuk. Link posting-an sebelumnya ada di bawah ini ya!

1. Indomie tengah Malam di Hongdae
2. Susahnya Nyari Taksi di Seoul!
3. Bonjour, Petite France!
4. Jadi Tukang Foto Orang Pacaran di Nami
5. Ngeliat Song Seung Hun Syuting 'Saimdang - The Herstory' di Ohjukheon
6. OMG! Saya Ikutan Press Conference Drama Korea!
7. Pertemuan Pertama yang Awkward dengan Salju (ALAY BANGET ASTAGA!)
8. Ngegaul Sendiri di Dongdaemun Design Plaza
9. MBC World, Tempat Seru Buat Ngalay!
10. Jangan ke Myeongdong Kalau Nggak Punya (Cukup) Uang
11. Dream Come True: Finally, Seoul!

Setelah malamnya kenyang makan Indomie sama Ched, paginya gue bangun agak kesiangan. Kondisi kamar yang tertutup dan kasur yang pake kelambu jadi bikin nyaman baget tidurnya. Selimut yang disediakan juga hangat sekali. Kondisi badan yang kemaren udah capek karena jalan seharian ke Nami dan Petite France pun mendukung untuk tidur lama-lama. Kalau enggak inget ini lagi ada di Seoul dan kapan lagi akan ke sini dengan gratis, mungkin gue akan tetap tidur di kasur itu. Keluar dari kamar gue udah menemukan Ched sedang duduk di meja makan, sarapan dan ngopi dengan santai di Maru Hostel Hongdae. Sarapan di sini sudah termasuk dengan biaya menginapnya. Kabar gembiranya lagi, sarapan di sini bisa makan sepuasnya mulai dari roti tawar dan selai, kopi atau teh sampai telur. 
“Morning,” kata gue sambil garuk-garuk kepala. Ched senyum. Dia pagi itu pake baju kaos tipis dan celana training. Kawat giginya masih tetep mengingatkan gue pada Dicky, temen gue yang pas gue ke Korea itu dia juga sedang liputan ke Jepang. Itu udah jam delapan tapi di luar masih gelap. Sepertinya mendung, tapi gue nggak perhatian. Kondisi ruang tamu hostel masih sepi. Bahkan resepsionis yang shift pagi juga belum dateng.

Gue berpikir cepat mau makan apa pagi itu. Akhirnya gue mengambil beberapa helai roti, mengolesinya dengan selai stroberi (SUKA BANGET!), mencoba menggunakan mesin pembuat kopi yang ada di sana dan duduk manis di depan Ched sambil memerhatikan cowok Manila itu sedang mencorat-coret di atas kertas dengan kepo.

“So what are you doing? Still finishing your itinerary?” tanya gue. Dia mengangguk. Sejak semalam memang dia mencoba untuk mengingat-ingat semua rencana perjalanannya di Seoul karena itinerary-nya entah ketinggalan di bandara atau lupa dibawa dari rumah, gue lupa. Baca di artikel sebelumnya deh. EHAHAHAHAHAHA.

“Yes. But today I already have a plan with my friend. She is the one who picked me up at airport yesterday. Her name is Suzy,” kata Ched.

“Suzy? Namanya kayak member girlband KPop. Jadi kenal di mana sama Suzy?” tanya gue agak kepo.

“Dia temen SMA gue dulu di Manila,” kata Ched.

“Oh gitu. Terus kalian mau ke mana hari ini?” tanya gue lagi.

“Kita mau ke Gwanghwamun dan jalan-jalan di sekitar situ.”

Gwanghwamun sudah masuk ke itinerary gue tapi itu kayaknya baru besok. Dan hari ini sebenarnya gue nggak tahu mau ke mana dan sedang mencoba untuk mencari jalan ke Cheongyechon. Atau paling banter kalo emang hujan nggak kelar-kelar, gue mau ke daerah Hongdae aja. Sekitar sini kayaknya juga seru banget untuk dieksplor karena banyak tempat-tempat lucu. Tapi, ah kalo jalan sendiri kan nggak seru. Apa gue ikut aja ya sama mereka?

“Temen gue juga besok mau dateng. Tapi baru besok. Hari ini gue nggak tahu mau ke mana sih,” kata gue curhat.

“Yaudah ikut aja sama gue sama Suzy. Kita muter-muter di Gwanghwamun. Bentar lagi Suzy sampe nih. Katanya dia mau dianter sama pacarnya,” kata Ched lagi. Oke informasi berlebih. Eh tapi tawarannya ngepas banget sama pikiran gue tadi!

“Eh beneran boleh?”

“Ya bolehlah! Yuk, siap-siap dulu. Gue udah siap-siap sih tinggal ganti baju aja nih,” kata dia.

“Arasso!”

Gue langsung ngabisin sarapan pagi itu dan buru-buru ambil handuk dan peralatan mandi di kamar. Langsung masuk ke kamar mandi di deket dapur (yang paling bersih daripada yang di kamar mandi tengah lorong suka bau tahi). Sebelum jam sembilan gue udah siap denga segala hal yang kira-kira gue butuhkan hari itu. Ransel gue masih yang lama, Bonjour coklat yang udah sobek di beberapa bagian dan udah kena lunturan pulpen ungu di pojok kanannya. Power bank dan perkabelan sudah masuk, laptop dan segala macem benda-benda penting dimasukin ke loker yang ada di ujung lorong menuju kamar. Dan hari itu gue memutuskan untuk bawa uang sekitar KRW 100,000 atau KRW 200,000 gitu.

Sebenarnya emang nggak pernah ada rencana belanja. Tapi kalau-kalau ada benda lucu yang mau dibeli kan bisa. Gue sih buan tipe orang yang gampang tertarik pada sesuatu. Cuma buat jaga-jaga aja. Setelah menyelesaikan daftar perjalanannya, Ched juga ikutan siap-siap. Cowok ini ternyata cukup perfeksionis untuk penampilan. Enggak heran kenapa dia bela-belain ke Seoul bawa dua koper dan satu tas superbesar yang ternyata isinya adalah baju-baju bagus dan stylish menurut dia. Dia bawa dua atau tiga pasang sepatu, empat coat, beberapa celana dan mungkin selusin t-shirt.



“Jadi kalo nanti gue foto, setiap hari bajunya enggak sama.” Kata dia. Bener. Masuk akal sih. Tapi gue bawa satu koper aja udah lebih dari cukup. Punya satu coat (minjem) aja sudah alhamdulillah. Nggak pernah juga sih mikir dan mempermasalahkan apakah foto yang satu dengan foto yang lain bajunya akan sama. Lah yang penting di Seoul. Mau bajunya sama setiap hari juga yang penting di Seoul. WQWQWQWQ.

Setelah siap, gue duduk nunggu di ruang tamu Maru Hostel Hongdae sambil ngeliat ke jendela besar yang ada di belakang sofa. Dari situ keliatan jelas mendungnya. Dan bener aja nggak berapa lama hujan turun dan jendela itu mulai basah kena cipratan air.

Rasanya kayak… dihujani berbagai kenangan masa lalu. Masa-masa SMA ketika yang dipikirin cuma gimana caranya untuk lulus UN walaupun nilainya pas-pasan. Nggak mau ngelamun terlalu lama, gue berusaha untuk “menyadarkan diri”. Buru-buru gue ngecek aplikasi Weather di hape. Entah kenapa berada di negara yang punya empat musim dan sedang berada di peralihan musim gugur ke musim dingin, ngecek apps ini jadi candu. Biasanya ngeliat suhu di kisaran 25 – 30 derajat, sekarang yang nampak bisa di bawah 10. Lucu juga karena gue seneng nge-screen capture fotonya. Hari itu suhunya sekitar 10 derajat. Dan agak siangan nanti diramalkan bisa drop ke 7 atau 8. Keliatannya sih enggak terlalu menggigil, tapi ya pasti dingin.

Gue memutuskan untuk nggak keluar dengan coat hitam yang gue pinjem dari Dito (yang gue pake ke Nami dan beraktivitas di hari-hari sebelumnya). Alasannya cuma satu: BERAT. Gue memilih untuk menggunakan baju berlapis-lapis walaupun keliatannya agak aneh. Tapi gerakan jadi enak dan nyaman. Akhirnya hari itu gue keluar dengan baju dalam tipis yang kayak bapak-bapak di sinetron Betawi, t-shirt, sweater abu-abu, jaket abu-abu dan syal abu-abu. Sementara bawahannya cuma hi-tech ketat long-john dan celana jins yang salah banget karena dinginnya makin berasa. Ya Bismillah aja semoga betah, bertahan dan nggak mati kedinginan.

Sebelum terbang dari Jakarta Mely sempat bilang kalau Seoul lagi sering hujan. Jadi gue juga sudah bawa payung dari Jakarta. “Mending bawa aja dari rumah karena beli di sini pasti jatuhnya lebih mahal,” kata dia. Yaudah, gue bawa aja payung gratisan dari KCC yang gue dapet beberapa tahun lalu. Nggak gede-gede banget, tapi lumayan berguna. Dan hari itu memang itu payung  penyelamat banget sepanjang hari.

Seperti janjinya, Suzy dateng ke hostel sekitar jam 10-an dan ngejemput kita. Gue kenalan sekelabatan aja karena masih canggung. Suzy ini orang Korea asli. Dari namanya sih kalo di-hangul jadi Soo Ji. Anaknya ceria, nggak lebih tinggi dari gue untuk ukuran badan, ramah, bahasa Inggris-nya bagus banget. Rambutnya panjang dan digerai. Wangi. Ahahaha… gaya-gayanya persis kayak anak-anak sekolahan di drama-drama Korea yang gue tonton selama ini. Walaupun sekarang usianya sih bukan anak sekolahan lagi. Suzy dan Ched seumuran, sekitar 20 atau 21.

“Halo, gue Ron. Nice to meet you,” kata gue saat kenalan. Sebenarnya gue mau pamer kalo gue bisa ngomong Korea sedikit-sedikit. Tapi emang dasar gue kalo ketemu orag baru suka kaku banget. Apalagi harus ngomong sama orang Korea. Padahal kalo dipikir-pikir kan ini saat yang tepat untuk belajar banyak. Sebel. Jadinya ya sekaku itu pas ketemu Suzy.

“Are we ready to go now?” tanya dia.

“Yes, lets go!” kata gue dan Ched barengan.

Kita bertiga keluar dari hostel dan turun tangga dari lantai 6. Secara kebetulan hari itu lift-nya sedang dibenerin. Dan pas udah sampe bawah, Ched mendadak ngomong tiba-tiba, “Wah angan sampe aja ada barang yang ketinggalan. Bisa mati lemes itu di tangga naik dari lantai 1 ke lantai 6.” Katanya. “Oh iya, Suzy, I need to buy the T-Money card,” lanjut Ched.

“Iya nanti beli di Sevel aja. Di semua Sevel ada kok. Depan sana ada Sevel kan? Ntar mampir dulu aja,” kata Suzy. “Ron, lo udah punya T-Money?”

“Sudah!” gue meraba kantong celana gue dengan percaya diri. “Ada di sini, bentar,” gue nepuk-nepuk di kantong celana kiri depan, kanan depan, kiri belakang, kanan belakang. Kantong jaket kiri dan kanan. “EH ANJIR BENTAR DULU?! MANA NIH?!?!” kata gue kenceng.

“ANJ---WHAT?!”

“No sorry, but I think I left my card at the hostel. Can you please wait for me at Seven Eleven? I will run fast an find it.”

“Ok sure,”
kata mereka.

NAGINI KUDISAN, KENAPA BISA KETINGGALAN?!?!??!?!

Gue buru-buru tutup payung dan lari secepat gue bisa ke hostel nggak peduli basah. Karena lari sambil bawa payung akan membuat gue terlihat seperti orang dungu. Menerobos hujan gerimis nggak terlalu bermasalah lah. Untung juga di kawasan Hongdae lagi agak sepi. Ya siapa juga yang mau keluar hujan-hujan. Waktu ngeliat kios Pizza Etang, gue langsung belok kiri dan masuk ke gedung di belakang kios pizza itu, siap-siap naik lift.

Naik lift.

KAMBING KATARAK! LIFT-NYA KAN LAGI MAINTENANCE. YA ALLAH TERUS GUE NAIK TANGGA DONG SAMPE LANTAI 6?!?!?!?!

SEBEL. APA YANG DIBILANG CHED KEJADIAN JUGA AKHIRNYA.

SEBEL SAMA CHED!!!!!

Meniti tangga dengan celana ketat dan baju tebel itu sama sekali nggak nyenengin. Lelah dan keringetan di udara dingin juga nggak nyenengin. Gue berusaha mencari kerta bertuliskan kode pintu di dalam tas dan itu jga butuh proses. Setelah berhasil masuk, gue langsung menuju kamar, naik ke kasur dan bongkar-bongkar semua yang ada di sana. Gue sih curiganya ketinggalan di kasur pas beberes semalem. Tapi nggak ada.

Turun dari kasur yang gue tinggalin dalam kondisi berantakan gue menuju loker dan buka-buka loker. Bongkar semua barang yang ada di loker. Tapi nggak ada juga.

“Di mana deh Ron ketinggalannya? Coba inget-inget lagi!” kata gue ke diri sendiri. “Kamar mandi nggak mungkin, karena gue nggak pake celana jins di kamar mandi dan kartu itu selalu ada di celana jins. Trus di dapur? Nggak mungkin juga…”

Gue nggak menemukan jawabannya. Yaudah akhirnya gue nyerah.

“Beli lagi aja deh…” pasrah. Padahal itu juga gue minjem dari temen dan baru diisi beberapa malam lalu pas gue lagi di Myeongdong. SEBEL! MASIH BANYAK SALDONYA!!!!!!!!!

Gue pake sepatu lagi dan turun tangga yang sama menuju lantai satu. Udah lemes karena kelelahan dan agak ngos-ngosan juga, gue buka payung dan berjalan ke Seven Eleven tempat Ched dan Suzy nunggu. Gue masih kepikiran T-Money itu. Karena seinget gue setelah dari Lotte Hotel Seoul semalam gue nggak pernah ngeluarin itu dari celana. Gue coba lagi meraba-raba kantong celana gue sebelum memutuskan untuk masuk dan membeli kartu yang baru.

Dan

Ya

Gimana sih

Bener aja dong, ada nyelip di kantong sebelah kanan. Tadi nggak berasa karena kantong di bagian dalamnya kelipet dan gue nggak merogoh dengan saksama. Karena kartunya kelilit kantong bagian dalam jadi tadi pas ditepok-tepok jadi nggak berasa. Alhamdulillah.

“You know what? Ternyata I nggak forget the card di hostel. But the card is on my pocket all this time. Kampret gak?” gue diketawain sama Ched dan Suzy. Setelah itu kita akhirnya memulai perjalanan ke Gwanghwamun.

Kalo semalem gue turun di Hapjeong, hari ini Suzy nggak ngajakin naik di Hapjeong. Tapi di stasiun lain yang deket situ namanya Sangsu. Dari Sangsu nanti kita akan transit di Gongdeok dan turun di Gwanghwamun.


Sepanjang jalan ke stasiun ini gue masih merasa awkward. Yang pertama karena gue baru kenal sama mereka. Kedua karena entah kenapa gue jadi rada nggak pede sama bahasa Inggris gue. Ketiga karena gue dasarnya emang kaku sama orang baru. Keempat lebih kepada kenyataan bahwa MEN GUE LAGI DI SEOUL! YA ALLAH!!! SETIAP TIKUNGAN RASANYA SANGAT INDAH DAN BERHARGA UTUK DILIHAT DAN DIPOTRET. SETIAP TOKO DI PINGGIR JALAN WALAUPUN YAUDAH CUMA GITU AJA KOK TERLIHAT SO SYABANG-SYABANG. Hampir gue jerit setiap liat standee artis di sepanjang jalan ke Sangsu itu. Alay banget. IH AMIT-AMIT!

Gue sengaja berjalan agak lambat dan menjaga jarak di belakang Ched dan Suzy. Sambil memerhatikan sekitar. Kadang-kadang nimbrung tiba-tiba ada di antara mereka berdua. Tapi seringan sih ada di sebelah Ched. Kita bertiga jalan pake payung yang bikin jalannya nggak bisa dempet-dempetan. Dan setelah kurang lebih lima belas menit kita sampai di Sangsu.

Di sepanjang perjalanan itu gue tahu lebih banyak soal kepribadian mereka berdua. Suzy tipikal yang gampang banget diisengin. Ched di sisi lain suka banget iseng dan hobi bercanda. Sering dia becandain Suzy dengan jokes-jokes permainan kata yang terkadang krik-krik juga. Dan ketika kita sedang nunggu di peron, gue akhirnya punya kesempatan untuk pamer ke Suzy kalau gue bisa baca hangul. Dengan cara bertanya arti dari kata yang gue baca di deket situ.

“Loh lo bisa baca hangul?”

“Bisa baca tapi gue nggak bisa ngerti artinya,” kata gue.

“Oh kalo itu artinya ini, kalo ini artinya itu, kalo itu lo bisa baca kan?”

“Iya bisa. Hehe,”

“Belajar di mana?”

“Gue belajar sendiri sih karena gue suka KPop,”
kata gue lagi.

“Ron ini jurnalis,” Ched nimbrung.

“Lo suka KPop? Wah gue juga suka KPop. Lo suka siapa?” tanya Suzy.

“Banyak sih. Gue suka IU, EXO, SNSD, hehe,”

“Wah! Gue suka Infinite. Kemaren waktu gue jemput Ched, gue ketemu sama VIXX di bandara. Rame banget. Mereka mau berangkat ke MAMA yang di Hong Kong kayaknya. Atau mau ke mana gitu deh rame pokoknya. Karena Ched gue jadi ketemu mereka. Ahahaha thanks Ched!”
katanya. Walaupun dia bukan tipikal fans militan, tapi dia kedengerannya suka banget sama KPop. Ekspresinya waktu nyeritain ketemu VIXX ini sih sebenarnya nggak yang sehepi itu. Biasa banget. BENERAN YANG BIASA BANGET.

Kayak yang… yaudah…

WWQWQWQWQWQWQ

Suzy please. ITU VI AY F*CKING EKS EKS.

HUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUHUH HONGBIN.

Kereta yang akan membawa kita ke stasiun transit tiba dan kosong. Kita masuk dan duduk sebelah-sebelahan.

“Kalo di sini, grup yang paling terkenal siapa sih?”
gue iseng aja nanya.

“Kalo girlband tentu SNSD. Semua orang tahu SNSD. Selain itu A Pink juga banyak fans-nya. Gue suka A Pink. Its my favorite girlgroup,” katanya. Terus abis itu dia nyeritain sesuatu yang bikin gue pengen teriak kenceng banget, tapi enggak bisa demi alasan pencitraan.

“Gue pernah loh ketemu Xiumin sama Baekhyun-nya EXO.” Kata dia.

Hening sesaat.

Tenang Ron. Tenang. Dia kan tinggal di Korea, ya tentu saja dia pernah ketemu sama siapapun artis Korea yang lo hanya bisa lihat di laptop. Nggak heran dan bukan hal yang wow banget. Ya kan siapa tahu dia emang dateng ke fanmeeting atau apa.

Gue memutuskan untuk enggak nanya-nanya lebih lanjut tapi hanya menanggapi statement itu dengan senyum seadanya. Suzy terus lanjut cerita.

“Gue kan sekarang kerja part-time di coffee shop gitu. Nah pernah pas kapan si Baekhyun ini dateng mau beli kopi,”
kata dia.

GUE MAU BANTING SEMUA HAL YANG BISA GUE BANTING DEMI MENDENGAR DETAIL CERITA ITU TAPI GUE JAGA DIRI DAN JAGA HAWA NAFSU.

“Dia aslinya lucu banget loh! Sempet becanda-becandain gue gitu. Nah kalo Xiumin gue suka sama dia. Karena dia imut. Sekarang sih dia lagi banyak banget fans di sini karena tipikal yang aegyo gitu. Banyak nuna-nuna suka cowok ber-aegyo. Dia tipe kesukaan nuna-nuna banget,” kata dia lagi.

Gue masih senyum seadanya dan nggak tahu kenapa gue mendadak nahan nafas. Mau nanya lebih banyak tapi ngga berani. Masih tahap perkenalan nih sama Suzy. Kendala bahasa juga. Mau spazzing berlebihan takut keliatan freak. Dan emang lagi dingin banget jadi lidah gue kelu. #alasan.

“Oh iya terus lo kemaren ke Gangneung ngapain?” tanya dia lagi. Tadi di jalan gue sempat cerita gue sudah ke mana aja selama beberapa hari terakhir ini di Korea.

“Oh iya, kemaren gue tuh ada liputan drama baru gitu. Jadi SBS sedang memproduksi drama baru tentang Shin Saimdang,” gue menjelaskan singkat.

“OH! SHIN SAIMDANG! Dia terkenal banget. Ibu bangsa banget,” kata Suzy.

“Iya, jadi ada drama baru yang main Song Seung Hun sama Lee Young Ae,” kata gue lagi

“Song Seung Hun ganten banget!! Lee Young Ae gilak sih cantik luar biasa padahal dia udah berumur dan punya anak!”
Ched cuma diem merhatiin kita ngobrol soal KPop karena dia sama sekali nggak ngerti. Akhirnya karena kita berdua orangnya pengertian, kita memutuskan untuk menghentikan obrolan itu dan beranjak ke obrolan lain. Obrolan lain di sini berarti adalah masa lalu Suzy dan Ched waktu sekolah di Manila. Yang berarti juga gue nggak ngerti dan yaudah cuma diem aja ngeliat kaca. Menunggu sampai di stasiun transit. Turun dari kereta dan berpindah ke jalur lain, kitapun tiba di stasiun Gwanghwamun.
“We used to shine so bright together. But now we are strangers. In your arms, the world was mine. Goodbye to those childish days…”
Keluar dari stasiun subway dan disambut angin dingin serta air hujan bukanlah Gwanghwamun yang gue bayangkan. Gue melewatkan musim semi dan sekarang semua pohon sudah gundul. Keromantisan yang ditawarkan Kyuhyun di lagu ‘At Gwanghwamun’ itu jadi nggak kerasa. Well, tetep kerasa sih, karena lirik yang gue kutip di atas adalah my personal favorite. Fakta bahwa sekarang gue sedang berada di salah satu spot paling hits di Seoul ini membuat letupan-letupan lucu di dada gue.


Payung sudah dalam kondisi terbuka lagi. Suzy dan Ched jalan di depan sementara gue memanfaatkan waktu sejenak untuk melihat-lihat sekeliling sambil membuntuti mereka. Gue nggak tahu mereka aan jalan ke mana dan Suzy akan ngajak kita ke mana. Tapi sekilas tadi gue sempat denger kalo hari ini agendanya adalah di sekitaran situ. Gwanghwamun Square, Gyeongbokgung, sampai Insadong.

“Gue balik aja rutenya gak apa-apa kan? Karena hujan jadi mending kita cari tempat yang teduh-teduh dulu aja ya!” kata Suzy.

Gue nggak keberatan. Mengingat hari ini kan agendanya memang membuntuti mereka jadi kemanapun gue diajak hari ini gue akan senang aja. Jadilah tujuan pertama kita adalah National Museum of Korean Contemporary History yang letaknya nggak jauh dari pintu keluar stasiun subway.

Mengunjungi museum di Seoul sebenarnya udah di luar rencana banget. Dalam bayangan gue, museum tuh selalu gelap dan membosankan. Juga berdebu. Gue nggak inget kapan terakhir kali gue masu museum sebelum ini. Yang jelas itu sudah lama banget. Walaupun berkunjung ke museum bukan gue banget, tapi gue jadi penasaran juga sama museum di Gwanghwamun ini.

Dalam perjalanan ke lokasi, kita melewati banyak banget polisi berseragam persis sama kayak di drama Korea itu. Hujan-hujanan mereka bikin barikade di depan kedutaan besar Amerika. Bisa jadi salah satunya adalah Siwon atau Donghae. Ya tapi nggak mungkin kan gue ngecekin muka mereka satu-satu. Yang kepikiran hari itu sebenarnya cuma nyari tempat berteduh dan hangat. Udah itu aja.


Udah masuk sekitar jam 11 lebih siang. Udaranya dingin dan basah banget. Hujannya udah reda tapi masih awet. Setelah melewati barisan para polisi gue pun akhirnya bisa menyaksikan sendiri dari kejauhan patung Raja Sejong yang sedang duduk di singgasananya. Patung yang terkenal itu. Nggak jauh dari sana juga gue ngeliat patung jenderal Lee Sun Shin. Persis kaya gambar-gambar di internet.

Lagu Kyuhyun tetap keputer di kepala gue.
“Today, like a fool, I am standing at that spot. Getting wet in the rain. Waiting for you, who won’t come. I was happy. At the memories of holding hands and walking together, I look back in case you are standing there…”
Gue menghela nafas. Setiap detail yang gue lihat hari itu akan jadi bahan di novel Airin gue suatu hari nanti. Gue membatin. Dari kejauhan gue ngeliat Namsan Tower juga. Sudah ada rencana ke sana tapi nggak hari ini.

Kita mendadak berbelok ke kanan, masuk ke area halaman museum dan berhenti di depan pintu untuk ngeberesin payung. Memasukkan payung ke dalam plastik yang sudah disediakan di sana. Dan Alhamdulillah pas udah masuk, rasanya nyaman dan hangat. Kalau aja di situ boleh ngopi pasti akan lebih enak lagi. Gue sudah membayangkan latte hangat atau green tea manis.

Suzy melihat-lihat sebentar tulisan-tulisan yang ada di dinding sebelum mengajak kita mulai mengeksplor dari lantai satu sampai beberapa lantai di atasnya.

Di sana ada macem-macem. Mulai dari video mapping tentang sejarah Korea tentu saja. Tulisan-tulisan di dinding yang juga menceritakan sejarah Korea. Gue nggak terlalu mencermati ataupun mencoba untuk membaca lebih teliti. Karena (1) itu sejarah Korea, (2) sejarah Indonesia aja gue nggak khatam kenapa gue harus baca-baca sejarah Korea, (3) gue lagi mau liburan bukan mau mikirin sejarah, (4) bodo amat sama sejarah negara orang, sejarah negeri sendiri aja masih ogah-ogahan bacanya, (5) gue nggak suka pelajaran sejarah.

Terlepas dari semua itu, menurut gue museum ini bukan tipe yang membosankan. Jadi nggak ada salahnya untuk datang  ke sini sekedar untuk nambah-nambahin check in di Path.


Lantai pertama yang kita datengin berisi sejarah-sejarah dari zaman dahulu kala. Tahun per tahun dijelaskan dengan rinci apa saja yang terjadi di era itu. Naskah-naskah kuno yang bisa diselamatkan dipajang dengan indah di sana. Setelah masa kerajaan berakhir, lanjut dijelaskan dengan tak kalah mendetail soal masa penjajahan Jepang di Korea sampai ke hari kemerdekaan.

Di dinding banyak banget gambar-gambar pemberontakan masa lalu terhadap kepemimpinan Jepang zaman itu. Menurut gue, gambar-gambar itu bagus banget buat foto-foto. Di sini emang nggak dilarang foto. Yang dilarang cuma berisik aja. Ada lagi ruangan kayak bilik karaoke gitu yang memutar video non stop masih tentang perjuangan melawan penjajah. Ada satu sudut juga yang menampilkan sederet foto pahlwan era itu yang membentuk angka bulan dan tanggal kemerdekaan Korea Selatan.

Salah satu ruangan yang seru sebenarnya di bagian replika ruangan presiden di Blue House, semacem White House-nya Korea. Di sana ada replika meja presiden dan juga podium tempat pidato presidennya. Nah yang serunya lagi, dari ruangan itu kita bisa melihat kawasan Gwanghwamun Square dari atas. Pemandangannya indah banget. Basah tapi indah. Langsung ke gerbang Gwanghwamun dan Gyeongbokgung Palace.

Suasana antara gue, Ched dan Suzy masih awkward banget deh. Enggak paham. Ketika Ched dan Suzy sibuk saling foto, gue cuma bisa liat-liat sendiri dan foto-foto benda-benda mati di sekitaran sana. Mungkin Ched menangkap sinyal itu dan akhirnya dia ngomong ke gue “Kalo mau difoto kasih tahu aja. Nggak usah diem dan malu-malu ya!” ahahahahahahahahha.

Jadilah gue mau difoto belagak sedang kampanye presiden.

“Yak, siap-siap untuk foto paspor ya!”
kata Ched becanda sebelum motret gue. Juga dia sempat sok-sok mau candid ketika gue duduk di bangku presiden.


Berpindah ke lantai selanjutnya, kita memasuki wilayah sejarah populer dan perkembangan teknologi. Semua benda-benda yang sering kita lihat di Indonesia (yang ternyata berasal dari Korea) ada di situ. Salah satunya adalah kelereng. Boneka anak kecil dekil yang agak serem itu juga ada dipajang di sana. Kalo nggak salah di episode ‘Reply’ ada deh ini boneka. Semua hasil produksi pabrik Korea untuk import dan digunakan secara lokal dipajang di sana. Perkembangan televisi, film, bioskop, ponsel, pesawat, transportasi, radio, sistem sekolah, sampai sederet CD-CD penyanyi terkenal Korea di masa lalu ada di etalase dan sekitaran lantai ini.

Yang jelas pojok favorit gue adalah Hallyu. Di situlah pertama kalinya gue merasa nggak awkward berada di museum. Ngeliat ke dalam etalasenya aja udah senyum-senyum. Ada CD H.O.T, BoA, Super Junior, Psy. DVD Jewel In The Palace, buku Winter Sonata, CD Psy dan banyak lagi. Dan ketika itu insting wartawan (halah sok sokan) gue langsung muncul. Pojok itu jadi salah satu bahan artikel gue buat detikHOT besoknya.
“Sejak tahun 90-an, serial Korea memang sudah "menyerang" beberapa negara Asia dan menjadi populer. Bersamaan dengan drama televisi, musik juga menjadi salah satu produk budaya populer yang sangat digemari. Jika kalian pernah menyaksikan drama 'Reply 1997' tentu masih ingat bagaimana Sung Shi Won (Eunji 'A Pink') sangat mengidolakan boyband H.O.T yang popularitasnya saat itu benar-benar luar biasa. Sementara di era media sosial seperti saat ini, nama-nama seperti EXO, BTS, dan grup-grup senior seperti Bigbang dan SNSD pun masih berada di peringkat teratas untuk urusan popularitas.

Perkembangan budaya populer Korea menjadi salah satu hal yang patut dimasukkan ke dalam catatan sejarah. Di antara semua produk budaya populer yang pernah dibuat Korea Selatan, hanya beberapa saja yang dicatut untuk dipamerkan di salah satu etalase National Museum of Korean Contemporary History ketika detikHOT mengunjunginya pada Rabu (2/11/2015).

Tiga artis SM Entertainment tampak menghiasi rak di dalam etalase. Mereka adalah H.O.T, BoA dan Super Junior. Album pertama H.O.T yang berjudul 'We Hate All Kinds of Violence' merupakan album yang terjual lebih dari satu juta kopi saat itu. Padahal Korea Selatan sedang mengalami krisis ekonomi yang parah. Kontroversi juga mengikuti perilisan album ini seperti tuduhan plagiat sampai digugat secara hukum. Namun fakta penjualan yang fantastis buat CD H.O.T berada di puncak popularitas dan fenomenal. Sampai-sampai CD-nya pun dipajang langsung di museum yang terletak di pusat kota Seoul.”
Baca artikelnya di sini.

Ada satu etalase yang memajang sebuah replika kapal besar yang mengangkut ribuan masyarakat Korea pada perang Korea di masa lalu. Gue menerka itu adalah yang digambarkan dalam film ‘Ode To My Father’ yang sempat gue tonton beberapa waktu lalu. Banyak orang-orang mungil yang dibuat entah dengan bahan apa – terlihat seperti plastisin – dengan berbagai aktivitas. Mulai dari makan, tidur, gendong anak dan sebagainya. Kalo lo udah nonton filmnya pasti deh baper liat ini.

Ched sih nampaknya sangat menikmati perjalanan ke museum itu. Karena menurut dia, semua benda yang ada di sana ‘Instagram-Worthy’. Walaupun gue nggak terlalu banyak komentar mengenai itu, tapi banyak juga gue foto-foto di sekitaran museum. Nggak lama setelah kita kelar di bagian itu akhirnya kita mutusin untuk udahan dan pindah ke lokasi selanjutnya.


“Sebelum lanjut kita mending makan dulu yuk! Kebetulan gue juga udah laper banget nih,”
kata Ched yang dibalas anggukan setuju oleh Suzy.

Gue juga laper. Tapi di perjalanan ini, makan sebenarnya adalah opsi ke sekian. Tapi karena hari ini gue nguntit mereka, nggak mungkin kalo gue mendadak bilang kalo gue nggak mau makan dan memilih untuk jalan sendiri kan. Yaudah, mari makan kalau begitu.

Kita keluar museum lewat jalan yang berbeda dengan jalan masuk kita tadi. Setelah menuruni beberapa eskalator, berpapasan dengan segerombolan tentara muda yang sedang wajib militer dan jalan-jalan ke museum, kita keluar dari kompleks adalah National Museum of Korean Contemporary History menuju jalan yang akan membawa kita ke tempat makan bernama Kimbab Jeon-guk. Gimana ya bahasa Inggrisnya? Kimbab World?

“Murah dan lumayan buat ganjel.” Kata Suzy sih.

Ini pertama kalinya gue bakalan makan di luar bareng sama orang asing yang bukan muslim by the way. Jadi gue harus menjelaskan keribetan turis muslim yang sedang jalan-jalan ke negara yang belum muslim friendly kayak Korea Selatan ini.

“Gue nggak makan babi, by the way. Gue muslim. Di situ ada makanan yang nggak pake babi kan? Kayak ayam, atau misalnya ikan gitu? Nant gue minta tolong ya dijelasin ke ahjumma-ya ya, Suzy, hehe.”


“Oh oke. Ada kok yang tuna,” katanya. Lagian, kalau dipikir-pikir, makanan kayak bibimbab atau ramyeon kan ada yang “aman”. Dalam artian no pork and no lard. Tapi ya kalo alat yang digunakannya sudah terkontaminasi babi, serahkanlah pada Allah SWT. Namanya juga musafir. #seenaknya

Perjalanan dari museum ke Kimbab Jeon-guk enggak terlalu jauh. Gue masi baper sama jalanan dan suasana yang gerimis-gerimis itu. Kebayang semua aja yang pernah gue tonton di drama Korea. Sesayang itu gue sama Seoul. Benci. Kenapa.

Kita sampai di Kimbab Jeon-guk yang enggak terlalu rame. Ada meja kosong buat bertiga di tengah-tengah ruangan. Tempat ini semacem franchise kayaknya sih. Karena gue pernah liat beberapa kali tempat yang sama juga. Tempatnya nggak terlalu gede. Kursi dan mejanya hitam dan ruangan itu berpencahayaan lampu yang redup. Suasananya hangat. Perpaduan antara penghangat ruangan dan panas yang dihasilkan dari kompor di dapur yang nggak terlalu jauh dari lokasi makan kita. Di dinding ada banyak gambar yang dipajang dan di salah satu sudut terpampang papan menu beserta harga makanannya. Kimbab Jeon-guk yang kita datangi hari itu dijaga oleh dua atau tiga ahjumma gitu.

Setelah gue dan Ched duduk dan membuat diri kita senyaman mungkin—melepas beberapa aksesori penghangat karena ruangannya udah hangat—Suzy langsung mengambil tiga gelas air minum dari dispenser yang ada di pojokan. Kebanyakan tempat-tempat kayak gini di Korea air minumnya pasti self-service. Jadi kita bisa minum air putih sepuasnya nggak perlu beli air kemasan gitu. Menyusul kemudian seorang ahjumma mengantaran sederet kimchi ke atas meja yang juga sudah termasuk ke dalam “service” mereka. Belajar dari vlog-nya Eat Your Kimchi, “service” di sini berarti gratisan.

Sehelai krtas menu dan satu pensil juga sudah ada di atas meja. Ched dan Suzy sudah sibuk-sibuk memilih makanan apa yang akan mereka pesan. Sementara buat gue pilihannya cuma tuna kimbab, kimbab sayur, atau ramyeon dan tokpokki. Gue pesen kimbab tuna satu dan rapokki (ramyeon-tokpokki). Sementara Ched memilih makan udon karena dia mengaku nggak terlalu bisa menoleransi makanan pedas. Suzy kayaknya bukan tipikal yang banyk makan (hehehe tapi dia chubby gitu lucu deh hehehe sayang udah punya pacar hehehehe) jadi dia pun hanya akan kimbab aja.

Harga kimbab di sini nggak lebih mahal dari kimbab yang gue makan di pinggiran Lotte Supermarket beberapa hari yang lalu. Itu gilak sih mahal banget udah gitu beku beneran kayak es. Menu di sini harganya berkisar KRW 3,000 untuk kimbab. Gue sih rekomen buat makan di sini karena murah. Kenyang banget cuma kimbab doang karena itu padet banget dan bener-bener gumoh deh makannya. Gue pun nggak tahu kalo kimbab-nya bakalan semengenyangkan itu. Gue malah pesen sama rapokki. Yaudah itu mie, kue beras sama kimbab numpuk. Nyaris muntah. Dijamin kenyang bego.

Makan gue hari itu abis sekitar KRW 7,000 atau KRW 8,000 deh. Perut kembung. Air putih berlebihan. Makanan sangat berlebihan. Yang jelas itu nggak boleh sakit perut dan boker. Karena boker di luar hostel pasti akan sangat ribet karena nggak ada air pastinya. Daripada gue keliling kota dalam kondisi menjijikkan dan tidak cebok, mending gue tahan aja sampai nanti malam. Tapi beruntung sih gue nggak sampe yang mules dan kebelet boker. Tuhan memberkati.


Acara makan hari itu tentu saja dimulai dulu dengan foto-foto makanannya. Kemudian mereka berdua berlanjut mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari masa sekolah sampai sekarang. Tipikal kita kalo reunian sama temen SMA pasti ngomongin siapa yang udah nikah dan macem-macem. Sampai akhirnya mereka pun beralih topik ke pekerjaan gue. Gue sedikit menjelaskan betapa menyenangkannya jadi jurnalis. Karena sebelumnya gue bilang ke mereka kalo gue pun pernah dikirim ke New York. Yah apalah sekarang udah resign WKWKWKWKWKWKW.

Gue pun sempat komplain soal cuaca. Bukan komplain sih, lebih ke yang unek-unek gitu. Namanya juga kan anak tropis yah. Diajak ke suhu begitu pasti bawel dong.

“This is too cold for me to handle,”
kata gue.

“Ini tuh nggak cold Ron, ini tuh cuma cool,” tegas Suzy.

Mau marah rasanya. Suzy mungkin nggak pernah hidup di Jakarta yang suhunya bisa sampe 35 derajat celcius. Makanya dia bisa bilang begitu. Atau dia mungkin sudah lupa sama udara di Manila yang kan nggak jauh beda juga sama Jakarta. Untung lo cantik, Sus. WKAWAKWAKWAKWAKWA

Kita makan cukup lama sik. Gue yang makannya lama karena udah gumoh duluan sama makanan. Sampe nggak abis. Nggak mau terlalu nyaman karena kehangatan tempat itu, kitapun bersiap untuk pindah ke tempat selanjutnya. Hujan udah agak redaan dan sekarang udah bisa jalan nggak pake payung. Alhamdulillah! Walaupun begitu langit masih gelap. Suasana kota juga masih basah.

Usai jam makan siang itu ada banyak orang yang berlalu lalang di sekitar tempat yang kita kunjungi. Pakaian mereka stylish banget. Boot, coat bulu-bulu ala Goo Jun Pyo, bawa kopi di tangan kiri dan kalo nafas keluar asep dari mulut dan hidungnya. BERASA BANGET DI LUAR NEGERI YA?!?! AHAHAHAHA ADUH KATROK. MIAN.

Kita menelusuri jalan di antara gedung-gedung tinggi, melewati lampu-lampu jalan, melangkah di atas trotoar basah yang bersih banget. Seoul itu bersih banget. Melewati sederetan pepohonan pinggir jalan yang botak. Gue tetap pangling sama kota ini. Jadi gue kembali menikmati kesendirian sejenak dengan membiarkan orang Korea dan Filipina itu bercengkerama di depan sementara gue di belakang memberi jarak beberapa langkah.

Sudah delapan tahun kurang lebih sejak gue pertama kali kenal Korea-Korea-an dan ini pertama kalinya gue bisa mampir ke Seoul (AND IT’S F*CKING FREE). Gue nggak ingin pengalaman pertama gue ini jadi yang biasa-biasa aja. Atau misalnya jadi cuma yaudah sekedar gitu aja. Itulah kenapa setiap langkah kaki, setiap belokan, setiap gedung, setiap pohon, setiap detail kotanya, dan setiap perasaan yang muncul – halah – berusaha gue ingat sekuat-kuatnya. Gue nggak tahu kapan gue akan menuliskan cerita ini dan ketika gue menuliskannya nanti gue ingin itu jadi sebuah tulisan yang setidaknya mengajak para pembaca blog gue juga tenggelam dalam suasana basah Seoul di awal Desember 2015.

Nyaris setahun berlalu dari perjalanan itu, excitement-nya masih berasa. Jelas sekali.

Dalam perjalanan ke Insadong, mendadak handphone gue bergetar. Dapet message dari Annis, temen gue di UI yang sekarang kuliah di Korea.

“Kak aku bisa ketemu di SMTOWN COEX sore ini. Gimana?”

OMG.

OMG.

OMG!

FINALLY, NAIK HAJI!

Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram
Steller: ronzzykevin
Snapchat: snapronzzy
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)

Share:

0 komentar