Ched, Hostel dan Indomie Tengah Malam


Percaya atau enggak, gue bukan termasuk orang yang mudah bergaul dan cenderung anti-sosial. Apalagi memulai pembicaraan dengan orang baru. Gue kadang-kadang pasif banget untuk yang satu itu, tapi bisa jadi juga sangat aktif, kalau misalnya orang yang diajak berinteraksi menunjukkan tanda-tanda keterbukaan dan nggak memunculkan jarak. Yes, I'm that kind of person who talks too much. Sorry. Genetic. Walaupun kata orang sih yang sering kali memunculkan jarak di obrolan pertama itu gue. Padahal sebenarnya kalau menurut gue mungkin jarak itu terlihat karena gue pada dasarnya orang yang pemalu. Tapi setelah lo kenal, gue akan jadi orang yang paling malu-maluin.

Di beberapa situasi, gue tipikal orang yang nggak akan ikut nimbrung ke obrolan secara langsung kalau misalnya gue nggak ngerti sama apa yang diobrolin. Gue bukan tipe yang mau sok-sok ngerti demi bisa nyambung sama orang-orang yang sedang kumpul-kumpul di kantor misalnya. Gue lebih ke tipikal pendengar kalau di bagian itu. Pernah waktu gue liputan ke Singapura beberapa bulan kemaren, salah satu wartawan senior ngajak gue ngomong soal politik Indonesia dan gue cuma bisa,

"Oh. Gitu ya? Masa sih? Oalah..." doang.

I'm not really interest with any kind of politics topic bahkan masalah negara sendiri. Dan yang lebih parahnya gue gak bisa fake kalo gue gasuka AHAHAHAHAHA. Tapi gue tahu ini salah sih. Soalnya pas di Amerika juga gue diajak ngobrol sama Gayle dari Singapura dan ngebahas soal kebakaran hutan beberapa waktu lalu sementara gue cuma, "Can we talk about Super Junior instead?" eh malu.


Makanya kalo di kantor gue kesannya sangat tidak pernah bergaul sama sekali dan lebih memilih untuk diam di depan laptop ketimbang ikut nongkrong ngerokok sama temen-temen yang lain di bawah. Alasan pertama karena gue nggak terlalu bisa betah menghirup asap rokok (gue bukan perokok), alasan kedua karena gue kadang nggak ngerti sama obrolannya apa.

Buat orang yang lebih suka ngomongin episode terbaru 'Doctors' kayak gue pasti akan susah buat nyambung sama topik-topik yang mereka omongin. Kayak semisal otomotif........ apalah itu...... Ya Allah.

Tapi risiko dari nggak pernah kongkow sama anak-anak kantor di sesi merokok mereka ya gue jadi paling nggak tau apa-apa soal gosip terkini ataupun gonjang-ganjing yang terjadi di kantor. Kayak misalnya yang paling nyesek ketika gue tahu paling terakhir bos gue mau resign sementara yang lain tuh udah ngebahas kayak few weeks ago.

Ketidakmampuan gue untuk berinteraksi baik dengan orang-orang sekitar ini sangat bermasalah sih sebenarnya. Tapi kayak yang gue bilang tadi, gue sendiri punya radar, mana orang yang kira-kira akan nyambung dan mana orang yang kira-kira akan roaming banget kalau ngobrol sama gue. Tentu saja radar itu paten baru-baru ini, setelah lo banyak belajar soal karakter orang dan banyak ketemu dengan berbagai tipe orang. Kalau dulu, ketika sekolah dan kuliah, gue biasanya yang lebih mencoba untuk berusaha dekat dengan orang. Beberapa berhasil dan banyak yang gagal. Dulu gue pikir kalau kegagalan gue dalam menjalin hubungan pertemanan dengan orang adalah karena memang gue yang nggak bisa mengikuti pergaulan. Tapi kalo sekarang, "Men, ya itu kerugian besar buat lo." alias I don't give a shit. If I don't have friend, I still have laptop and create my own friend.

No hope. But at least I'm happy.

But still no hope.

Pathetic.


HAHAHAHA but anyway bicara soal approaching someone to be your friend, sampai sekarang gue masih inget siapa aja orang-orang pertama yang gue ajak ngomong di masing-masing tingkatan pendidikan gue: TK, SD, SMP, SMA dan Kuliah.

Waktu TK gue inget banget dulu selalu ditemenin sama nyokap selama beberapa bulan pertama. Jaman-jaman itu, yang paling penting dalam kehidupan gue sebenarnya bukanlah temen, tapi ditemenin nyokap ke sekolah. Sedetik aja nyokap ilang dari pandangan gue, gue langsung panik. Sampai akhirnya mungkin nyokap mulai merasa kalau itu nggak sehat dan akhirnya dia memutuskan untuk nggak nemenin gue lagi ke sekolah. Kepanikan itu tetap ada, tapi karena panik itulah gue akhirnya memulai sosialisasi dan pencarian teman pertama gue. Dan yang pertama kali ngajak gue ngomong pas TK adalah cewek bermata sipit dan berambut pendek berponi. Namanya Merlin.

Pertemuan dengan Merlin sangat sederhana. Gue sedang jongkok-jongkok kesepian menahan air mata karena nyokap udah nggak nemenin gue lagi ke sekolah di kolam pasir dan kemudian Merlin mendekati gue untuk mengajak berbicara. Lalu gue sadar kalau ternyata berkomunikasi dengan manusia itu sangat menyenangkan dan akhirnya kita mulai berteman. Sesimpel itu. ya anak-anak. Nggak mikir macem-macem soal latar belakang, kelakuan, sifat, dan segala macem. Ketika gue tahu Merlin dan gue sekelas gue makin seneng. Walaupun kita duduknya nggak sebelah-sebelahan karena TK itu sangat seksis banget memisahkan cowok dan cewek di kelompok yang berbeda, tapi setiap jam istirahat kita selalu menyempatkan diri untuk main bareng.

Setelah Merlin, ada satu anak cowok yang gue lupa namanya tapi gue masih inget banget wajahnya pas dulu. Rambutnya lurus, lepek, berponi (sementara gue dulu rambutnya kering dan ngejegrag(????) banget ngembang kayak rambut singa) dan anaknya kalem, walaupun dia suka pipis sembarangan. Dan gue inget kita pernah pipis bareng di WC sebelum masuk kelas sambil makan bakso. Tapi pertemanan gue dengan Merlin nggak bertahan lama karena mungkin dia lebih suka main boneka sama temen-temennya yang lain sementara gue lebih suka nontonin orang main bola karena gue nggak bisa main bola. Sampai akhirnya gue kenal sama anak lain namanya Aank, dan satu lagi jelang lulus namanya Galang. Tapi ya ketika udah mau lulus-lulusan sih jadi kenal semuanya sekelas. Walaupun agak kabur sekarang siapa aja yang dulu temen gue di TK kecuali kita ketemu lagi di SD, SMP atau SMA.

SD gue persis banget di belakang rumah. Bener-bener sedeket itu sampai gue bisa denger suara bel berdering dan baru berangkat setelah bel bener-bener udah berdering. Telat? Nggak mungkin. Karena lewat pintu belakang semuanya aman-aman saja. Ketika gue masuk SD, wajah-wajah familiar di TK muncul semua di kelas itu. Di hari pertama sekolah, orang pertama yang gue samperin di tempat duduknya bernama Dedi.

Kita dulu di TK satu kelas juga tapi ya seperti halnya anak laki-laki yang lain dia lebih suka lari-larian di luar dan gue lebih suka duduk di kelas sambil ngegambar. Jadi pertemanan kita hanya sebatas ketika mewarnai bersama dan menggambar di kelas doang. Dan kalimat pertama yang dikeluarkan Ron yang baru masuk SD ketika ketemu Dedi adalah "Loh kita sekelas lagi?" Sementara Dedi mungkin bingung "lagi" di situ maksudnya apa karena melihat ekspresinya dia sepertinya sama sekali nggak tahu kalo gue sama dia pernah satu TK. Kehidupan gue di SD sangat terbantu dengan dua sepupu gue yang sekelas dan teman-teman dekat rumah yang juga sekelas.

Lulus SD membuat gue merasa harus cepet-cepet cari temen baru. Berpisah dengan anak-anak SD itu adalah hal yang paling gue tunggu-tunggu sepanjang enam tahun sekolah di SD belakang rumah itu. Masuk SMP sendiri sebenarnya bukan hal yang mudah. Rasa insecure-nya bertambah. Gue akan berhadapan dengan orang-orang yang lebih banyak dan datang dari berbagai sekolah di seantero kota. Penerimaan mereka terhadap gue tentu saja akan berbeda. Saat itu gue sangat merasa tidak percaya diri dengan apapun. Apakah rambut gue udah kekinian? Apakah cara bicara gue sudah cukup jantan untuk anak yang baru masuk SMP? Apakah gue akan diterima di pergaulan baru nanti? Pertanyaan-pertanyaan semacem itu bikin Ron yang baru berusia 11 tahun sudah malas menjalani hidup. Takut banget rasanya ditolak dipergaulan. Tapi satu hal yang bikin gue akhirnya punya semangat untuk hidup di SMP adalah karena saat itu gue pertama kalinya meresmikan nama 'RON' sebagai nama panggilan.

Buat yang belom tahu, 'RON' adalah tiga huruf terakhir di nama panjang gue. Dan kebiasaan orang di tempat gue adalah menggunakan nama depan sebagai nama panggilan. Atau modifikasi nama depannya sebagai nama panggilan. Paling banter nama tengah deh. Tapi kakak cewek dan abang gue kompak menggunakan tiga huruf terakhir di namanya sebagai nama panggilan. Supaya klop, gue pun memilih untuk memperkenalkan diri dengan nama 'RON' saat SMP. Dan secara kebetulan gue juga adalah seorang Potterhead sejak SD dan punya nama 'RON' membuat gue merasa sangat dekat dengan Harry, my all time hero.

Orang pertama yang gue ajak bicara di SMP namanya Bayu. Kita sempat sekelas waktu ospek tapi akhirnya dipisah lagi setelah pembagian kelas permanen. Dan orang kedua yang gue kenal waktu itu namanya Ipunk. Beruntung Ipunk akhirnya sekelas sama gue di kelas permanen. Dan di hari pertama masuk kelas 'i' di SMP itu gue pun ketemu lagi sama Aank, temen TK gue yang bahkan sama sekali nggak inget sama gue tapi gue inget betul sama dia. Gue sama Aank akhirnya duduk bareng selama kelas satu. Kebetulan juga gue, Aank dan Ipunk absennya urut-urutan. Aank absen 2, gue absen 3, dan Ipunk absen 4. Kalau ujian duduk kita selalu deketan. Jadilah kita geng tuker-tukeran jawaban dan tuker-tukeran hafalan.

Klik di sini untuk baca detail pertemuan pertama dengan Aank di SMP


Memasuki masa SMA, sebenarnya yang sulit bukan mencari teman, tapi bagaimana bertahan dari teman-teman yang rese dan ngerasa paling keren sedunia, sampai-sampai mereka merasa punya hak untuk menindas teman-temannya yang lain. Banyak dari temen TK, SD, dan SMP gue bersekolah di SMA yang sama. Lucky for me because Aank juga masuk ke SMA yang sama dan kita sekelas waktu kelas satu. Perkenalan dengan anak-anak di kelas juga tidak membutuhkan waktu lama, tapi penyesuaian dengan kondisi intimidatif itu justru yang butuh proses.

The worst thing about being a high schooler is that, me as a student, always sit in the bottom of the "food-chain". Waktu kelas 1 bahkan gue sampai di titik di mana gue nggak pernah makan di kantin karena gue nggak berani menghadapi dunia sama sekali. Bahkan gue selalu pergi makan setelah bel masuk, supaya kantinnya sepi. Yes, gue sehina itu. Aank did help me a lot tho. Walaupun dia adalah tipikal anak-anak gaul kayak di novel-novel teenlit: jago olahraga, pinter matematika, ketua OSIS, remaja mushola, anggota paskibra dan favorit semua orang di angkatan, dia masih mau berteman dengan Ron yang bahkan makan di kantin aja nggak pernah sampai dia mau naik kelas 3.

Dan ketika kuliah, semua jadi lebih complicated di satu sisi, tapi jadi sangat menyenangkan di sisi lain. Ketika gue yang selama 17 tahun hidup di kota yang bahkan mungkin orang-orang nggak akan ngeh ada di Indonesia pindah ke Depok yang mepet-mepet Jakarta, gue banyak belajar bagaimana caranya bertahan hidup di pergaulan. Juga bagaimana menjaga diri dari pergaulan. Walaupun gue nggak punya banyak banget temen ketika kuliah, tapi beberapa dari mereka cukup membuat gue merasa nyaman berada di kampus selama 3,5 tahun. Beberapa teman pertama gue di kampus sebenarnya udah gue ajak kenalan dari Facebook. Tapi yang pertama kali berinteraksi sama gue di kehidupan nyata adalah Afif. Dan kita masih ketemu sampai beberapa bulan yang lalu ketika dia pamit mau ke Jepang buat persiapan S2. Sementara gue masih di sini-sini aja sambil ngetik review EXO. MUAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHA.

Semakin bertambah usia tentu saja semakin banyak pelajaran soal pergaulan dan bagaimana caranya bergaul yang gue dapatkan. Tapi pelajaran yang paling penting di posting-an ini adalah bagaimana cara memulai percakapan, dan dengan siapa lo harus memulai percakapan itu untuk mencapai hubungan pertemanan yang indah dan menyenangkan.

Prolog ini kemudian akan membawa gue ke Seoul, Desember 2015, ketika gue pertama kali ketemu sama Ched, Sascha dan Suzy (bukan member miss A).

Posting-an ini adalah bagian kesebelas dari 'Finally, Seoul!', catatan perjalanan pertama saya ke Seoul, Korea Selatan. Sebelum melanjutkan baca bagian ini, baca dulu beberapa cerita sebelumnya supaya lebih nyambung yuk. Link posting-an sebelumnya ada di bawah ini ya!

1. Susahnya Nyari Taksi di Seoul!
2. Bonjour, Petite France!
3. Jadi Tukang Foto Orang Pacaran di Nami
4. Ngeliat Song Seung Hun Syuting 'Saimdang - The Herstory' di Ohjukheon
5. OMG! Saya Ikutan Press Conference Drama Korea!
6. Pertemuan Pertama yang Awkward dengan Salju (ALAY BANGET ASTAGA!)
7. Ngegaul Sendiri di Dongdaemun Design Plaza
8. MBC World, Tempat Seru Buat Ngalay!
9. Jangan ke Myeongdong Kalau Nggak Punya (Cukup) Uang
10. Dream Come True: Finally, Seoul!

Ketika di Seoul, gue cukup amazed dengan bagaimana gue sangat berkembang dalam bergaul dan memulai percakapan dengan orang lain. Ditambah lagi kita berbicara bahasa yang berbeda. Beberapa hari di Seoul bikin gue syok juga dengan perkembangan ini yang ternyata sangat oke jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu.

Gue yang dulu lebih suka makan sendirian di kelas karena bawa bekal dari rumah dan nggak mau ke kantin karena takut sama anak-anak gaul yang ada di sana, sekarang bisa memulai obrolan santai dengan orang asing, bahkan dengan menggunakan bahasa berbeda. Bener sih kata orang, kalau sudah dalam kondisi yang terancam dan tidak ada pilihan lain, do or die.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Maru Hostel Hongdae, gue sudah punya bayangan bahwa di sana nanti gue akan kenalan dengan banyak orang asing. Orang-orang yang juga datang ke Seoul dengan tujuan yang sama: liburan. Walaupun sebenarnya gue waktu itu masih ada kerjaan sih, tapi at least kerjaannya bisa sambil liburan. Gue sudah punya niatan untuk mencari teman orang asing yang enak diajak ngomong paling nggak. Dan bisa berinteraksi sebagaimana di film-film. Setidaknya kenalan untuk tahu nama.

Walaupun kenyataannya, nggak semua orang yang pertama kali bertatap muka sama gue langsung punya koneksi. Tapi beberapa dari mereka justru punya dinding yang tebal sekali.

Hidup di hostel, meski hanya untuk beberapa hari ternyata nggak bisa cuek satu sama lain. Karena kita hidup di "rumah" yang sama dan berbagi kamar mandi, dapur dan bahkan kamar yang sama, mau nggak mau kita harus kenalan. Setidaknya kenalan untuk tahu nama (2). Prinsipnya tuh nggak cuma make yourself comfortable, tapi juga harus make everyone comfortable. Kalo misalnya ada orang yang lo ajak kenalan tapi feedback-nya negatif, yaudah gausah dilanjutin. Daripada dia bete.

Kayak waktu itu ada satu bule cewek, gue nggak tahu dari mana. Rambutnya panjang dan tampilannya kayak anak-anak emo gitu. Pas gue baru dateng dia lagi nonton YouTube yang muterin playlist KPop di televisi superbesar yang ada di ruang tamu hostel. Gue sempat lama di situ karena nungguin penjaga hostel yang lagi keluar, dan gue mau check in. Niat gue buat ngajak dia ngomong aja udah punah karena udah serem sendiri sama tatapan matanya.

Jahat sih. Kan seharusnya nggak boleh judge a book by its cover.

Di ruangan yang sama juga sebenarnya ada orang lain. Tapi semuanya sibuk sama urusan masing-masing. Jadi gue juga yang baru dateng mau nimbrung kok rasanya enggak enak. Makanya pas udah dapet kunci kamar, gue mutusin untuk istirahat dulu aja. Masuk ke kamar dan beres-beres. Di sanalah justru gue ketemu sama Ched.


"Where are you come from?"

"I'm from Manila," katanya. Cara dia menyebutkan kata 'Manila' itu bikin geli. L-nya kayak ada tiga. 'MANILLLA'.

"Oh hi! I'm from Indonesia," kata gue. "Whats your name?"

"Ched."

"Chad?"

"No, its Ched. C. H. E. D,"

"Oh right. I'm Ron," kata gue. Pas gue ngeliat mukanya, gue sadar kalo dia mirip sama seseorang. Tapi gue nggak bisa inget mirip siapa. Yang jelas muka Ched ini familiar banget. Kayaknya kita pernah ketemu sebelumnya. Nggak cuma ketemu, tapi kita pernah ngobrol dan pernah main bareng.

"Nice to see you, Ron!"

"You too!" gue keliatan banget happy-nya. Separo karena akhirnya bisa bicara sama orang yang juga sedang main-main ke Korea dan bukan dari Indonesia, separo karena bahagia ilmu bertemannya kepake dengan baik.

"Jadi, kapan lo sampe Seoul?" tanya dia sambil ngeberesin barang-barangnya. Luar biasa dia ke Seoul bawa dua koper sama satu carrier. Sementara gue cuma bawa satu koper sama ransel aja udah nggak tau lagi harus gimana repotnya.

"Sekitar tiga hari yang lalu. Tapi gue baru aja sampe di Maru beberapa menit yang lalu. Sebelumnya gue tinggal di hotel di deket Myeongdong. Kebetulan gue ke sini kerja," jawab gue sambil merhatiin dia beres-beres. Merhatiin dia bawa beberapa mantel (sementara gue cuma punya satu) dan bawa beberapa sepatu (sementara gue cuma pake satu).

"Oh lo udah kerja?" ekspresi dia kayak nggak percaya gitu. Mungkin karena ngeliat badan gue yang besarnya nggak jauh beda sama dispenser yang ada di dapur yang tadi gue lewatin.

"Iya gue jurnalis. Ini gue ke sini juga sebenarnya masih dalam rangka kerja sih," kata gue. Kita ngomong agak bisik-bisik karena ada tulisan di situ nggak boleh berisik.

"KALO MAU NGOBROL DI LUAR AJA" begitu kata tulisan di dinding dekat pintu.

"Jurnalis? Wow! Gue pengen banget jadi jurnalis. Lo nulis tentang travel?" tapi kayaknya Ched nggak ada niatan untuk menurunkan lagi volume suaranya. Ketika dia denger gue bilang gue jurnalis, dia sangat tertarik untuk mendengarkan cerita lebih banyak.

"Enggak sih, gue sebenarnya nulis tentang KPop. Kebetulan ada syuting drama Korea gitu dan gue dateng buat liputan. Lo suka nulis juga?"

"Suka sih, tapi belom pernah yang diniatin banget. Kayaknya habis dari Seoul ini gue akan mulai nulis di blog. Gue sekarang udah tingkat akhir dan tinggal nunggu wisuda bulan Juni tahun depan," katanya.



Nggak mau baru check in langsung disuruh check out secara tidak hormat, akhirnya gue sama Ched memutuskan untuk cepat-cepat beberes dan keluar dari kamar. Karena kebetulan dia juga mengeluh lapar.

Dalam bayangan gue sih sebenarnya gue pengen ngajak dia jalan malem buat nyari street food. Kebetulan kan di situ deket Hongdae dan gue penasaran aja sama kondisi malam di sana kayak gimana. Tapi nggak jadi. Karena kayaknya di luar sana terlalu dingin dan dia juga udah keliatan capek banget. Sampai akhirnya gue inget kalo di koper gue ada sekantong Alfamart Indomie. Aha!

"Eh, gue ada mie instan nih, dari Indonesia," kata gue sambil buka koper. Buka kopernya beneran pelan-pelan karena suara retsletingnya kenceng banget di kamar yang sepi itu.

"Oh ya? Enak nggak?" dia menanggapi positif. Ini kalo besok ada kompetisi cerita Indomie gue harus ikutan pokoknya.

"Ini enak banget. Semua orang di Indonesia suka. Lo harus coba. Lo mau? Gue pengen makan juga soalnya," kata gue. Baru inget kalo perut udah kelaparan lagi dan ayam yang gue makan di Junggu udah nggak ada rasanya sama sekali di perut. Abis karena jalan kaki, nyari taksi dan emosi.

Gue langsung keluarin keresek Alfamart yang berisi Indomie yang gue bawa dari Jakarta. Gue keluarin satu mie goreng, satu mie rebus. Terus gue kasih liat dia. Ched yang lagi beres-beresin baju langsung mendekat.

"Can I eat this?"

"Can lah! Sure, can! Ini enak banget dan terkenal banget di Indonesia," kata gue. Dia sumringah gitu. Terus gue mencoba jelasin bedanya dari dua mie yang gue kasi tunjuk itu. "Yang ijo ini mie kuah gitu, nah kalo yang putih ini mie goreng, jadi kering. Kalo gue lebih suka yang kering. Tapi kalo lo mau coba yang kuah nggak apa-apa sih."

Ched menimbang-nimbang sebentar mau makan yang mana. Sebelum akhirnya dia bingung dan mutusin untuk nyelesein dulu urusan koper dan barang-barangnya.

"Kayaknya sih gue mau mandi dulu. Abis itu kita makan mie ya. Lo kasih tahu gue cara masaknya," kata dia.

"Oke!"

Mandi malam setelah beraktivitas siang hari itu bukan style gue. Kecuali kalo misalnya lagi liputan luar negeri terus nginep di hotel mahal misalnya. Bela-belain deh mandi malem supaya kamar mandinya nggak sia-sia. Biasa, alay tuh emang gitu. Tapi malam ini gue kayak nggak ada perasaan ingin mandi. Di luar dingin. Di dalem sini hangat sih. Tapi kayaknya sih emang gue harus mandi. Supaya nanti pas masak mie wangi, nggak bau macem-macem. Udah dari Nami, Petite France, Junggu, cemacem bau nempel.

Ched akhirnya mandi duluan sementara itu gue manfaatin waktu buat beresin beberapa barang yang ada di koper.

Nah ngomong-ngomong soal Maru Hostel Hongdae, di sini ada beberapa kamar yang bisa dijadikan alternatif buat tinggal. Seperti yang sudah gue jelasin di posting-an sebelumnya, hostel ini adalah yang termurah yang bisa gue temukan di booking.com. Lokasinya juga nggak jelek-jelek amat. Dan ternyata suasananya sangat homey.

Sumber: chedricangeles.com

Gue tinggal lima malam di sana dengan membayar sekitar Rp 670 ribu. Kamar yang gue pilih adalah shared room dengan bunk bed. Sekamar isinya 12 orang. Termasuk gue dan Ched. Kebetulan waktu booking gue request untuk tidur di kasur atas di bunk bed-nya. Alasannya sederhana: gue parno itu kasur patah dan ambruk terus gue mati kegencet di bawahnya. Sementara gue gak mikirin gimana perasaan orang yang tidur di bawah gue. Karena mungkin mereka nggak separno gue. Kasurnya Ched juga di atas dan sebelahan sama kasur gue tapi posisinya beda.

Buat lo yang misalnya belum pernah tinggal di hostel dan ngerasa kalau 12 bunk bed itu nggak nyaman, ada pilihan lain kok di Maru. Enak juga misalnya lo pergi sama temen berempat, lo bisa pilih kamar yang lebih private yang isinya 4 orang aja (tapi tetep bunk bed juga). Lebih enak dan lebih nyaman karena isinya lo sama temen-temen lo doang. Tapi tentu saja ini lebih mahal secara total, walaupun tetap sharing bisa murah sih. Gue pilih yang 12 karena kebetulan gue sendirian. Dan emang gue nggak terlalu punya masalah dengan tempat tidur. Yang penting ada dan yang penting bisa tidur. Prinsip gue itu sih.

Sebenarnya gue ditawarin buat tinggal di Dongdaemun sama Mbak Dian waktu itu. Dia adalah yang ngundang gue buat ke Korea. Tapi gue tolak tawarannya karena lebih mahal. Walaupun dia nawarin gue buat nggak usah bayar lebihnya dan cukup bayar sebanyak yang gue bayar di Maru, tapi gue tetep nolak karena nggak enak. Hahahaha masa iya dibayarin sih. Manja banget. Kan ngerepotin juga. Akhirnya gue tetep milih di Maru. Emang udah jodoh kayaknya bakalan kenalan sama Ched juga.

Selain kamar dan kasur (inget kalo hostel itungannya per kasur bukan per kamar), di Maru juga ada loker yang bisa dipake seenak kita, asalkan kosong. Loker nggak perlu nyewa jadi bisa kita manfaatin buat naruh barang-barang berharga yang kalo mau jalan agak ribet untuk dibawa. Kayak misalnya laptop gitu. Lokernya cukup luas jadi barang yang masuk juga lumayan bisa muat banyak. DAN FREE WIFI KENCENG!!!!!!!!!!!

Semua pintu kamar di Maru pake kode kayak di drama-drama Korea. Pintu depan (pintu utama) dan pintu kamar juga. Kamar mandi yang gue bisa akses ada tiga. Yang satu ada di deket dapur, tapi ini nggak ada WC-nya, cuma buat mandi aja. Yang satu ada di lorong jalan masuk ke kamar dan di situ ada banyak ruangannya. Ada yang buat mandi doang, ada yang buat buang air doang. Nah yang satu lagi ada di kamar, tapi yang di kamar cuma buat buang air doang. Tapi gue lebih suka yang di kamar karena ada wastafel right beside the WC. Jadi bisa isi air pake botol buat cebok. YAY! Kalo di luar soalnya nggak ada air dan nggak ada semprotannya.

Sumber: chedricangeles.com

Selain itu ada dapur yang bisa dipakai sesukanya. Ini yang gue suka dari hostel, karena kita bisa bebas berkreasi buat makanan dan minuman sesuka hati. Kalo di hotel kan kita nggak bisa masak di kamar. Nah, Maru Hostel Hongdae menyediakan sarapan gratis sampai jam 10 pagi. Sarapan ini berarti roti tawar unlimited, teh unlimited, kopi unlimited, dan telur unlimited. Tapi kalo telur bisa diambil kapan aja karena malam itu gue sama Ched juga bikin Indomie pake telur.

Dapurnya kecil, tapi rapi dan lengkap. Ada kulkas buat storage makanan punya tamu (dengan label nama masing-masing dan tanggal check out), ada kulkas reguler, ada mesin pembuat kopi, air minum, kompor, peralatan masak, dan meja makan unyu yang berkapasitas empat orang. Di dekat situ ada ruang tamu yang sofa dan TV yang tersambung internet.

Sumber: chedricangeles.com

Setelah Ched kelar mandi dan gue juga akhirnya nyusul untuk mandi, kita sama-sama duduk di meja makan. Berusaha ngomong sambil bisik-bisik sementara beberapa orang lain masih duduk depan TV nontonin KPop. Ched keliatan sedang mencoba untuk menyusun itinerary-nya malam itu.

"Lah lo belom bikin itinerary? Gimana cerita?" gue ketawa terus duduk di kursi di depan Ched. Dia udah ganti baju yang lebih santai. Pas itu gue kepikiran lagi sama pas tadi kenalan kita di kamar, yang gue bilang dia mirip temen gue. Tapi siapa...?

"Sebenarnya gue tuh udah bikin. Tapi catetan gue ilang," dia ketawa. Kawat giginya bener-bener ngingetin gue sama temen gue yang gue lupa siapa. "Jadi ini gue kayak harus bikin lagi dan mencoba untuk inget-inget apa yang udah gue tulis kemaren," katanya. Ched lanjut ngoceh tentang beberapa tempat makan yang dia pengen datengin dan ada di kawasan Hongdae ini. Sementara buat gue, makan tuh kayak opsi terakhir banget. "Mereka punya kafe yang lo bisa ngasih makan domba gitu. Lucu deh. Eh ngomong-ngomong, jadi mau masak mie?"

"Oh iya, ini, masak aja!" gue kasih Indomie-nya. Dia ambil yang mie goreng. Gue sebenarnya pengen bantu buat masakin. Tapi gue penasaran juga apakah dia bisa masak mie itu atau nggak. Atau mungkin dia ngeh atau nggak di belakang tuh sebenarnya ada petunjuk masaknya. Tadi sih gue udah bilang itu mie kering. Semoga dia inget.

Dan ketika itu gue langsung inget ternyata si Ched ini mirip siapa.

"CHED! I REMEMBER NOW!" gue histeris. Alay banget sih Ron. Tsk!

"WHAT?! WHAT?!" sebel, dia nanggepinnya juga kayak gitu.

"Dari tadi tuh gue mikir dan agak kesel karena nggak ketemu-ketemu di kepala gue. Lo mirip sama temen gue. Sekarang gue inget siapa," kata gue. Langsung gue keluarin hape dan cek profile picture WhatsApp-nya temen gue yang gue bilang mirip sama dia. "Namanya Dicky. Dia sekarang lagi liputan di Jepang nih. Menurut gue sih lo mirip," kata gue.

"Err... No... Not at all." jawab Ched sambil mencong-mencongin mulut, ngerti kan kalo bule say no terus mencong-mencongin mulut kayak gimana.

"Tapi mirip ah kata gue," kok guenya nyolot.

"Nggak ah," jawab dia.

"Mungkin karena kalian berdua pake kawat gigi kali ya," kata gue lagi.

Gila sih, menurut Ron semua orang yang pake kawat gigi di dunia ini pasti mirip. Jadi kalo someday Irene pake kawat gigi dia mirip Betty La Fea gitu maksudnya, Ron?

Akhirnya obrolan mirip nggak mirip itu berakhir di depan kompor ketika Ched mulai masak Indomie. Ternyata emang dia nggak baca petunjuk masaknya. Dan nggak inget sama apa yang gue bilang di kamar tadi mana yang kuah mana yang kering. Soalnya pas mie-nya udah mateng, dia hampir aja masukin bumbu mie goreng ke dalam mangkok yang berair.

"EH NO NO NO! YOU SHOULD TIRISIN AIRNYA FIRST!" kata gue heboh. Orang-orang yang nonton TV itu mungkin udah kesel kali dari tadi kita berdua berisik banget di dapur kayak penganten baru.

"OH? HAHAHAHAHAHA SORRY HAHAHAHAHAHA," dia heboh sendiri.

Abis itu gue ambilin dia saringan(?) gede yang ada di rak dan nirisin mie itu terus lanjutin campur bumbunya. Setelah itu gue juga bikin mie sendiri dan kita makan sambil ngelanjutin itinerary-nya Ched. Rencananya dia besok akan dijemput sama temennya yang bernama Suzy. Suzy adalah orang Korea yang pernah tinggal di Manila dan satu SMA sama dia dulu. Jadi si Suzy ini yang bakalan jadi tour guide dia selama di Seoul. Kebetulan besok mereka mau jalan.

Sementara gue baru dijemput Mely satu hari setelah besok. Dan besok tuh gue rencananya emang mau jalan-jalan sendiri. Dan sorenya gue mau ketemuan sama Anis di SMTOWN COEX Artium. Tapi itu baru sore. Sementara gue masih punya waktu beberapa jam sebelum sore.

"Lo ikut sama gue aja, sama Suzy. Besok rencananya kita mau ke daerah Gwanghwamun, Ssamziegil, Insadong, dan lain-lain di deket-deket situ. Gimana?" tanya dia.

Tawaran yang bener-bener nggak mungkin gue tolak. Daripada gue canggung jalan-jalan sendiri, kan mending ikut aja sama mereka. Bisa sekalian dikasih tau macem-macem sama temennya juga. Walaupun sih, sebenarnya tetep canggung. Karena nyatanya ketika gue jalan sama mereka, gue lebih banyak diem dan masih bener-bener malu banget buat minta difoto. LOL

TADI KATANYA UDAH BERKEMBANG KEMAMPUAN BERGAULNYA! PEMBOHONG!

Sumber: chedricangeles.com

Dan setelah gue menyetujui untuk ikut jalan sama mereka, kitapun tidur di kasur masing-masing. Benar-benar hari yang melelahkan. Lotte Hotel Seoul - Nami - Petite France - Junggu - Hongdae. Kaki gue nyut-nyutan. Kepala gue alhamdulillah dingin. Dan Maru Hostel Hongdae Alhamdulillah juga hangat. Gue matiin lampu kasur terus berusaha untuk terpejam dan bangun sebelum alarm hape gue membangunkan semua orang pas subuh nanti.

Di situlah gue baru inget, kalo gue baru saja meracuni satu orang Filipina dengan mecin.

Semoga dia masih bangun besok pagi.

Follow Me/KaosKakiBau in everywhere:
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram
Steller: ronzzykevin
Snapchat: snapronzzy
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)

Share:

0 komentar