I My Me Mine--Refleksi Galau

Aduh-aduh... bete berkepanjangan kayaknya gue dari hari ke hari. Kenapa sih perasaan gue ini seperti sedang ditusuk jaruk beracun, nyerinya bikin ubun-ubun rasanya berdenyut dan hampir meledak, bikin mata jadi nggak fokus ngeliat, bikin otak jadi nggak bisa berpikir? Nggak tahu deh... Belakangan gue malah tambah gila, apalagi di dalam kamar kosan yang sempit dan mulai membosankan ini. Setiap kali yang gue lihat hanyalah meja belajar dengan wanita tercantik yang pernah ada di kamar gue ini: Eci. Dan selain itu? Hanya ada lemari lusuh, pintu kamar mandi bopeng, tembok yang bermotif lumut, dan kardus-kardus di atas kamar mandi yang kian hari kian banyak. Bosen...

Kalau dipikir-pikir, nggak enak juga ya hidup jauh dari keluarga? Kalau lagi ada masalah atau lagi galau kayak gini, nggak bisa melampiaskan kekesalan, kemarahan dan lain-lain. Apalagi sekarang (tepatnya empat bulan belakangan ini) kebiasaan gue teriak kalau lagi stress itu nggak bisa terealisasi karena gue nggak kenal siapa-siapa di kosan ini. Gue nggak bisa teriak-teriak kayak orang gila karena itu akan membuat orang-orang curiga kalau gue sedang diperkosa sama setan atau sedang nonton film kartun yang kelewat lucu.

Seharusnya menjelang liburan gini gue sudah packing, siap-siap buat pulang kampung dan menikmati liburan. Ketemu sama mama tercinta dan kakak-kakak juga ponakan. Aduh... kangen sama semuanya. Tapi sebenarnya kalau keluarga menurut gue nggak begitu gimana-gimana sih karena mau nggak mau satu setengah tahun terakhir ini memang harus jauh dari keluarga. Yang paling gue nggak bisa itu adalah jauh dari temen-temen sekelas di IKP.

Berasa banget deh kalau weekend itu gue ngerasa kayak orang bego di kamar. Mulut menganga, mata melotot, antara bangun dan tidak, antara sadar atau pingsan, antara hidup dan mati. Gue merasa weekend adalah hari dimana gue menjadi orang yang depresi karena nggak bisa ketemu sama temen-temen. Oh yeah, gue ngerasa ada yang beda di weekdays karena temen-temen sekelas di IKP. Walaupun gue tahu, ada beberapa dari mereka yang sedang marah sama gue karena kesalahan bodoh dan konyol gue beberapa bulan lalu, tapi gue tetep kangen sama mereka kalau weekend.

Belakangan ini, ide menulis cerita pendek, fanfiction atau niat melanjutkan proyek novel gue sedang tertunda. Hal itu dikarenakan pikiran-pikiran gue tentang sesuatu yang sebenarnya nggak penting, tapi selalu aja bikin gue kalah: cinta.

Ya... harusnya cinta itu justru bisa memotivasi gue buat lebih berkarya kan ya? Tapi ini malah bikin gue semakin depresi. Apa karena gue nggak bisa mendapatkan cinta itu karena orang yang gue suka itu udah punya pacar dan pacarnya itu sayang banget sama dia dan dia sudah bilang ke gue kalau dia nggak akan cari pilihan lain? Ya... bisa jadi karena itu. Pengalaman pacaran yang sama sekali nol membuat gue berpikir bahwa hidup ini nggak cuma sekedar makan, tapi juga stres karena pikiran-pikiran tentang cinta yang bahkan tersentuhpun tidak. Huff... Dunia memang aneh.

Gue inget percakapan gue sama salah seorang temen yang ketika gue tanya tentang hubungannya dengan pacarnya,

“Lo sayang ya sama dia?”
“Sayang...”
“Menurut lo, dia sayang nggak sama lo?”
“Sayang lah...”
“Tahu dari mana?”
“Karena dia nggak punya orang lain dan hatinya selalu terpaut sama gue...”
“Bener begitu?”
“Iyalah...”
“Kalau seandainya lo berjodoh sama dia dan akhirnya menikah, lo seneng nggak?”

Dia senyum-senyum kayak kodok lagi makan cicak bunting.

“Seneng nggak?”
“Seneng...” Jawabnya sok imut.
“Tapi kalau suatu ketika seandainya lo dan dia nggak berjodoh, dan harus berpisah karena perbedaan prinsip dan budaya, lo ikhlas nggak?”
“Kalau itu yang terbaik buat gue, kenapa nggak?”
“Kalau seandainya ada orang yang sayang sama lo dan dia bener-bener cuma punya lo di hati dia, lo mau nggak sama dia?”

Dia diam, nggak jawab.

Ya tentu saja... pertanyaan terakhir hanya terucap dalam hati. Hahahaha... Berasa gue kenal sama orang yang suka gitu sama temen gue itu sampe-sampe pertanyaan itu hampir keluar. Tapi emang sih, gue kenal orang yang sayang sama dia tapi nggak berani ngomong.

Dari situ gue belajar bahwa sebenarnya pacaran itu nggak cuma sekedar telepon dan SMS. Pacaran itu nggak cuma sekedar berganti status dari single ke taken. Tapi pacaran itu sesungguhnya adalah sebuah tahap penting menuju keseriusan. Temen gue itu misalnya, ketika gue mengajukan pertanyaan yang serius, masalah menikah contohnya, dia pasti akan menanggapinya dengan serius dan dengan wajah yang sumringah bahagia. Tapi ketika gue tanya soal masalahnya, berantemnya, mukanya pasti langsung kayak kodok lupa makan tiga hari. Temen gue itu punya komitmen, dan komitmennya itu direalisasikan dengan rasa cintanya ke pacarnya itu. Kalau gue bilang, dia adalah salah satu dari banyak cowok yang ternyata sedikit, yang mau berkorban banyak buat pacarnya. Ya... itu pujian terbesar dari gue.

Sekarang gue justru bingung sama postingan kali ini... sebenarnya ngomongin pacar, temen, labil, atau apa sih?

#mikir

#putusasa

Hmmm... mungkin lebih kepada curahan hati galau kali ya... Untung gue masih bisa nulis. Kalau nggak bisa, gue tabok tuh orang yang namanya Choi Siwon sama Lee Donghae *nggaknyambung*

Anneyong...

Gue merasa banyak yang curiga sama gue belakangan ini...

Share:

0 komentar