Ketika Kau Merasa Semua Menusukmu dari Belakang

Apa yang membuatmu senang memiliki teman. Bisa ketawa-ketawa bareng? Hang-out bareng? Makan, jalan-jalan di kampus, bahkan belajar bareng? Well, yeah, teman selalu bisa diandalkan dalam hal-hal seperti itu. Biasanya teman akan selalu ada jika kita haha hihi dan tertawa serta happy bareng dia. Tapi apakah itu berarti teman jika disaat kita butuh dukungan dan sedang down dia tidak bisa ada di samping kita? Hmmm...

Saya punya teman, banyak sekali. Tapi ada beberapa orang yang saya anggap sebagai teman baik saya. Di tempat pertama tentunya d'bocokz. Anak-anak ini selalu bisa membuat saya tersenyum kalau saya lagi galau, meskipun mungkin intensitas pertemuan kami nggak sesering saat SMA dulu, tapi mereka tetap teman baik bagi saya. Berikutnya, kalau dibilang tempat kedua kayaknya nggak deh soalnya orang-orang ini adalah orang-orang yang bener-bener bisa memberikan dukungan disaat apapun: 7PM. Haha... orang-orang baik inilah yang selalu ada jika saya sedang mengalami yang namanya degradasi pemikiran *apa sih itu?* *nggak ngerti* *sigh*

Tapi hari ini cukup menyebalkan, cukup? Sangat kalau saya bilang... Beberapa teman-teman saya agak menyebalkan hari ini. Cukup membuat saya merasa sangat tidak nyaman dan merasa ingin pergi dari kelas beberapa kali tadi. Well, sebenarnya bukan maksud mereka untuk melakukan apapun pada saya sih, tapi mungkin karena keadaan hati saya yang tidak bagus pagi ini membuat saya lebih gampang marah dan tersinggung. Haha... terdengar seperti saya. Cuma untungnya saya tidak meledak-ledak seperti mereka waktu itu. Hahaha... 

( ganti cara nulis, oke? agak kagok )

Jadi waktu itu gue pernah kirim satu SMS yang isinya permohonan maaf dan wejangan-wejangan kecil soal keharmonisan kehidupan kelas. Cuma mungkin SMS itu sampai ke mereka di saat yang tidak tepat. Bersamaan dengan masalah taksi, mobil yang cuma satu, temen yang pulang malam ke Cilegon, dan lain sebagainya yang membuat SMS itu seperti momok mengerikan. Saya dianggap salah paham, hmmm... bahasa mereka sih "salah persepsi" kalau tidak salah, atau "salah mengartikan"? Lupa... Yang jelas seperti itu. Jadi SMS saya dianggap salah dalam menilai hubungan mereka dengan teman-teman kelas yang lain. Padahal dari sudut pandang saya selama ini, itulah yang terjadi, dan saya yakin itu benar karena beberapa kali saya mendengar dari mereka sendiri. ( Kenapa jadi saya lagi? Tadi kan udah gue... -___-" )

Oke, lanjut, jadi SMS itu sempat membawa gue ke sebuah ruang sidang yang benar-benar menyebalkan. Gue inget banget hari itu 12 Oktober 2010 dimana gue di depan empat orang yang lainnya disidang karena SMS itu. Metode klarifikasi yang temen-temen gue buat justru memojokkan gue sepertinya dan gue merasa tidak nyaman dengan hal itu. Jujur saja... Sedih sekali rasanya mereka terlalu mementingkan ego mereka daripada memikirkan perasaan orang lain. Gue memang temen mereka, tapi setidaknya kalau mau mengklarifikasi sesuatu, jangan dengan cara seperti itu, sidang terbuka yang memuakkan gue. Sakit hati... jujur saja.

Niat gue mengirim SMS itu baik kok, gue tahu beberapa anak di kelas ada yang nggak akur, ada yang saling berbeda pendapat, dan semuanya bertopeng. Gue cuma pengen mencoba untuk bisa menyatukan mereka. Melepas topeng itu dan melebur. Bahsa kita satu kelas dan itu akan tetap seperti itu sampai lulus nanti. Apakah iya kita akan bisa maju dan bisa mengerjakan proyek selanjutnya dengan baik jika dalam diri kita masih ada kebusukan yang justru akan membuat semuanya rusak? Kira-kira begitu nada SMS gue. Tapi malah dikira salah persepsi... Oke, gue akui gue salah. Gue salah sudah mengirim SMS itu di waktu yang tidak tepat.

Selain masalah itu, ada masalah lain. Berkaitan dengan peminjaman alat syuting yang memakan waktu lama dan juga cukup membuat darah ini mendidih. Suatu ketika gue dan tiga orang temen gue yang lain ( TIGA ORANG TEMAN GUE YANG LAIN, gue ulangi ) menghadap ke bapak-bapak ketua yang jabatannya adalah penguasa semua peralatan di kampus. Dan saat itu kami ingin mengurus peminjaman alat untuk syuting film pendek. Tapi dari bapak-bapak ganteng itu, kami malah dianggap sok, nggak sabar, terlalu percaya diri. Kata dia, kami belum waktunya untuk membuat film karena kami belum dapat pelajaran menulis skrip, mengedit, dan belum lulus dikurikulum selanjutnya. Bahkan bapak-bapak itu mengajukan satu pertanyaan tentang teknik editing yang bernama Cut Away. Jelas saja kami tidak tahu karena memang kami belum belajar editing. Tapi apakah itu terlalu penting sehingga kami tidak bisa berkarya? Apakah kami harus menunggu sampai lulus kuliah baru bisa ikut lomba film pendek kampus yang pesertanya adalah mahasiswa seangkatan kami? Huff...

Dan masalah ini gue ceritakan ke salah seorang dosen gue yang sudah dianggap sebagai ibu dari teman-teman satu kelas. Gue cerita panjang lebar bahwa gue dan TIGA ORANG TEMAN GUE menghadap ke bapak-bapak itu dan dikata-katai tidak sabar, sok dan sebagainya. TIGA ORANG TEMAN GUE ini melarang gue untuk menceritakan masalah ini ke anak-anak yang lain. Tapi karena gue adalah orang yang sangat cerewet dan susah menyimpan rahasia dan gue juga merasa bahwa anak-anak yang lain juga berhak tahu dan mereka juga bagian dari kami dan juga mereka teman-teman gue, akhirnya gue ceritain masalah itu ke temen-temen gue yang melakukan sidang menyebalkan itu. Pure, karena gue pengen mereka juga tahu dan tidak ada yang disembunyikan. 

Tapi apa yang gue dapet?

Mereka malah marah-marah. Mereka malah menganggap gue tidak melibatkan mereka dalam masalah ini. Mereka malah menganggap mereka tidak dianggap sebagai bagian dari kami. Oh Tuhan... Padahal niat gue memberitahu mereka kan karena gue ingin mereka juga merasa terlibat. Tapi yang jadi permasalahan adalah: GUE TIDAK MENCANTUMKAN NAMA MEREKA DI MESSAGE FACEBOOK YANG GUE KIRIM KE DOSEN TEMPAT CURHAT GUE ITU.

Ya Tuhan...

Perasaan gue waktu itu campur aduk, antara, "Hah? Apaan sih ini?" dan "Ya Allah, masalah begitu doang?" dan "Ya ampun... lucu banget deh kalian, cuma karena itu marah?" dan "(sensor)! Gue juga cerita kemaren karena gue pengen ngelibatin kalian!" dan sebagainya... Gue ngerasa lucu aja, kok bisa mereka berpikiran kayak gitu padahal gue udah mengambil resiko untuk menceritakan mereka masalah itu... Sedih... Sedih banget... Gue pikir, pertemanan kita lebih dari sekedar teman biasa, tapi cuma karena masalah itu aja sampai gue disidang dan merasa dipojokkan. Oke, gue terima itu...

Satu hal lucu yang bikin gue nggak berhenti ketawa-kesel hari itu adalah percakapan ini:

"Masalahnya gini Ryan, kru untuk UIFEST ini sudah gue pikirkan mateng-mateng."

"Iya gue ngerti. Terus masalahnya dimana?"

"Jadi gini Ryan, mau mau lo buat lebih bikin sutradara kita berani bersuara. Kan lo yang paling deket sama dia."

"Iya sih, belakangan ini jadi deket."

"Nah makanya itu. Soalnya gue nggak suka kalau ada orang yang bukan sutradara tapi malah sok-sok jadi sutradara kayak syuting yang kemaren. Soalnya gini Ryan, GUE SAMA NECHA sudah memilih orang-orang ini dengan berbagai pertimbangan dan pengamatan."

Oke, waktu denger percakapan itu gue langsung nyela,

"Tunggu deh, gue juga bisa tersinggung loh, lo ngomong begitu barusan."

Semua diam.

"Tadi lo bilang, GUE SAMA NECHA sudah memilih orang-orang ini dengan berbagai pertimbangan dan pengamatan. Disaat lo memilih itu, disitu juga ada GUE. Lo lupa? Gue bisa juga marah karena nama GUE nggak lo sebut di omongan lo barusan."

Semua hening lagi.

See? Apakah sekarang gue akan melakukan sidang dadakan ke dia karena dia nggak nyebutin nama gue sedangkan gue juga ada di saat dia memilih kru itu? Kepikiranpun nggak sama sekali. Kenapa? Karena itu hal yang sangat sepele dan nggak penting! Kalau seandainya kejadian dimarahi bapak-bapak itu memang cuma ada gue dan tiga orang temen gue yang lain, apakah gue harus menyebutkan nama orang yang tidak ada di sana? Lalu apakah gue harus marah karena nama gue nggak ada di sana? Huff...

Sampai sekarang kalau gue inget kejadian ini gue antara pengen marah, sama pengen ketawa. Sebagian besar dalam hati gue belum bisa memaafkan hal itu karena sidang yang mereka lakukan itu benar-benar bikin gue merasa sebagai pecundang dan orang yang paling bersalah.

Masalah ini masih bergulir sampai sekarang... Bahkan ketika gue sudah mau merubah semua sikap gue, ketika gue berusaha baik, gue malah dapet muka kusut yang seperti mengatakan bahwa, "Apaan sih lo Ron?" Atau muka yang mengisyaratkan, "Ih, males banget liat muka lo."

Gue terima dengan perlakuan apapun yang kalian semua lakukan ke gue. Kenapa? Asal kalian tahu, gue pernah mengalami hal yang lebih buruk dari itu. Gue sudah terbiasa, guys. Sejak SD sampai SMA gue sudah terbiasa dengan kata-kata kotor orang tentang gue, hinaan orang tentang gue, cerita-cerita jelek orang tentang gue. Jadi kalau cuma masalah begini sih, gue nggak pernah pikirin. Cuma satu hal yang akan sulit untuk gue terima: disaat gue mencoba untuk memperbaiki keadaan dan lo nggak ada feedback ke gue, maka gue akan tetap jadi apa yang lo pikirkan. Maafin gue kalau seandainya nanti gue nggak bisa bersikap seperti dulu ke lo. Bukan karena gue marah. Bukan... Tapi karena lo yang buat gue terbiasa dengan hal ini.

Gue cowok, lo cewek, gue ngerti. Agak aneh kalau bermasalah seperti ini. Tapi kenyataannya memang ada. Sedalam-dalamnya gue minta maaf buat lo, temen gue yang paling baik, yang udah mau ngasih gue makanan setiap hari tanpa gue bayar, yang sudah baik hati membantu gue dalam setiap masalah gue. Gue minta maaf banget. Gue ngerti kok, gue ini bukan siapa-siapa, cuma anak perantauan yang sedang mencari jati diri. Gue minta maaf banget.

Terakhir, gue mau bilang makasi buat semuanya, 15 orang yang paling baik yang pernah gue temui di dunia ini ( versi Jakarta ), orang-orang yang sudah membuat gue nyaman berada di tempat di mana gue nggak pernah merasa percaya diri. Kalian adalah yang terbaik.

Share:

0 komentar