Penghujung Musim Gugur yang Romantis di Pulau Nami

Posting-an ini adalah bagian kedelapan dari 'Finally, Seoul!', catatan perjalanan pertama saya ke Seoul, Korea Selatan. Sebelum melanjutkan baca bagian ini, baca dulu beberapa cerita sebelumnya supaya lebih nyambung yuk. Link posting-an sebelumnya ada di bawah ini ya!
1. Ke Lokasi Syuting 'Saimdang - The Herstory' di Ohjukheon
2. Pengalaman Pertama Ikut Press Conference Drama di Korea
3. Pertemuan Pertama yang Awkward dengan Salju
4. Minggu Malam (Sendiri) di Dongdaemun Design Plaza
5. Sesi Foto Alay di MBC World
6. Monyong-monyong di Myeongdong
7. Finally, Seoul!

Seoul lagi dingin-dinginnya. Iyalah, orang udah mulai masuk musim dingin, ya gimana. Setelah dua hari berada di Seoul gue akhirnya tahu, bagaimana rasanya berada di negara dengan empat musim. Bagaimana rasanya berdiri di tengah udara dengan suhu 0 derajat. Bahkan sempat merasakan suhu minus juga pas ke Gangneung di rest stop Pyeongchang. Semuanya adalah berkah Allah SWT dan doa bunda yang tiada putus-putusnya.
"MOOOOM!!!!! AKU KE KOREA GRATIS!!!!!!!!!!"
Gue inget di hari ketika gue ngasih tahu ke nyokap kalau gue akan ke Korea, ekspresinya di telepon terdengar sangat senang walaupun nggak seheboh gue. I know she always pray for me even if I didn't ask. Karena kata Rhoma Irama, doa ibu tuh emang paling manjur. Makanya hari itu gue pun meminta nyokap untuk berdoa satu aja.
"Ya sekali-sekali gitu doainlah anaknya bisa ketemu Kim Jun Myeon sambil ngopi Amerikano di pinggiran Han River, Mom."

"Kim Jun Myeon itu siapa?"

"Lupain aja Mom."
Malam setelah semua jurnalis undangan Oh!K Channel selesai transkrip wawancara Song Seung Hun dan Lee Young Ae di salah satu meeting room Lotte Hotel Seoul, gue, mbak Swita, mbak Dinda dan salah satu jurnalis dari Malaysia main-main ke Myeongdong. Dan di situlah gue baru memutuskan untuk membeli syal dan juga topi bulu-bulu yang diobral di pinggiran Myeongdong sana. Karena besoknya gue mau ke Nami.


Belajar dari pengalaman di Pyeongchang kemaren, gue nggak mau lagi sok-sokan kuat sama dinginnya udara di Korea. Jadi persiapan lebih harus dilakukan untuk ke Nami. Walaupun gue tahu sih, Nami nggak mungkin sedingin Pyeongchang. Tapi yaudah, daripada kayak orang begok gitu kan nggak bisa menikmati jalan-jalan karena kedinginan, mending beli aja.

Malam itu juga adalah malam perpisahan sama Lotte Hotel Seoul. Selama dua malam tinggal di salah satu hotel mahal di Seoul ini bener-bener menyenangkan. Kapan lagi gitu nginep di hotel mahal dan gratisan? Kalo nggak dari kantor sih nggak jamin bakalan bisa! Hahahahaha. Walaupun sempat bingung sama klosetnya yang kebanyakan tombol karena biasanya juga gue jongkok, tapi Lotte Hotel Seoul meninggalkan kenangan yang membekas banget. Gilak sih. Kamar gue depannya langsung billboard digital-nya IU ya gimana. Tidur ditemani Lee Ji Eun tersayang.

Dan di hari Selasa (1/12/2015) itu kami para jurnalis harus check out dari hotel sama-sama. Tapi karena mau jalan-jalan ke Nami, jadinya semua barang-barang dititip dulu di hotel supaya nggak ribet.

Gue sama sekali nggak tahu apa-apa soal bagaimana caranya ke Nami. Karena gue nggak pernah ke Korea sebelumnya dan ini bener-bener pengalaman pertama. Tapi baca-baca di internet dan beli buku tur Korea dan install aplikasi Subway bener-bener membantu banget. Awalnya gue juga mau ke Nami sendiri hari itu tapi akhirnya Mas Aryo, Mbak Dian, Mbak Dinda dan Mbak Swita setuju buat ikutan.
"Tapi lo yang nunjukkin jalan ya Ron!" kata Mas Aryo ketika kita ngebahas soal Nami dalam perjalanan pulang dari Gangneung.

"Ya gue sebenarnya nggak tahu juga sih ini, percaya sama peta saja deh mas," gue jawab sambil meringis.
Gue sendiri sebenarnya bukan orang yang jago membaca peta, tapi sense gue soal arah bisa diandalkan. Gue gampang inget jalan tapi gampang juga kesasar. Tapi biasanya kalo lagi jadi GPS kayak gitu, gue akan lebih fokus karena takut menjerumuskan orang-orang. Walaupun nggak bisa dihindari juga beberapa kesalahan yang mungkin terjadi kayak misalnya "Apakah kita harus naik bus dari sini atau dari seberang?" dan sebagainya.

Perjalanan dari Seoul ke stasiun kereta terdekat dengan Nami memakan waktu sekitar satu setengah sampai dua jam. Awalnya kita berniat untuk berangkat pagi-pagi buta. Sekitar jam 7 atau jam 8. Tapi karena kondisi badan yang udah capek abis kerja seharian kemaren, kita baru bisa berangkat jam 9 karena harus sarapan dulu di hotel. Berbekal aplikasi Subway di Android itulah gue lalu memimpin temen-temen jurnalis senior dan juga mbak Dian yang pernah jadi PR beberapa event KPop di Jakarta juga untuk berangkat ke Nami.

Setelah adegan kesasar di satu stasiun subway pas ke Dongdaemun beberapa malam yang lalu, perjalanan dengan subway udah nggak lagi mendebarkan. Pengalaman mengajarkan segalanya pokoknya. Hahahaha Sekarang gue lebih pede menentukan arah. Dan karena cuma gue juga yang tahu jalan ke Nami (based on the apps sih sebenarnya), jadi yaudah yang lain percaya sama gue aja gitu ceritanya.

Apps Seoul Subway ngasih dua alternatif pilihan rute: Paling Cepat atau Pemberhetian Paling Sedikit. Karena gue nggak cek bagian yang pemberhentian paling sedikit, jadi gue cek aja yang tercepat. Jadilah rute kita hari itu adalah:

Euljiro-1ga (LINE 2) - Wangsimni (Transit dari LINE 2 pindah ke LINE 5) - Gunja (Transit dari LINE 5 pindah ke LINE 7) - Sangbong (Transit dari LINE 7 untuk ke jalur GYEONGCHUN) - turun di Gapyeong.

Gapyeong adalah stasiun terdekat dengan Nami.


Berada di dalam subway selama itu jujur aja sih nggak membosankan. Karena sinyal WiFi Olleh yang gue beli kenceng banget justru di dalam subway. Jadi sepanjang jalan gue masih bisa twitter-an dan ngalay di Path seperti kebanyakan orang yang jalan-jalan ke luar negeri. Sambil sesekali ngecek aplikasi Subway untuk memastikan kita sudah sampai mana dan apakah kita harus turun atau belum dan harus transit di bagian mana. Thanks to my ASUS Zenfone 6 yang nggak lemot sama sekali setelah setahun lebih pake, perjalanan pun jadi lancar.

Nggak, bagian itu tidak disponsori oleh Zenfone 6 sama sekali.

Banyak sekali hal yang gue lihat di subway dan sangat menarik perhatian sih sebenarnya. Kayak misalnya ternyata di Korea itu sama aja kayak di Indonesia, orang-orang akan duduk juga di kursi prioritas dan cuek aja kalo ada cewek berdiri. Hahahaha... Tapi ada juga sih yang dengan gentleman memberikan kursinya kepada cewek yang lagi berdiri kalau memang ada. Tapi pada dasarnya orang-orang Korea ini cuek banget sama sekitar. Di dalem subway hampir nggak ada yang nggak megang ponsel dan pasang earphone.

Ketika kita sampai di salah satu stasiun, gue ngeliat ada beberapa orang yang sedang wajib militer (dengan pakaian tentara lengkap) masuk ke subway. Mereka pun langsung disibukkan dengan ponsel masing-masing. Lah gue bingung, karena gue kira tentara tuh nggak boleh punya ponsel.
"Bukannya mereka nggak boleh ya punya hape?" kata gue ke mbak Swita yang berdiri di sebelah gue, sementara orang yang gue omongin persis sedang duduk di depan gue banget. WAKAKAKAKAKKA

"Boleh lah. Itu buktinya mereka bawa. Di drama juga bukannya emang bawa ya?"

"Oh gitu kirain bener-bener nggak boleh. Gue pikir wamil tuh bener-bener terasing banget dan kembali ke kehidupan zaman purba." kata gue lagi.
Lewat beberapa belas stasiun dan setelah lewat dari daerah pusat kota gue baru dapet duduk di subway. Dan kebetulan subway yang mengarah ke Nami itu nggak terlalu banyak isinya jadi emang banyak tempat kosong. Di salah satu stasiun yang rasanya kayak lagi di Stasiun Pasar Minggu, ada serombongan anak SMA yang kayaknya juga mau liburan gitu. Cowok-cowok dan mukanya nggak ada yang mirip kayak idol. Biasa aja kayak anak SMA kebanyakan.

"Nggak heran sih kenapa SM bisa nemuin orang-orang bermuka Suho, Baekhyun dan Sehun kalo misalnya anak-anak SMA-nya ternyata nggak jauh beda juga mukanya sama anak-anak SMA di Indonesia," gue bergumam sendiri. Ngeliatin anak-anak ini berasa kayak nonton drama beneran. Gue nguping obrolan mereka yang isinya caci maki semua. Kemudian istigfar dan fokus nunggu kereta menuju Gapyeong.

Ada satu kejadian lucu ketika gue ada di kereta transit terakhir menuju Gapyeong itu. Dan kejadian itu ternyata mengarah kepada kenyataan bahwa ternyata memang hari itu gue disadarkan untuk segera cari pasangan hidup.

Tarik nafas panjang....

Sebelum turun di stasiun transit terakhir, gue akhirnya dapet duduk di subway. Sialnya (HAHAHAHAHAHA), sebelah gue ini ada pasangan muda yang gue yakin kayaknya sih umur mereka nggak lebih tua dari gue. Dandanannya anak muda yang siap menembus udara dingin Korea Selatan banget. Pake baju rapi, rompi, coat gitu. Terus ceweknya pake rok pendek, stocking hitam dan pake coat juga. Awalnya gue nggak ngeh kalo mereka ada di sebelah gue karena fokus sama ponsel. Sampai akhirnya Mbak Swita sama Mbak Dinda ketawa-ketawa dari kursi di seberang gue.

Gue nengok ke mereka terus nanya, kenapa? Terus mereka ngelirik ke sebelah gue dan akhirnya gue sadar kalo ada pasangan ini lagi peluk-pelukan manja. Gue liatin aja, pelan-pelan ceweknya ngantuk terus tidur di pundak cowoknya (HALAH INI MAH UDAHLAH SENGAJA AJA PASTI KAN!).

Gila sih ini so awkward.

"Yaelah bro, kayak udah pasti nikah aja," kata gue agak keras dan diketawain sama yang lain.

Nggak lama setelah itu kita sampai dan siap-siap buat turun. Pas banget mau keluar dari pintu kereta, tiba-tiba gue ngeliat ada kartu yang ketinggalan di atas kursi kereta tempat si pasangan itu duduk tadi. Awalnya berniat mau cuek aja tapi nurani penuh keinginan untuk berbuat baik gue mengetuk dengan keras dan akhirnya gue balik ke kursi itu sebelum keluar dari kereta.

Itu punya si pasangan yang tadi. Gue lupa persisnya kartu itu apa. Entah kartu tanda pengenal atau tiket kereta atau apa gue lupa deh. Tapi yang jelas adegan itu dramatis banget (nggak). Dengan gerakan secepat kilat tapi anggap saja di-slow motion supay alebih dramatis, gue keluar dari pintu kereta dengan terburu-buru dan lari ngejer si pasangan itu yang masih aja pelukan sambil jalan.

SIKAMPRET.
"Sorry! Sorry!" gue teriak. Tapi mereka nggak ngeh. "JOGIYO!" gue teriak lagi tetep aja mereka nggak noleh. Mereka sudah mau turun tangga menuju jalan keluar stasiun itu sampai akhirnya gue berhasil mendekati mereka lagi. "JOGIYO!"
Mereka akhirnya noleh.
"You left this on the train," kata gue sambil nyodorin itu kartu yang ketinggalan. Gue nggak bisa bahasa Korea, cuma tau "JOGIYO!" doang. Kalo berubah dikit jadi "JOGIWA~~" bisa dance 'Wolf' di stasiun subway siapa tahu dikasih receh buat ongkos balik.
"Oh! Kamsahamnida!" kata si ceweknya sambil nerima kartu itu dan membungkuk beberapa kali. Gue balas membungkuk, dia membungkuk lagi, gue bales lagi, dia membungkuk lagi, begitu terus sampai Ahmad Dhani jadi Presiden Amerika dan Donald Trump jadi pembantu di Keraton Solo.

"Have a nice day!" kata gue terus balik ke temen-temen yang lain. Yang malah ngetawain. "Makanya dek, jangan terlalu saling mencintai gitulah sampai lupa segalanya."
Meringis sendiri.


Jelang tengah hari kita sampai di Gapyeong. Setelah melipir sebentar ke toilet karena dinginnya udara Korea yang bikin beser, kamipun keluar dari stasiun dan merinding sama angin sepoi-sepoi dingin yang sudah menyambut. Di sanalah kemudian gue bingung, kita mending naik taksi atau naik bus aja?

Kalau naik bus yang Gapyeong tur kita cuma bayar KWR 6,000 dan itu bisa dipake buat naik turun naik turun ke mana aja di kawasan Gapyeong kayak Nami, Petit France, sampai Morning Calm. Kalau naik taksi, kita cuma bayar sekitar KRW 3,000 per taksi cuma sampe Nami. Mengingat kita berlima, dan kayaknya naik taksi lebih murah, akhirnya kita pilih naik taksi aja.

Nggak ada yang bisa ngomong Korea. Kita cuma nyetop taksi dan bilang kalau kita mau ke Nami. Serunya lagi sih sopir taksi di kawasan ini sudah fasih dengan turis (walaupun bahasa Inggris-nya seadanya aja). Dan mereka nggak mencoba untuk nambah-nambah harga. Jadi pake argo dan argonya bener-bener pas banget KRW 3,000 sampe pelabuhan menuju Nami. DAN NGEBUTNYA MASHA ALLAH! Itu cuma 10 menit dari stasiun ke pelabuhan yang ke Nami.

Oh iya, sebelum naik taksi, kita juga sempat masuk ke Tourist Information Center yang ada di depan kanan pintu keluar stasiun Gapyeong. Di sana banyak brosur-brosur yang berguna banget buat yang ingin menghabiskan waktu lama di kawasan Gapyeong. Saran gue buat yang nggak pernah ke Korea dan akhirnya memutuskan ke Nami sendiri, harus mampir sih.

Agak deg-degan sebenarnya mau ke Nami ini. Gue sendiri sih sudah yakin kalau gue mungkin nggak akan bisa mengeksplor semua pulaunya dalam waktu beberapa jam saja. Terlebih kalau misalnya rame-rame. Tapi yang penting jalan di antara pepohonan dan menyambangi patung 'Winter Sonata' tercapai, yaudah, mission accomplished.


Sesampainya di kawasan parkir pelabuhan Nami, semua embel-embel 'Winter Sonata' udah berasa. Mulai dari tempat makan sampai tempat nongkrong kayaknya semua melekatkan 'Winter Sonata' di sana. Drama itu sebegitu ikonik sampai-sampai setelah berpuluh tahun berlalu tetap dikenang. Walaupun gue tetap fokusnya ke yang lain sih: poster iklan Soju-nya IU yang nempel di salah satu kios kelontong.

Sayang, alkohol itu haram.


Ferry menuju Nami ada berangkat dari pelabuhan setiap 15 sampai 20 menit sekali. Jangan khawatir nggak kebagian sebenarnya, karena ferry-nya cukup besar untuk menampung ratusan orang. Lagipula kita hanya mengarungi sungai, nggak akan ada ombak berarti kecuali anginnya emang kenceng banget (YA TAPI ANGINNYA EMANG KENCENG SIH CUMA GAK BIKIN OMBAK AJA TAPI BIKIN BESER KARENA DINGIN). Dan perjalanan dari pelabuhan itupun cuma beberapa menit aja. Nggak sampe yang bisa tidur siang dulu.

Normalnya harga tiket ke Nami adalah KRW 10,000. Tapi beruntung hari itu ada diskon khusus dan kita dapat harga KRW 8,000. Gue nggak tahu pasti diskon apa, tapi di tiketnya tercetak KRW 8,000. Entah apakah tiket spesial atau emang ternyata harganya segituan, nggak ngerti juga sih, yaudah yang penting murah. KRW 8,000 itu digunakan untuk nyebrang ke Nami dan kembali dari Nami.

Masuk ke ferry gue berusaha untuk mencari tempat di moncong kapal. Tidak sampai menirukan adegan Titanic karena rame banget. Malahan dapatnya di belakang "knalpot" yang bau banget. Akhirnya menyingkir sedikit supaya nggak mabok sama bau asep. Karena gue nggak ngerokok jadi agak susah buat buat untuk tahan di dekat sumber asap. Gue jadi inget beberapa kali Mas Aryo sempat nge-tease soal apakah gue masih tetap mau tidak merokok dan tidak minum alkohol selama di Korea. Karena Soju kan efektif banget buat menghangatkan badan tuh.

"Ya nanti selimutan pake sarung aja." kata gue sambil ketawa.


Suara ferry-nya cukup bising. Belum lagi suara orang-orang yang naik campur-campur bahasanya. Belum lagi bau "knalpot" ferry-nya yang mengganggu. Belum lagi kentut orang-orang dan keringat bercampur di sana. Hampir aja muntah tapi untung bisa ditelen lagi. Dan nggak beberapa setelah itu kitapun mendarat di Pulau Nami.

Harusnya adegan gue menginjakkan kaki di tanah Nami Island itu bisa jadi lebih dramatis sih. At least ada kamera dari 12 angle fokus ke bagian kaki dan berjalan keluar diiringi musik menyenangkan yang menyentuh hati. Tapi boro-boro mau dramatis. Baru sebelah kaki injek tanah Nami aja di belakang udah dorong-dorongan keluar ferry.

"WAH WAH WAH ANJIR INI MAU DEMONSTRASI APA GIMANA WOY GAK BISA PADA SANTAI DIKIT APA INI WAH WAH WAH DIA PIKIR INI KONSER EXO!"

SEBEL! HARUSNYA KAN ITU ADEGAN GUE TURUN KAPAL KAYAK FILM INDIA GITU!! PAS MANISHA KOIRALA TURUN KAPAL PESIAR DI MUMBAY DAN KETEMU AAMIR KHAN!!

Gue Manisha.

#terbang


Walaupun secara keseluruhan kunjungan gue ke Korea Selatan tahun lalu itu timing-nya pas karena gue sekaligus bisa merasakan suasana musim gugur dan musim dingin, tapi kunjungan ke Nami kayaknya waktunya nggak bagus. Karena musim gugur sudah mau berakhir dan musim dingin belum mencapai puncaknya, jadi kebanyakan pohon yang ada di sana rontoknya udah hampir abis dan saljunya pun nggak nampak.

Padahal, kalau menurut foto-foto yang beredar di internet, ketika musim gugurnya Nami akan warna-warni. Mulai dari hijau, kuning, oranye, coklat, semua warna serasi dan memberikan panorama yang oke banget. Foto-foto yang ada di google pun begitu. Tapi pas gue dateng, sebagian besar pohon sudah gundul dan kecoklatan. Nggak ada yang kayak di teaser foto Kyuhyun 'At Gwanghwamun'. Sangat disayangkan. Well.... yah.... namanya juga perjalanan tak terencana. Hahahahaha It's free anyway, nggak perlu komplain.

Setelah turun dari ferry, gue disambut oleh sebuah patung berbentuk abstrak yang mengeluarkan muntahan air. Di belakangnya ada patung cewek di pinggiran sungai sedang bermain air. Namanya apa ya, The Lady of Nami apa deh gitu. Lupa juga. Sepertinya sih dari tokoh 'Winter Sonata'. Tapi gue nggak terlalu fokus ke sana karena lebih nggak sabar untuk menjelajah ke pulaunya.

Walaupun suasana autumn-nya udah mau abis, Nami tetap membuat gue terpukau dengan deretan pepohonan yang nggak jauh dari pintu masuk. This is my first time and everything is always amazing for the first time. Gue, mbak Dinda, mbak Swita, mbak Dian dan mas Aryo menghabiskan hampir dua puluh menit cuma buat foto-foto di satu lokasi itu doang deket pintu masuk. Nggak heran kalau pas kita berpindah ke lokasi lain di Nami, hari sudah semakin siang dan perut pun sudah semakin lapar. Alhasil kitapun jalan-jalan sekalian cari makan.


Oh iya, kebetulan sebelum ke Korea, gue sempat dikasih Coca-cola edisi customized name sama seseorang baik hati bernama Karina. Ada beberapa kaleng yang dikasih tapi yang gue bawa ke Korea cuma Anonymous sama Suho doang. Yang pertama gue bawa karena di hari pertama gue di Seoul mereka perform di Solo dan gue nggak bisa nonton (fans gagal nih gimana dong). It was like LDR support event I guess. Hahaha... Dan yang kedua karena bias. Sebenarnya ada Baekhyun dan Jongin. Tapi yang Baekhyun gue simpen di laci kantor dan nggak mungkin bawa minuman instan banyak-banyak karena berat. Males. Tadinya mau minta bikin IU tapi nggak sempat, so yeah, yang ada aja yang di bawa.

Kaleng Coca-cola ini sempat jadi perhatian mas Aryo juga yang sejak kemaren kayaknya amazed banget sama bagaimana gue begitu menyukai hal-hal berbau Korea ini.
"Dan lo bawa ini dari Indonesia?"

"Iya mas, hahaha,"

"Itu siapa?"

"Member EXO mas, leader-nya. Kebetulan di grup itu gue paling ngefans sama dia,"

"Wah gila lo emang udah prepare banget ya? Macem udah militan? Gue wawancara lo aja deh gimana? Lumayan buat liputan Kompas."
Susah nih emang kalo jalan sama wartawan senior. Nggak kok, gue nggak jadi diwawancara. Tapi nggak tahu deh apakah berita Mas Aryo sudah naik atau belum yang soal Nami. Hihihih... But anyway, gue sendiri adalah tipikal orang yang sangat senang kalau bisa berguna untuk orang lain, hahahahaa. Walaupun gue nggak pernah ke Nami, tapi gue tahu ada apa aja di Nami dan akhirnya jadi tour guide buat mereka di sana.
"Pokoknya yang ikonik di sini selain pohon-pohonnya itu ya patung 'Winter Sonata'-nya mas. Jadi jangan sampai kita pulang nggak sempat ke sana ya!" kata gue.
Sekitar jam 12, suasana di Nami dinginnya minta ampun. Syal dan topi bulu-bulu yang gue beli di Myeongdong semalam sebelumnya itu benar-benar membantu. Yang bikin ribet sebenarnya adalah sarung tangan. Karena lo butuh sesuatu yang tebal untuk nutupin tangan lo, tapi lo juga butuh megang handphone dan kamera buat motret. Dan sarung tangan nggak membantu sama sekali untuk kegiatan-kegiatan itu. Alhasil harus buka, pasang, buka, pasang, buka, pasang.

Sebenarnya di Seoul banyak dijual sarung tangan yang bisa nembus touchscreen handphone. Tapi karena gue udah bawa dari rumah, jadi nggak perlulah beli itu. Perasaan ketika memegang handphone dengan tangan berlapis dengan tangan telanjang itu tetap aja beda. Jadi ya menurut gue yang agak ganggu dari liburan di udara dingin itu kayaknya salah satunya ini. Selain ya badan lo pegel sama coat yang berat, baju berlapis, dan berusaha melawan dinginnya angin Seoul yang seb*ngs*t itu.

Kita berhenti cukup lama di monumen Jenderal Nami dan membaca dengan saksama puisi yang terpahat di batu yang ada di sana. Sesekali foto-foto. Sebelum akhirnya melanjutkan lagi perjalanan ke pusat pulaunya dengan menyusuri jalan setapak di antara pohon-pohon tinggi yang kali ini berhiaskan balon-balon putih yang menggantung. Gue rasa kalau malam hari di sini pasti bagus banget karena itu lampu balon pasti nyala. Dan di situlah gue mengerti kenapa temen gue menyarankan untuk menghabiskan waktu seharian aja di Nami, nggak setengah hari, apalagi cuma sejam dua jam.


Nami adalah salah satu lokasi wisata yang paling ramah muslim di Korea Selatan. Beberapa lokasi wisata di kawasan Gapyeong ini memang ramah muslim. Dalam artian lo bisa dengan gampang nemu tempat makan halal dan mushola misalnya. Di Nami juga begitu. Ada satu tempat sholat yang lokasinya nggak jauh dari tempat makan. Jadi, ya nggak khawatir. Karena memang banyak juga wisatawan berhijab yang datang hari itu. Ada beberapa juga orang Indonesia yang kita temui walaupun nggak ngobrol, tapi tahu mereka karena nguping obrolan mereka. Di sepanjang jalan yang kita telusuri itu misalnya, ada banyak sekali bendera dari berbagai negara. Karena konsep Nami sendiri dibuat seperti negara republik yang penduduknya adalah ya para turis ini. Mereka berusaha membuat kita merasa seperti di rumah sendiri. Begitu sepertinya.

Sepanjang perjalanan menuju pusat Nami, ada banyak hal yang bisa dilihat. Pusat informasi yang bentuknya lucu, gubuk-gubuk yang keliatannya reyot tapi menyenangkan sekali untuk difoto, dan pedagang bakpao--atau apa sih gue lupa pokoknya roti hangat gitu-- yang bisa banget buat ganjel perut (harganya KRW 1,000) dan menghilangkan dingin sementara nemu tempat makan besar dan mushola.

Walaupun ada banyak petunjuk jalan di Nami yang bisa lo jadikan pedoman, tapi sebaiknya memang bawa peta sendiri yang bisa didapatkan di pusat-pusat informasi. Gue awalnya juga nyari mushola berpedoman sama petunjuk jalan ini, tapi bingung karena tulisannya "terlalu bagus". Akhirnya masuk ke pusat informasi dan nanya sama guide-nya di sana. Eh tapi tetep aja bingung.
"You go straight, then in left you'll find building, go to second floor," katanya. Well, oke, sekalian jalan aja deh yuk.
Sesekali kita keluar dari jalan setapak yang berhiaskan lampion-lampion itu untuk menyelinap ke jalanan-jalanan yang lebih kecil di Nami. Guguran-guguran daun di tanah ngeluarin suara kresek-kresek ketika diinjak bikin gue pengen teriak "WHOAAA!!! WHOOAAA!!!" setiap kali melangkah.


Bangunan-bangunan kayu di sekitar sana bener-bener Instagram-worthy banget. Apa sih yang lebih penting dari jalan-jalan selain buat hiasan Instagram hahahaha. Suasananya juga bener-bener nyaman like I will never going home and will stay here for another 2 days deh kayaknya. Nyelinap sedikit ke daerah pinggiran, gue sampai di tepi sungai dan nggak tahan lama-lama di situ karena dingin banget. SEBEL!

Gue jadi inget sama 'We Got Married - Global Edition' sebenarnya ketika gue ke Nami itu. Alih-alih sama 'Winter Sonata'. Gue nggak nonton drama itu omong-omong. Tapi gue tahu legendanya. Nah, ketika gue nonton WGM gue inget ada beberapa lokasi pertemuan pertama Heechul dan Puff Kuo di Nami. Jadi hari itu gue juga sekalian kayak refresh lagi, "Oh, ini yang mereka ketemu pertama kali. Oh ini yang itu, oh ini yang ini," walaupun itu juga sebenarnya monolog karena nggak ada yang ngerti. Yang lain kayaknya nggak nonton WGM.
Itu pasangan Jepang-nya lagi foto hahahahahaha
Masih di jalan setapak yang ada lampionnya, ada beberapa jalan kecil lain yang akan membawa kita ke spot lain di Nami. Ya contohnya lokasi First Kiss yang namanya diambil dari adegan Bae Yong Jun sama Choi Ji Woo di drama. Jalannya dikasih penanda dari boneka salju beton warna putih. Ada jembatan juga di belakang sana yang berhiaskan botol-botol soju warna hijau yang kemudian menginspirasi gue kalau suatu saat gue punya rumah, itu botol-botol kecap mau gue tempel aja di dinding supaya inget terus sama Nami.

Lo akan menemukan banyak banget orang di sepanjang jalan dengan berbagai perilaku (halah apasih). Kayak waktu gue mampir sebentar di patung boneka salju di sana misalnya, ada beberapa pasangan kakek nenek Tionghoa yang saling ceng-cengin buat foto mesra di kursi yang ada boneka salju kecil di mejanya. Ketika gue jalan di bawah lampion ada dua pasangan dari Jepang yang kayaknya udah niat banget buat ke Nami sebagai perjalanan penuh cinta kasih mereka. Mereka bawa tripod dan kameranya juga oke. Setiap ada kesempatan mereka berdiriin tripod, atur timer kamera, dan berpose berdua kayak Nami ini punya nenek moyang mereka.

"YAELAH BRO KALO JUGA JADI NIKAH UDAHLAH GAUSAH LEBAY LAH." kata seseorang bertopi bulu-bulu coklat yang iri karena belum pernah punya pacar. Maklum, pacaran itu mendekatkan diri kepada zina kalo kata orang soleh.



Karena sudah lewat tengah hari, dan akhirnya kita sampai di tengah-tengah pulau (gue rasa sih karena di situ yang paling rame dan ada banyak bangunan), kita semua mutusin buat istirahat sejenak dan cari makan. Sekaligus juga solat zuhur. Gue akhirnya menemukan bangunan lantai dua yang dimaksud sama mbak-mbak guide di tourist information center tadi dan langsung ke atas. Walaupun di atas juga tetep aja kebingungan harus belok mana belok mana. Berhubung gue anaknya baperan, jadi gue ikutin perasaan aja, dan nggak sia-sia, akhirnya nemu mushola. Ternyata baper pun berguna ya dalam kondisi demikian.



Musholanya ternyata jauh lebih bagus daripada bayangan gue. Nggak luas sih, lebih luas kamar kosan gue. Tapi setidaknya nggak bau dan sesuram mushola mall yang lokasinya di basement. Mushola di Nami bersih dan nyaman. Ruangan cowok dan ceweknya juga terpisah. Yang lebih asyiknya lagi sih sebenarnya karena merasa aman aja gitu. Nggak tahu kenapa kalo mau ninggalin barang di belakang pas solat kayaknya nggak akan ilang. Walaupun was-was juga sebenarnya. Dan yang paling membuat tempat itu nyaman sebenarnya karena hangat sih.

Nami hari itu sekitar 7 atau 8 derajat celcius, omong-omong.



Ruangan tempat sholat itu ternyata ada di dalam sebuah art gallery (ketika gue nulis ini, gue ingat sama salah satu temen gue yang sangat menyukai art dan gue langsung ketawa sendiri). Ada banyak ruangan yang memamerkan banyak karya seni yang gue sendiri sebenarnya nggak terlalu ngerti. Karena gue nggak ngerti, jadi gue pun hanya bisa terkagum-kagum aja sih melihatnya. Sesekali juga foto-foto alay lah. Kebetulan mbak Dinda juga ada di sana jadi bolehlah minta foto.

Di bagian lain kayak semacem playground buat anak-anak gitu tapi di sana ada menara dari buku-buku yang disusun tinggi banget. Awalnya gue nggak ngeh kalau itu buku karena gue buru-buru nyari mushola-nya. Tapi pas udah kumpul di bawah dan siap-siap buat makan, gue dikasih tahu kalau itu semua buku. Akhirnya gue naik lagi dan foto sekitar sana.



Di atas playground tempat anak-anak kecil itu juga banyak banget buku-buku yang dipajang. Beberapa juga digantung serupa burung. Setelah puas, kamipun makan siang dengan nyaman. Dan ini kayaknya sih makanan proper pertama dalam beberapa hari terakhir. Akhirnya bisa makan nasi dan halal seharga KRW 10,000.

Makanan dengan harga setara Rp 120 ribu itu habis dengan sangat cepat sekali. Tapi perut masih lapar. Ya biasanya gue makan Rp 8 ribu di warteg dan itu pun udah kenyang banget karena nasinya porsi kuli. Sementara di restauran di Nami, bibimbab seharga KRW 10,000 itu mungkin cuma betah sampai dada doang setelah ditelen. Belum sampai usus dua belas jari udah laper lagi.

Baru berasa setelah duduk lama di sana ternyata kaki nyut-nyutan karena jalan setengah hari ini. Kita duduk cukup lama di restauran itu juga karena ada Wi-Fi. Karena ternyata Olleh nggak ada jaringan di situ. Berhubung Wi-Fi di restauran gratis, yaudah, sekitar dua puluh menit kali kita di sana untuk internetan dulu sebelum jalan lagi. Dan di sanalah waktunya share segala macam mulai dari Instagram, Facebook, Twitter dan yang terpenting sih check in di Path. Biar #kekinian.

Karena lokasi restauran itu udah di tengah-tengah pulau, nggak jauh lagi kita akan sampai ke patung 'Winter Sonata' yang terkenal banget itu. Ada beberapa jalan setapak lain yang nggak kalah bagusnya buat foto-foto juga di sana karena pohon-pohonnya juga indah banget kalau dilihat. Setiap kali jalan gue pasti akan ada momen berhenti sebentar untuk sekedar merekam semua yang ada di sekeliling gue di kepala. Karena motret dengan kamera kadang-kadang nggak cukup.

Dan ketika gue sudah berdiri diam dan memerhatikan sekitar, berbagai bentuk fiksi sudah tercipta di kepala. Hihihihi....

Bahkan pohon-pohon di Nami aja bisa banget bikin baper.

Foto gaya film India ya hmmm....

Patung Bae Yong Jun sama Choi Ji Woo itu ramenya minta ampun. Nggak heran sih. Semua orang pasti pengen ke sana. Tapi karena sudah di Nami, nggak boleh kalah sama orang-orang dong. Kalau mereka bisa foto di situ ya berarti kita juga harus bisa. DAN HARUS SEMPAT. Walaupun antrenya butuh kesabaran ekstra. Yang namanya patung ikonik pasti sejepret dua jepret nggak cukup. Seorang aja bisa empat sampai lima kali foto dengan pose yang berbeda.

"Ya mbak pokoknya aku juga mau foto dan nggak mau posenya biasa aja," kata gue ke mbak Dinda. Dan jadilah adegan itu membuat beberapa orang yang antre di sana tertawa-tawa karena gue. Alhamdulillah gue sih seneng aja bikin orang ketawa.
A photo posted by RON (@ronzstagram) on


Setelah sesi foto mbak Dinda kelar, eh ini ketemu lagi kita sama pasangan Jepang yang tadi di jalan setapak foto berdua berasa Nami punya nenek moyangnya. Mereka mau foto di patung itu. Cowoknya udah yang paling ribet banget deh! Kayaknya mereka sendiri ngerasa nggak enak sama orang-orang yang udah antre karena ini pasti sesi foto mereka akan makan waktu lama. Pertama sih cowoknya motret ceweknya beberapa kali. Terus pas mereka mau foto bareng, si cowok kayak kagok gitu mau masang kamera ke tripod. Di sebelah tripod ada gue berdiri ngeliatin. Ujug-ujug ini cowok ngasih kamera ke gue.

"HAH APA NIH APA?!!" kata gue.

Terus cowoknya buru-buru samperin si cewek yang udah berdiri di depan patung. Langsung begaya.

"LOH?! HAHAHAHAHAH KAMPRET!"

Dia minta difotoin tapi pake bahasa isyarat. YA GIMANA SIH NGOMONG AJA GITU BAIK-BAIK KAN BISA! SIKAMPRET!

Gue mau ketawa juga tapi nggak enak. Akhirnya yaudah...

"Itung sampe tiga ya. Eh lupa nggak ngerti ya bahasa Indonesia. Oke deh, on the count of three, one! two! three!" kata gue akhirnya. Tapi nggak cuma sekali aja, dia minta berkali-kali. YAOKELAH ASTAGFIRULLAH NER BENER NI ORANG JEPANG. Setelah puas dia tatap-tatapan sama pacarnya, dia balik lagi buat ambil kamera dan beresin tripod terus ngebungkuk beberapa kali sambil bisa makasih.

"Ya kalo nikah kabar-kabarin deh ya. Kalo gak jadi juga kabarin," kata gue sambil berlalu sambil mikir gimana caranya bisa nemu calon istri setelah ini.

Di sekitar patung 'Winter Sonata' ada beberapa objek foto yang juga nggak kalah bagusnya. Kayak danau-danau buatan kecil yang airnya cetek dengan bayangan pepohonan coklat yang jatuh ke atas airnya. Ada rumah tradisional dengan gentong-gentong berbagai ukuran yang berisi kimchi. Ada kios-kios kopi lucu yang sayangnya nggak tertarik buat gue masukin demi menahan budget mengingat ini baru hari ketiga gue di Korea dan masih ada sekitar empat hari tersisa dan gue nggak mau mati kelaparan dan kedinginan di Seoul. Ada juga patung ibu-ibu bertetek besar yang nggak jauh dari lokasi itu, termasuk sepeda-sepeda yang dipaku di kayu sebagai penanda bahwa di lokasi ini Bae Yong Jun dan Choi Ji Woo sepedaan di dramanya.

A photo posted by RON (@ronzstagram) on


Harus gue bilang kalau nggak ada spot di Nami yang jelek buat foto. At least, kalaupun itu jelek, tapi lo akan tetap dapet feel kalau itu ada di Nami. Kalau lo suka musim gugur kayak gue (itulah kenapa dulu nggak suka Kyuhyun tapi pas dia rilis 'At Gwanghwamun' dengan konsep autumn langsung merasa terinjak-injak harga dirinya) lo pasti akan menikmati Nami to the fullest. Walaupun sayang banget sih gue ke sininya pas autumn udah mau kelar. Mungkin kalau pas di puncak-puncaknya bisa lihat banget warna-warni pohon yang berguguran itu.

Gue kagum bagaimana Korea Selatan bisa membuat industri dramanya menjadi sebuah hal yang sangat ikonik sehingga menjadikan 'Winter Sonata' sebagai ikon dari Nami. 'Winter Sonata' juga yang akhirnya membuat Nami menjadi tempat yang romantis, padahal kalau dilihat dari sejarah pulau ini, nggak ada kesan romantis-romantisnya.



Kekaguman gue sama Korea Selatan itu kadang bikin gue kesel juga. Kenapa industri sinetron kita nggak pernah bisa membuat sesuatu yang sangat ikonik seperti Nami sementara kita punya banyak sekali pulau eksotis yang bahkan Korea Selatan tuh nggak punya?

Perjalanan ke Nami memberikan kesan yang cukup mendalam. Tidak hanya karena pada akhirnya gue bisa sampai di tempat yang dibicarakan semua orang di internet ini, tapi juga karena berhasil ke sini cuma bermodalkan peta doang. Siapa yang butuh paket tur? Hahaha... Korea tuh segampang itu. Bahkan untuk ukuran gue yang sama sekali nggak bisa bahasa Korea pun bisa survive pada akhirnya sampai juga ke Nami. Yang penting berani malu aja sebenarnya.

Dan Nami pun kembali mengingatkan gue bahwa menjadi single bukanlah sebuah alasan untuk tidak bersenang-senang. Hihihi... Walaupun timing kedatangannya nggak pas karena efek autumn yang udah kelar dan efek winter yang belom keliatan, walaupun gue jalannya juga sendiri nggak sama pasangan, walaupun gue hanya jadi saksi beberapa orang yang sedang dimabuk asmara dan bahkan jadi tukang foto dadakan buat pasangan yang nggak tau bakalan nikah atau nggak (bitter), tapi semua itu nggak menutupi fakta bahwa Nami itu romantis. Even for a single.



Aku akan kembali lagi ke Nami. Janji!


Share:

0 komentar