Kalau gue punya banyak banget uang, semisal baru menang lotere (meski haram yah), mungkin kebahagiaan gue akan bertambah (meski fana ya pake uang haram) ketika gue berkunjung ke SMTOWN COEX Artium ini. Ya gimana nggak? Semua yang lo cari ada di sini. Apalagi kalau lo bertahun-tahun menghabiskan waktu jadi SM stan. Ini sih #surgadunia banget. Satu tujuan untuk berbagai hasrat spazzing lo.
Kalau mood lagi pengen belanja bisa berboros-boros di SUM Store demi sekedar kaca mata yang dipromosikan oleh EXO. Atau sekedar punya piercing kayak Taemin. Atau melengkapi koleksi CD KPop artis SM Entertainment yang belum pernah lo punya. Dengan harga yang bersaing (dan pride yang lebih karena beli di SUM Store langsung) CD-CD yang ada di rak di SUM Store itu minta banget dimiliki. Ngeliat EXO 1st Box sama EXO 2nd Box bener-bener ngiler. Tapi pas liat harganya langsung telen lagi ilernya. Kecuali I just hit the Lotto mungkin kubisa membeli semua benda-benda fana penghias lemari itu.
Dengan budget yang banyak lo juga tentu saja bisa beli cemilan-cemilan mahal bergambar artis SM di sini. Atau sekedar permen berlogo EXO yang kalau kelamaan diemut bisa bikin langit-langit mulut dan lidah iritasi karena mendadak jadi tajam-tajam. Udah mahal, bikin sakit pula. Tapi demi yang namanya gengsi kadang-kadang sih bodo amat. Yang penting udah pernah beli dan makan permen yang ada logo EXO-nya. Sakit dikit gapapa deh.
Dan kalau punya waktu luang yang banyak sih gue masih tetap ingin duduk-duduk ngopi di LIVErary Café. Walaupun bukan tempat yang ideal untuk itu (yakin), tapi pengen sekali dalam seumur hidup melakukan itu. Bikin satu tulisan blog di sana kayaknya akan sangat menyenangkan. Ditemani dengan lagu-lagu yang sudah familiar, reaksi-reaksi fans yang juga sudah familiar (dan berisik), serta suasana lampu temaram dan ruangan yang hangat itu kayaknya akan bisa memberikan banyak inspirasi untuk menulis. Someday, I will!
Gue sebenarnya tertarik masuk SMTOWN Studio dan coba didandanin kayak WinWin dengan rambut gimbalnya di ‘Limitless’. Tapi gue bingung bagaimana menyikapi kumis dan jenggot gue. Facial hair ini sebenarnya gatel pengen gue cukur dan beberapa hari terakhir ini gue kepikiran untuk cukur kumis dan jenggot. Tapi gue masih nggak pede. That images of me smiling without moustache was too disgusting to think about. Walaupun… penasaran juga apakah gue masih terlihat se-disgusting itu apa nggak ya. Tapi takut nyesel. Karena tumbuhnya bisa agak lama dan gue nggak akan berani live Gloomy Monday tanpa kumis.
Tapi kalau ada uang sih sebenarnya masalah kumis nggak gimana-gimana ya. Pengen juga bisa punya DVD rekaman nyanyi dan dance dari SMTOWN Studio kan sebagai souvenir yang akan gue pamerkan dengan bangga ke anak cucu meski rasanya pasti akan sia-sia karena gue yakin generasi mereka nggak akan se-freak itu soal KPop di masa depan. Mungkin justru di masa depan Keroncong dan musik-musik daerah yang akan menguasai dunia. Siapa yang tahu? Cuma ya tetep aja kalaupun anak cucu nggak tertarik mendengarkan cerita tentang (kalau) gue pernah rekaman di SMTOWN Studio, DVD dan album foto itu toh tetap bisa jadi hiasan dinding yang lucu di pojokan kamar.
With no budget at all sebenarnya nggak ada juga ruginya masuk ke SMTOWN COEX Artium. Kalau lo tipe fans kere kayak gue, yang cuma ngeliat tembok ditempelin banner EXO aja sudah bahagia, then this is your kind of heaven guys. Lo masuk aja ke setiap lantai dan take a picture with every walls in there. Karena gambarnya beda-beda dan lo pasti akan menemukan kebahagiaan alay dengan foto sama dinding di sini. Tapi kalau emang niat lo untuk ngalay doang, pastikan datang dengan teman. Supaya foto lo nggak cuma sekedar selfie. Karena ada banyak dinding yang kalau di foto harus dari jarak jauh supaya semua gambarnya keliatan hihihi….
Dan melanjutkan perjalanan kere gue di SMTOWN COEX Artium, sampailah gue dan Anis di lantai paling atas di gedung itu: SMTOWN Theatre.
Kalau lo seorang penulis pemula dan pemalas seperti gue, lo pasti akan sering merasakan kondisi ketika apa yang ada di kepala lo sama sekali nggak bisa tertulis di halaman pertama Microsoft Word, yang sudah lo buka selama berjam-jam sejak lo memutuskan dan meneguhkan iman untuk menulis setidaknya satu halaman per hari. Ya. Keinginan untuk rajin nge-blog atau sekedar nulis secara random apapun yang ada di kepala lo dalam satu hari itu selalu muncul. Tapi selalu jadi hanya sekedar wacana. Sesuatu terkadang lebih mudah dibayangkan. Digambarkan dalam imajinasi. Tidak disalurkan dalam bentuk tulisan. Tapi sebenarnya ini nggak mutlak. Hanya karena lo pemalas dan banyak alasan aja jadilah itu semua hanya wacana.
Semua penulis pasti pernah berada dalam kondisi yang disebut writers block. Bahkan yang sudah bertahun-tahun jadi penulis sekalipun. Bahkan mereka yang sudah merilis puluhan buku juga pasti merasakan hal ini. Ya gimana sama orang kayak gue yang baru punya dua buku itupun: (1) hanya satu cerita di buku kumpulan anekdot, (2) novel fanfiction cupu yang gue sendiri malu menjelaskannya. Kondisi ini sangat menyebalkan. Apalagi ketika lo sedang berusaha untuk membuat deadline untuk blog lo sendiri dan lo sendiri juga yang melanggar deadline itu.
Ide bisa muncul kapan aja. Tapi nggak bisa diterjemahkan dalam bentuk tulisan kapan aja. Kadang ide ini bikin lo jadi manja. Bikin gue jadi manja. Seriusan. Seringkali setiap kali akan memulai menulis gue selalu beralasan, “Gue butuh kopi.” Dan gue pergi ke dapur kecil di sudut kamar gue untuk masak air dan bikin kopi kapal api item yang disaring ampasnya terus dikasih gula dan es batu, amerikano ala-ala. Setelah jadi, kembali ke meja, dan kopi itu habis tanpa hasil satu halaman Microsoft Word pun. Hidup memang selucu itu.
Hai Ron.
Selamat ulang tahun.
Sudah
berapa usiamu saat ini? 26 tahun? Wah sudah cukup tua untuk berumah
tangga ya. Tapi apakah kamu pernah terpikir untuk segera berumah tangga?
Setahuku sih belum. Karena yang ada di pikiranmu saat ini sama sekali
bukan topik tentang itu. Dan aku juga nggak yakin kalau ada topik
tentang itu terselip di sederet keinginan-keinginan yang ingin kamu
lakukan dalam beberapa tahun ke depan. Tapi nggak masalah kok, Ron. Itu
pilihanmu. Jangan dengarkan kata orang-orang yang terlalu banyak
bertanya soal kapan kamu akan menikah. Suruh mereka mengurusi hidup
mereka sendiri saja daripada mengurusi orang lain. Toh kalau kamu segera
menikah mereka juga nggak akan repot-repot ngurusin katering atau
keinginanmu untuk membuat resepsi berkonsep “KPop Fantasy” kok. Kamu
juga yang akan repot sendiri bukan mereka. Sebaiknya fokus ke hal-hal
lain yang membuatmu bahagia saja. Oh ya, itu lebih penting. Dan ya, kamu
butuh bahagia.
Aku
tahu beberapa tahun terakhir hidupmu penuh dengan drama. Well,
sebenarnya sejak kau masih duduk di bangku SD pun hidupmu sudah penuh
dengan drama. Dijauhi teman-teman karena kamu aneh. Alien. Dan kamu
tidak tahu harus bagaimana menghadapi mereka. Tidak sampai sana, di SMP
dan SMA pun juga demikian. Dan yah… sesekali juga mendapat lirikan
judgemental dari teman kuliah. Tapi aku bangga sama kamu, Ron. Karena
semua itu membuatmu jauh lebih kuat. Lebih cuek. Lebih bodo amat sama
pendapat orang lain. Aku suka prinsipmu beberapa tahun terakhir ini:
kalau orang lain tidak mau menerimaku apa adanya, kenapa aku harus
memaksa mereka? Itu urusan mereka. Aku akan tetap jadi diriku sendiri.
Semoga memasuki usiamu yang ke-26 ini kamu masih tetap dengan prinsip itu.
Aku
juga tahu ada banyak sekali pilihan-pilihan yang salah yang kamu ambil
dalam hidupmu. Dan kita sama-sama tahu apa yang terakhir. Tapi aku
berharap itu semua membuatmu semakin kuat. Semakin tahu bahwa hidup
memang tidak mudah. Tidak pernah mudah. Semua keputusan-keputusan salah
yang kamu ambil itu bukanlah sesuatu yang sekedar lewat. Tapi percaya
deh, Ron, semua itu pasti akan ada hikmahnya. Mungkin tidak sekarang.
Mungkin nanti. Mungkin tidak langsung kamu lihat, tapi bertahap. Mungkin
tidak langsung kamu temukan, tapi siapa tahu ada orang lain yang
menunjukkan. Jadi jangan pernah menyerah dan putus asa. Jangan pernah
merasa bahwa dunia berakhir hanya karena kamu salah mengambil jalan.
Semua itu adalah pelajaran yang akan membuatmu jadi semakin dewasa dan wise tentu saja.
Belakangan ini gue punya kebiasaan yang gue rasa baik untuk orang-orang yang ingatannya cuma sebesar sendok teh macam gue. Gue adalah manusia paling pelupa yang mungkin pernah Allah SWT ciptakan di keluarga. Bukan karena gue ignorant, tapi mungkin lebih karena gue kepedean. Gue selalu malas mencatat dan mengandalkan ingatan gue dalam banyak hal. Terlebih untuk hal-hal yang berkaitan dengan “menceritakan kembali” gue biasanya malas untuk nyatet. Tapi malas ini berujung pahit. Apalagi kalau udah lupa.
Beberapa bulan terakhir ini gue selalu mengawali hari dengan bertanya ke sekretaris CEO perusahaan tempat gue kerja. “Bu, jadwal bapak hari ini apa?” dan ibu sekretaris akan dengan senang hati mengirimkan gue screencaps dari Google Calendar yang berisi jadwal dari bapak CEO hari itu. Lo mungkin akan bertanya sebenarnya pekerjaan gue apa sih? Tapi jawaban dari pertanyaan itupun gue sendiri nggak tahu apa.
Back to the topic, untuk ukuran CEO mungkin jadwal yang teratur dan terstruktur seperti itu sangat penting. Karena itu yang akan bikin meeting yang satu dan meeting yang lain nggak berbenturan. Melihat rekam jejak sang CEO di industri entertainment Indonesia yang sangat luar biasa, gue rasa kedisiplinan dia inilah yang bikin dia jadi sukses. So why not try it?
Akhirnya ya, gue mencoba untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh ibu sekretaris dan pak CEO: bikin to do list setiap hari.
Ya. Oke. Mungkin beberapa dari kalian akan “YAH RON LO KEMANA AJA SELAMA INI?!” nggak apa-apa. Karena gue pun bereaksi seperti itu pas awal gue mulai rajin melakukan ini. Kemana aja gue selama ini? Sekarang hampir semua smartphone punya to do list. Punya kalender yang terintegrasi dengan email. Pokoknya gimana caranya supaya kegiatan selama sehari itu ada catatannya dan bisa dijalankan sesuai jadwal.
Dan demi memperbaiki kebiasaan buruk gue yang suka lupa ini, gue jadi membiasakan diri untuk mencatat apa yang harus gue lakukan selama hari itu.
Setiap kali sampai kantor dan duduk di kursi kerja, gue langsung ngambil sticky notes dan nulis kegiatan gue hari itu. Mulai dari yang penting-penting kayak: “KELARIN WEEKLY REPORT BIAR NGGAK KAYAK TAI!” sama “JANGAN LUPA UPLOAD SOC-MED!” sampai yang agak penting kayak “Bales email dari Xxx” atau “Jangan lupa SMS Mama”. Bahkan yang nggak ada kaitannya sama kerjaan sekalipun kayak “Upload foto semalem ke Instagram” atau “Nonton Laura in the Kitchen”. Semua gue jadwalin satu-satu. And in the end of the day gue akan sangat bahagia kalau semua list itu sudah tercoret.

Nggak kerasa tahun ini gue udah resmi jadi anak kosan selama delapan tahun berturut-turut. Sejak 2009 gue pertama kali pindah dari Mataram ke Depok untuk kuliah di UI sampai 2017 ini gue jadi salah satu pegawai rumah produksi di Jakarta. Yang mana, sepertinya akan gue tinggalkan dalam waktu dekat, mohon doanya. Wah, selama delapan tahun ini gue udah hapal banget deh naik dan turunnya hidup sendiri tanpa keluarga. Jauh dari masakan Mama. Nggak pernah bisa ketemu tiap hari sama temen-temen SMP dan SMA (meanwhile mereka di grup LINE tengah merencanakan untuk kumpul-kumpul) (dan membicarakan pernikahan).
Selama delapan tahun ini gue belajar banyak hal banget tentang kesendirian. Masak sendiri, makan masakan sendiri. Tidur sendiri, beresin tempat tidur sendiri. Perbaiki keran kamar mandi yang rusak juga harus sendiri sampai masang kawat di ventilasi kamar mandi supaya nggak masuk tokek kayak kejadian di Depok tahun 2010 dulu. Karena nggak mau manja (ceileh) gue juga belajar nyuci seprai dan selimut sendiri. Dua hal ini kayaknya sih jangan dilakukan setiap minggu. Karena mijetnya sampai jari-jari gue mau patah. Selama delapan tahun terakhir gue banyak melakukan hal-hal yang nggak pengen gue lakukan sendiri, tapi gue nggak punya pilihan.
Sebagai anak rantau sebenarnya ada sih, opsi untuk tinggal bareng temen. Setidaknya jadi nggak merasa sendiri terus. Tapi gue tuh orangnya ribet sendiri dan terlalu labil. Apalagi pas baru lulus SMA dulu. Kalau diinget-inget rasanya pengen pecut diri sendiri pake rotan. Kelabilan gue itulah yang bikin gue belum siap untuk bisa berbagi apapun dengan Dia-Yang-Disebut-Teman-Sekamar. Lagipula, gue juga selalu menganggap diri gue sebagai alien. Orang aneh. Yang kesukaannya bisa jadi nggak sama dengan kebanyakan orang saat itu (bahkan saat ini). Ya rasanya belum siap aja berada di satu kamar dengan orang yang belum lama gue kenal. Berbagi bau keringat sampai kentut.
Waktu itu gue mikir gini, gue baru lulus SMA, pindah ke Depok sendiri dan menjalani hari-hari sebagai mahasiswa baru yang selama dua minggu pertama sudah muak dan stres dengar teriakan senior yang nggak ada faedahnya itu: “THINK FAST DONG DEK! KREATIF DONG DEK! BISA LEBIH CEPET GAK DEK LARINYA?!” najis. Gue kira UI nggak ada gini-ginian ternyata ada juga. Hal-hal kayak gitu, termasuk kehidupan mahasiswa baru yang terombang-ambing nggak jelas di kampus bikin gue males mikir macem-macem yang ujung-ujungnya bikin kepala gue sakit. Ya, gue emang gampang banget stres. Manajemen emosi gue waktu itu masih kacau banget. Makanya gue pikir wajar kalau waktu itu gue nggak mau dibebani dengan keharusan untuk berbagi bau kentut dengan manusia lain.
Seiring waktu berganti, gue jadi lebih dewasa dalam hal ini. Jadi lebih wise—ahelah—gitu. Malah gue jadi penasaran. Semacem bisul yang gatel tapi nggak boleh digaruk. Nggak tahu hubungannya apa. Lulus kuliah dan nggak lagi dibebani dengan hal-hal kampus, sudah punya penghasilan sendiri dan mulai bisa menabung membuat gue jadi less-stress than before. Gue pun penasaran gimana rasanya punya roommate ya? Apalagi sehabis nonton variety show flop Korea yang judulnya ‘Roommate’ itu, gue jadi makin pengen tahu rasanya.
“Seru kali ya? Bisa punya temen makan. Temen ngobrol sebelum tidur gitu?”
Katanya udah dewasa tapi pikirannya kayak anak SMP.


Pernah nggak, kalian suatu hari duduk di sebuah kursi kayu, di teras rumah yang halamannya luas banget, ngeliatin cahaya matahari pelan-pelan menghilang dan tenggelam di sebelah barat, sambil menghirup aroma teh mint hangat dari meja kecil yang ada di sebelah kanan kalian, dan memikirkan soal apa saja yang sudah terjadi selama tiga tahun terakhir?
Gue nggak pernah. Karena di teras rumah gue nggak ada kursi kayu, tapi adanya sofa tua yang udah bau dan berdebu. Halaman rumah gue juga nggak luas-luas banget. Cuma dua kali lompat kodok juga kebentur tembok. Dan cahaya matahari jelang terbenam nggak pernah terlihat jelas dari sana karena kehalang sama tembok rumah-rumah lain. Tapi kadang-kadang cahayanya bagus juga. Cuma, di jelang akhir kalimat paragraf pertama sih gue pernah. Ya nggak sambil duduk minum teh mint juga.
Belakangan ini gue sering banget memikirkan “the good old days”. Seolah nggak mau menerima kenyataan bahwa setiap individu yang ada di sekitar gue pasti berubah. Sekecil apapun itu. Perubahan-perubahan yang tanpa kita sadari bikin hubungan pertemanan jadi merenggang dan pelan-pelan semakin menjauh. Kenyataan itu kemudian bikin kerinduan akan masa-masa pas bareng dulu makin berasa.
Kalau lo termasuk pembaca setia blog ini, lo pasti tahu kalau gue nggak terlalu punya banyak teman. Sebagai perantau yang kehidupan masa kecil dan masa remajanya dihabiskan di Mataram, Lombok, membuat gue nggak terlalu punya hubungan yang sangat dekat dengan teman-teman sekolah gue dulu. Teman waktu kuliah dulu juga sekarang sedang giat-giatnya bekerja, jadi beneran jarang banget bisa ketemu dan menghabiskan waktu berkualitas. Jadilah teman-teman yang sering kontak dan komunikasi sama gue sekarang adalah mereka yang memang punya satu kesanaam: sama-sama suka KPop.