Salju di Seoul [Part 1]: Ke BBQ-nya Sungyeol ‘Infinite’ Bareng Teman Prancis

Hey guys, kalau kalian baru sampai di KaosKakiBau.com, perkenalkan gue Ron, dan gue sedang berusaha menyelesaikan cerita perjalanan pertama gue ke Seoul bulan November – Desember tahun 2015 lalu. Memang ini sudah sangat lama sekali tapi karena ini pengalaman pertama jadi sangat berkesan buat gue. Series ini gue kasih judul ‘Finally, Seoul!’ karena kayak “AKHIRNYA! GUE KE SEOUL JUGA!” setelah bertahun-tahun suka KPop dan setelah bertahun-tahun menjabat sebagai reporter KPop di detikHOT (well, I resigned 1 year ago tho). Baca semua seri cerita ini dari bawah ke atas supaya nyambung ya!

1. Jalan-jalan Kere di SMTOWN Studio [Part 4 - Habis]
2. SMTOWN COEX Liverary Cafe Tour! [Part 3]
3. Dimarahin Mbak-mbak di SMTOWN Studio [Part 2]
4. Deg-degan Masuk SMTOWN COEX Artium [Part 1]
5. Rabu yang Basah di Gwanghwamun
6. Indomie tengah Malam di Seoul
7. Susahnya Nyari Taksi di Seoul!
8. Bonjour, Petite France!
9. Jadi Tukang Foto Orang Pacaran di Nami
10. Ngeliat Song Seung Hun Syuting 'Saimdang - The Herstory' di Ohjukheon
11. OMG! Saya Ikutan Press Conference Drama Korea!
12. Pertemuan Pertama yang Awkward dengan Salju (ALAY BANGET ASTAGA!)
13. Ngegaul Sendiri di Dongdaemun Design Plaza
14. MBC World, Tempat Seru Buat Ngalay!
15. Jangan ke Myeongdong Kalau Nggak Punya (Cukup) Uang
16. Dream Come True: Finally, Seoul!

Gue masuk ke kereta bawah tanah di Samseong Station dengan perasaan senang yang bercampur aduk. Meski ini sudah hari ketiga gue di sini tapi gue masih tidak menyangka bahwa akhirnya gue ke Korea Selatan juga. Masih seperti mimpi kalau sekarang gue ada di Seoul. Di dalam kereta bawah tanah menuju Hapjeong Station. Duduk di antara orang-orang asing yang anehnya terasa familiar. Gue menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Kereta bawah tanah itu nyaman dan hangat. Gue suka. Di atas tadi angin lumayan kencang. Jadi biarkan gue menikmati sedikit kehangatan ini dulu sebelum nanti kembali menerjang angin dari Hapjeong Station menuju hostel. Gue mulai mengantuk.

Untungnya kali ini gue nggak sampai salah turun seperti waktu ke DDP. Gue sekarang sudah jago naik subway dan sudah percaya diri menentukan Exit yang mana yang harus gue ambil untuk menuju tempat yang gue inginkan. Gue sebenarnya tipe pelupa, tapi kalau urusan jalan, belok kiri, belok kanan, patokan gedung ini lalu lurus sampai mentok, gue yakin gue jagoan. Jalanan dari peron menuju ke jalan keluar di Hapjeong Station sekarang sudah gue hapal di luar kepala.

Saat meniti eskalator kecil menuju salah satu pintu keluar di Hapjeong Station gue sudah bisa merasakan angin kencang dari luar. Sepertinya bakal hujan. Gue membetulkan posisi syal dan memasukkan tangan ke dalam kantong jaket abu-abu yang gue pakai hari itu. Dinginnya baru berasa sekarang. Tadi siang nggak terlalu terasa waktu di Gwanghwamun. Yang paling terasa menyiksa ketika angin dingin berhembus sih sebenarnya bagian kuping, atas jidat dan leher bagian belakang. Gue berjalan agak terburu-buru menuju Maru Hostel Hongdae.


Matahari sudah benar-benar terbenam. Lampu-lampu bar, kafe dan kelab di sepanjang jalan menuju ke hostel sudah mulai menyala. Orang-orang juga sudah mulai berdatangan ke tempat-tempat karaoke yang ada di dekat situ. Beberapa pasangan terlihat berpegangan tangan, saling rangkul dan tertawa-tertawa sambil jalan. It feels amazing. Walaupun gue hanya jalan seorang diri tapi melihat orang lain bahagia itu jadi sebuah suntikan kebahagiaan juga buat gue. Liat aja nanti gue ke sini bawa pasangan biar gue bikin cemburu semua orang yang melihat gue. Liat aja.

#niatbalasdendam

Gue nggak ketemu Ched di hostel setelah sampai di sana. Di ruang tamu hostel sudah ada beberapa bule yang sedang nonton TV, ada yang sedang sibuk sama laptopnya sendiri, ada juga yang lagi duduk-duduk nggak ngapa-ngapain kayak menghabiskan waktu for nothing. Karena mereka nggak terlihat seperti orang yang mau beramah-tamah jadi gue cuek aja. Setelah keluar dari lift gue langsung menuju kamar. Memasukkan kode pintu dan tidak menemukan siapapun di dalam sana. Sepertinya orang-orang juga belum pulang.

Koper gue berantakan banget di bagian bawah kasur. Males untuk gue beresin jadi gue biarin aja berantakan. Sebenarnya gue bisa sih memindahkan isinya ke dalam loker yang ada di luar. Menggantung beberapa baju supaya nggak kusut ketika mau digunakan (seperti yang dilakukan Ched). Tapi ah buat apa juga. Toh baju-baju itu nggak akan kelihatan karena pada akhirnya gue pasti akan pakai sweater dan juga coat. Jadi cuekin aja mau kusut juga nggak apa-apa. Gue langsung manjat ke kasur atas dan meletakkan ransel di sana. Turun lagi untuk ambil laptop di loker dan kembali naik buat backup semua foto-foto hari ini. Sementara itu selesai gue memutuskan untuk mandi air hangat karena sedang tidak mood melakukan Ice Bucket Challenge kalau mandi air dingin. Sebenarnya gue orangnya males banget mandi, tapi karena kedinginan di luar tadi, mandi air hangat sepertinya akan sangat menyenangkan. Mandi air hangat mengingatkan gue dengan beberapa kali menginap di rumah Ajie di Cimahi. 

Gue udah nggak sabar untuk menyambut besok sih. Karena Mely akan datang besok dan akan jadi guide gue selama seharian. Makanya gue nggak lanjut ke lokasi lain setelah dari COEX tadi karena malam ini sebaiknya mengistirahatkan kaki dan pinggang. Pakai insoles jalan kaki seharian itu nggak semenyenangkan penampilannya. Mely sempat chat gue memberitahukan jadwal keretanya dari Chuncheon besok dan kekhawatirannya akan cuaca.

“AccuWeather bilang besok bakalan ujan dari pagi sampai sekitar jam 9-an. Lanjut siangan lagi nanti hujan lagi. Di sini ramalan cuacanya suka ngeri. Bener-bener kejadian gitu.” Katanya.

Kalau hujan kan fix nggak akan bisa ke mana-mana. Tapi ya mau gimana lagi. Masa iya lo mau melawan kehendak alam. 

“Ya kalau gitu tunggu hujan reda aja kali ya?” kata gue.
“Abis hujan reda kayaknya bakalan bersalju.” Kata dia lagi.
Ya fix sih gue akan main salju. “Nggak masalah kalau salju gue akan dengan senang hati keluar sambil nyanyi ‘Let It Go’.”

Dengan modal berpikir positif terhadap cuaca besok dan sedikit doa semoga cerah jadi bisa jalan-jalan, gue melanjutkan backup data dan sedikit upload foto ke sosmed sebelum tidur. Juga mengisi daya beberapa gadget yang gue bawa supaya besok bisa dibawa jalan-jalan lagi seharian. Beruntung colokan di Korea Selatan bentuknya persis sama dengan yang di Indonesia. 

Tips: Bawa colokan ganda dan colokan terminal dengan kabel minimal 1,5 meter untuk semua kebutuhan listrik lo selama traveling. Lo nggak akan bawa-bawa ini saat jalan kok. Cuma waktu di tempat nginep doang jadi nggak giliran nge-cas kamera dan handphone. Semua bisa dilakukan secara bersamaan.
Sumber: chedricangeles.com

Gue nggak tahu ketiduran jam berapa malam itu dan mungkin terlalu nyenyak sampai-sampai nggak sadar jam berapa Ched pulang dan merangkak naik ke kasurnya. Paginya malah kesiangan dan buru-buru sholat subuh karena bener-bener takut telat. Ruangan kamar yang nggak berjendela itu bikin nggak tahu apakah ini sudah siang atau masih pagi. Tapi jam tujuh di sana rasanya bener-bener kayak masih subuh banget. Nggak heran kalau orang-orang masih pada tidur sementara gue udah bugar aja jam segitu. Selimut dan kasur yang disediakan di hostel nyaman dan hangat minta ampun. Sampai nggak pengen buat turun dari kasur dan ingin bermanja-manja sama bantal aja.

Mely baru akan datang sekitar jam 10 atau jam 11 siang ini. Dan gue baru fully awake sekitar jam 8-an. Di sanalah gue akhirnya keluar kamar dengan kaus tipis dan celana training olahraga SMA gue yang masih muat (setelah lebih dari 6 tahun berlalu), lalu menemukan kenyataan bahwa AccuWeather itu benar-benar horor. Karena beneran hujan deras banget pagi itu.

Gue bengong saat ngintip dari jendela lantai 6 gedung itu dan melihat tetesan air hujan menabrak kaca dengan sangat antusias dan menggebu-gebu. Awan hitamnya tebel banget dan sesekali petir juga bikin merinding. Ah damn! Bisa batal nih semua acara jalan hari ini kalau hujan terus! Tapi gue ingat kata Mely soal keakuratan aplikasi peramal cuaca itu. Jadi gue buru-buru kembali ke kamar dan ambil handphone lalu ngecek ini hujan bakalan bertahan sampai jam berapa. Menurut aplikasi itu hujannya bakalan abis jam 9 pagi dan diganti dengan salju. Oke kita tunggu apakah akan bener-bener bersalju jam 9 pagi ini. Meanwhile sebaiknya kita mandi dulu dan siap-siap sebelum Mely datang.

Selama di sini gue nggak pernah mandi lama-lama. Biasanya kalau di rumah bisa lama banget dan nyaris 30 menit. Serius gue nggak luluran dulu atau gimana di dalam kamar mandi. Mungkin karena gerakan gue yang terlalu lamban dan keasikan main air makanya jadi lama. Nah selama di hostel gue nggak pernah mandi lama. Paling banter 10 sampai 15 menit dan itupun sudah termasuk gosok gigi. Karena gue tahu kamar mandi itu nggak cuma gue yang pake tapi juga belasan orang yang ada di hostel itu. Pas keluar dari kamar mandi Ched udah duduk manis di meja makan menikmati kopi dan roti bakarnya.

“Hi, having fun yesterday?” tanya gue sambil ngeringin rambut pake handuk yang gue bawa sendiri dari rumah. Di hostel ini nggak menyediakan handuk tapi lo bisa sewa berapa Won gitu untuk dipakai sampai lo pulang.
“Yeah. So much fun! I have a lot of great photos on the Palace and also taking a few of instax. You wake up early. Are you going somewhere?” tanya dia. 
“Yeah. My friend will come at around 10 or 11 and we will have city tour today. But its still raining outside so maybe we’re gonna go around 11,” gue menjelaskan sedikit sebelum izin sebentar ke kamar buat ambil handphone dan ketika gue kembali, harapan untuk jalan-jalan hari ini kembali terbit. Hujan sudah berhenti dan sudah berganti salju!

Kayak anak kecil, gue loncat ke sofa dan buka tirai penutup kaca jendela. Lagi. Perasaan bahagia yang nggak terdeskripsikan itu menyerang gue. Rasanya tenang dan nyaman. Somehow it makes my heart warm. Gue jadi ngerti kenapa Harry sebahagia itu waktu ngeliat Ginny dan merasakan ada yang aneh di hatinya. Juga tahu bagaimana rasanya Ron (yang lain) menyimpan perasaan diam-diam ke Hermione. Rasa bahagia yang muncul hari itu persis seperti ketika gue pertama kali liat…. Dia. There is something about snow that I really love yet I couldn’t explain what. I just love it. Beberapa kali gue jepret fotonya pake handphone ASUS gue waktu itu tapi nggak keliatan juga butiran saljunya jadi yaudah. Terkadang ada momen yang hanya bisa lo nikmati dengan mata dan disimpan dalam hati dan pikiran, nggak ter-capture dalam jepretan foto.

Sumber: chedricangeles.com

Gue terdiam cukup lama memperhatikan salju-salju yang jatuh itu. Awalnya biasa aja. Butirannya jarang-jarang. Terbang ringan banget di udara kayak kapas versi abis dimasukin ke food processor. Sisa hujan yang tadi masih keliatan di atap-atap gedung sekitar. Tapi pelan-pelan salju menutupinya. Dan nggak lama setelah itu jadi makin deras. Nggak butuh waktu lama untuk salju-salju itu menutupi hampir seluruh permukaan atap bangunan di kawasan itu. Dan ya, semakin lama mata gue semakin nyaman ngeliatin salju turun dari langit. Ya, gue orangnya emang se-random itu. Mungkin saking random-nya sampai-sampai susah dapat pasangan. Karena gue lebih suka duduk ngeliatin hujan sambil ngeteh berdua di teras terus selimutan daripada harus nonton di bioskop. Gue lebih memilih nonton drama di sofa berdua sambil makan home-made cookies ketimbang harus makan di tempat paling hits yang nunggu dapat kursi dan nunggu makanannya bisa lebih lama daripada makan hidangannya. Ya mungkin nggak ada yang mau diajak nontonin petir di balik awan dari lantai dua kosan gue semalaman makanya jomblo terus.

Terpesonanya gue dengan salju yang berlebihan ini bisa jadi juga karena efek nggak pernah sama sekali melihatnya turun secara langsung kali ya. Maklum, anak tropis. Biasanya dihidangkan hujan dan banjir. Gue suka salju. Gue juga suka hujan. Dua-duanya punya feel yang menarik dan menyenangkan!

Jadi inget bagaimana pertama kali gue melihat salju ketika mampir di rest area waktu dalam perjalanan liputan ke Gangneung awal minggu ini (cek list nomor 12 di bagian paling atas posting-an ini). Berkesan dan membekas banget. Tapi merasakan salju di Seoul tentu saja pengalaman yang berbeda lagi. Makanya gue benar-benar excited sama perjalanan hari ini!


Setelah beberapa menit terbengong dan larut dalam lamunan diri sendiri gue akhirnya kembali ke meja makan menghampiri Ched. Meletakkan ponsel di sana lalu beralih ke mesih pembuat kopi. Pindah ke kompor buat bikin telur mata sapi dan mengoles beberapa helai roti dengan selai stroberi. Ched keliatannya masih berkutat dengan itinerary-nya. Cuma di meja itu dia nggak sendirian. Ada satu cowok bule berambut ikal sampai pipi dan berkumis. Gue belum kenal dia dan ini baru mau kenalan setelah urusan sarapan selesai. Tapi tadi sebelum drama pikiran tentang salju itu melanda, Ched sempat bilang kalau dia sedang mencari kafe-kafe lucu dekat sini. Ada satu kafe di Hongdae yang di dalamnya kita bisa ngasih makan domba.
“I think I will go there but not today.” Katanya.
Gue akhirnya duduk di kursi sebelah kiri Ched dan menganggukkan kepala ke bule yang duduknya persis di depan gue. Gue senyumin, dia balik senyum. Nggak seperti beberapa bule lain yang tinggal di hostel ini, dia terlihat paling ramah. 
“Nah jadi sesuai itinerary lo, lo hari ini mau ke mana?”
“Sebenarnya sih gue hari ini nggak ada rencana. Jadi baru mau cari-cari lokasi yang kira-kira bisa gue datangi,” kata Ched sambil nulis sesuatu di notes-nya. Ada beberapa brosur wisata Seoul tergeletak di meja yang kata Ched dia dapat dari abang-abang resepsionis. “It’s free so why not.” Katanya. Ched membetulkan posisi kacamatanya sebelum akhirnya dia sadar kalau dia belum memperkenalkan gue dengan si cowok bule. “Oh iya sampai lupa. Ini kenalin, Sacha. Dia baru check in ke hostel ini semalem waktu kita pada keluar,” lanjut Ched.
Gue melirik lagi ke Sacha dan mengangguk pelan sambil menjulurkan tangan. Dijabat sama dia.
“Ron, Sacha. Sacha, Ron.” Kata Ched lagi.
“Hey, nice to meet you. Lo dari mana?” tanya gue sambil mulai mengunyah sarapan pagi itu. Di banyak hostel memang menyediakan kopi dan roti gratis untuk sarapan. Di Maru Hostel Hongdae mereka menyediakan telur unlimited. Jadi kalau misalnya lo cuma modal nasi putih dan mau masak di sana juga bisa karena ada rice cooker. Terus tinggal goreng telur. Hemat deh. Anak kosan banget tapi ya.
“Nice to meet you too, Ron. Gue dari Prancis,” jawab Sacha. Buat yang bingung gimana ngebaca nama ini, gue kasih tahu dulu daripada salah ya. Nama dia dibacanya Sasya.
Ketika dia nyebut Prancis gue langsung ber-wow bijaksana. Mencoba untuk nggak berlebihan. Prancis adalah salah satu negara yang tentu saja ingin gue kunjungi suatu saat nanti. Walaupun ketika gue kasih tahu ke Sacha gue datang dari Indonesia dan tinggal di Lombok, dia bilang malah dia pengen ngeliat pantai di Lombok. Obrolan pagi itu berlangsung santai dan mengalir. Kegiatan bersosialisasi gue pun naik level sekarang. Setelah kemaren sempat nyapa mbak-mbak bule jutek gue jadi males soalnya memulai obrolan dengan siapapun yang ada di situ. Sacha langsung mengubah pikiran gue.

Sumber: chedricangeles.com

Kagum sih sama orang-orang yang mau bersosialisasi dengan a total stranger di tempat kayak hostel gini. Dan di sinilah lo bener-bener bisa ketemu sama banyak orang dan teman baru dari negara lain yang mungkin nggak pernah kebayang sama lo sebelumnya. Kalau orang-orangnya memang ramah sih mereka nggak akan ragu dan malu-malu buat memulai pembicaraan. Selanjutnya tergantung gimana lo aja. Dulu gue adalah orang yang takutan untuk ngobrol sama bule. Takut di-judge karena bahasa Inggris gue nggak bagus. Tapi setelah banyak ketemu orang dari luar negeri ketika liputan gue jadi mulai terbiasa untuk ceplas-ceplos. Dan amazed juga hari itu kemampuan bahasa Inggris gue mendadak kok jadi lancar banget. Termasuk sense of humor gue rasanya meningkat 75% dari biasanya.

“Jadi lo ke sini buat liburan?” tanya gue ke Sacha. Kita sama-sama pakai kaca mata by the way.
“No. Not really. Sebenarnya gue ke sini buat belajar bahasa. Jadi ada program dari kampus gue untuk belajar bahasa di Seoul selama sembilan bulan,” sesekali dia menyeruput kopinya.
“So you will stay here for 9 months?!” gue agak terkejut.
“No, actually my campus has rented me a flat here in Seoul. Near the linguistic campus. Tapi gue udah keburu pesan di sini duluan dan sudah dibayar. Jadi sayang aja kalau nggak ditempati. Lagipula hostel ini murah banget,” lanjutnya.
“Paling murah dari semua yang ada di situs booking, ya kan?” Ched menyahut.
“Iya. Langsung muncul paling atas.” Sambar Sacha lalu tertawa. “Ya jadi gue akan di Seoul selama sembilan bulan ke depan untuk belajar bahasa. Kelasnya sih baru di mulai minggu depan. Jadi gue pikir gue mau jalan-jalan dulu walaupun nggak ada rencana, itinerary atau apapun,” lanjut dia.

Waktu Sacha bilang kalau dia ke sini buat belajar bahasa, gue baru sadar kalau dia masih mahasiswa. Ched juga bilang dia sudah di semester akhir dan akan graduasi Juni 2016. Fix gue yang paling tua di situ. Ched penampilannya sih keliatan ABG banget. Badannya tinggi, tegap dan gempal. Tipe cowok yang kalo dipakein baju kekinian appaun yang ada di Instagram-nya Keenan Pearce dia pasti cocok. Umurnya juga baru masuk 20 tahun. Perjalanan masih panjang banget buat dia. Belom merasakan dunia kerja juga. 

Berbanding lurus dengan Ched, Sacha juga orangnya tinggi seperti kebanyakan bule. Kalau Ched sekitar 170 cm-an mungkin Sacha bisa 180 cm-an tingginya. Dari wajah keliatannya memang agak lebih tua dari Ched (dan bahkan dari gue mungkin (yakin aku masih terlihat muda terima kasih Ponds White Beauty)). Tapi pas gue tanya umurnya berapa, ternyata dia masih 22 tahun. Pagi itu sih kita semua nggak ada yang berpakaian rapi karena baru pada bangun. Tapi gue sudah bisa membayangkan style fashion-nya Sacha akan kayak gimana kalau mau jalan. Pasti kayak cowok di katalog-katalog baju musim dinginnya Zara. That kind of style yang nggak akan pernah match kalau gue yang pake. Sacha literally has that mannequin body.

Kesamaan di antara kita bertiga yang langsung gue tangkap dari obrolan pagi itu adalah selera humor yang sama-sama gede. Sacha walaupun ngomongnya irit dan suaranya kecil banget, tapi kadang kalau dia lagi mood bercanda dia bisa meledak banget. Agak susah membaca gerakan bibirnya karena ketutupan sama kumis. Ched pun suka ngeluarin jokes-jokes yang sebenarnya cheesy tapi for the sake of friendship sama orang baru jadi gue ketawa aja. Kita bertiga seolah tahu kalau kita akan menghabiskan the rest of the week together. Nyaman aja rasanya.
“Why Korea?” gue tanya ke Sacha karena kepo kenapa orang yang tinggal jauh di Paris tertarik belajar bahasa Korea. Separo pengen tahu juga kenapa dia nggak milih belajar bahasa Indonesia. “Kenapa tertarik belajar bahasa Korea?”
Pertanyaan ini biasanya akan gue jawab dengan “karena gue suka KPop dan drama Korea.” Karena gue nggak terlalu into the Korean culture at that time. Kenapa pengen banget ke Korea dan belajar bahasa Korea buat gue ya karena gue suka pop culture-nya. Di luar itu kayak misalnya makanan dan segala rupa semuanya hanya mengikuti. Gue berharap Sacha akan menjawab dengan KPop atau K-Drama jadi gue bisa ngajakin dia untuk heboh bareng. Tapi ternyata nggak sama sekali. 
“Soalnya ada beberapa pilihan dari kampus dan gue penasaran aja sama Korea. Lagipula sempat ada konser Korea di Paris waktu kapan gitu dan selalu rame. Gue jadi penasaran jadi yaudah gue pilih Korea aja.” Katanya.
Mendengar penjelasan Sacha itu bikin gue langsung ngelirik ke Ched, “Meanwhile Ched bilang dia lagi ada program kampus ke sini sama orangtuanya, padahal nggak. Dia cuma pengen liburan doang. Dan Sacha beneran ke sini karena memang mau belajar.” Ched ketawa.
“Eh kalau kalian nggak ke mana-mana hari ini, ikut sama gue aja mau nggak? Gue hari ini mau keliling kota sama temen gue. I think she doesn’t keberatan if you two join lah. Hari ini rencananya kita bakalan ke beberapa tempat dan nanti agak maleman gue harus ke salah satu gedung manajemen artis Korea di sini buat liputan. Gimana?” gue menawarkan sambil menghabiskan roti bakar selai stroberi dan sedikit selai kacang itu.
“Liputan?” tanya Sacha.
“Oh gue wartawan spesialis KPop. Jadi gue ke sini sekaligus liburan sekaligus liputan sebenarnya. Nah, nanti malam memang rencananya mau ke gedung manajemen artis-artis kesukaan gue ini.” Gue menjelaskan sedikit.
“Oke sih. Gue mau. Jadi giliran kan kemaren lo udah jalan sama gue sama Suzy, sekarang giliran gue yang jalan sama lo dan teman lo. Sacha gimana? Atau lo udah punya plan?” kata Ched.
“No I’m okay with any plan. I’ll go with you guys.” Katanya.
ASIK! RAME DEH! 
“She will be here around 10 or 11. She will stays in this hostel also so it doesn’t matter if we’re going home too late or anything. Jadi bebas lah.”
Dan sesuai janji Mely datang sekitar jam 10. Ngomong-ngomong soal Mely, di adalah one of my best friends di kampus. Kita ketemu waktu ospek universitas (OKK UI) dan dia yang ngebantuin gue buat nyari kelompok juga yang pada akhirnya kita jadi teman baik sampai sekarang. Mely sempat pacaran sama salah satu dari isi geng itu selama beberapa bulan (yang sebenarnya dia sudah merasakan getaran sejak kuliah tapi baru jadian setelah lulus). Sempat jadi bahan ghibah di grup juga tapi sekarang mereka sudah move on. I think.

Sesuai perkiraan gue, Sacha keluar dari kamar dengan style yang bener-bener kayak katalog Zara. Lengkap dengan tas jinjing yang membuatnya terlihat seperti orang-orang stylish di pinggiran jalan kota Paris. Atau ini cuma imajinasi gue doang karena jujur gue nggak pernah liat katalog Zara ataupun merhatiin orang-orang stylish di pinggir jalan kota Paris. Ched pun nggak kalah stylish dari Sacha. Kayak yang tadi gue bilang, dia pakai apa aja pasti akan keliatan oke. Meanwhile gue cuma punya satu coat dan itupun minjem pula. Ditambah lagi gue harus pakai itu sampai pulang ke Indonesia. Stylish nggak stylish bodo amat buat gue yang penting gue ada di Korea dan gue mau mandi salju di luar abis ini.

Gue sempat iri melihat jaket Mely yang kayaknya kok dari luar tampak ringan dan nyaman banget. Sampai akhirnya dia mencaci maki gue dan bilang kalau jaketnya juga berat karena harus dipakaiin hot pack. Yah, alhamdulillah sih coat yang gue pinjam dari Dito nggak perlu hot pack juga udah hangat. Mungkin karena kekuatan kasih sayang di antara kami. Yang sebenarnya bikin berat adalah gue harus ngantongin hape, powerbank sama kamera digital sih sebenarnya. Terus belum lagi dompet di kantong yang lain dan gue juga bawa paspor ke mana-mana karena takut kalo ditinggal di hostel.


Hari semakin siang tapi matahari nggak terlalu nampak. Yang penting gak hujan dan salju sudah reda. Hujan juga nggak terlalu terasa. Kita keluar hostel sekitar jam 11 siang dan masing-masing mengaku lapar. Gue nggak tahu apakah Ched dan Sacha punya keinginan khusus untuk makan siang atau mereka juga termasuk backpacker kayak gue yang kalau makan yang penting murah, nggak peduli di mana aja. Hari itu Mely memang berniat untuk mengunjungi BBQ, restauran pizza punya ibunya Sungyeol ‘Infinite’. Kebetulan lokasinya nggak begitu jauh dari salah satu exit-nya Hapjeong Station. 

“This is because Mely loves the group. If you guys want to eat somewhere else its fine.” Kata gue. Walaupun gue suka Infinite juga (tapi bukan Inspirit) dan penasaran sama tempatnya kayak apa, cuma gue pasti akan mendahulukan keinginan orang-orang itu. Yang pertama karena mereka nggak terlalu suka KPop jadi nggak bisa dipaksa untuk mengikuti fans militan kayak kami. Yang kedua karena kan siapa tahu mereka nggak suka makanannya. Tapi mereka oke ikut kita dan jadilah kita pun ke BBQ.

Di luar udaranya cukup dingin tapi belum masuk ke taraf menggigil. Ched dan Sacha jalan cukup cepat karena mereka tinggi dan langkah mereka juga besar-besar. Gue dan Mely juga terbiasa jalan cepat karena di kampus kan mostly jalan kaki dulu. Nggak terlalu lama di jalan kita sampai di BBQ.


Sebagai fans EXO seharusnya gue mencoba untuk mengeksplor kafe yang lebih relevan dengan fandom gue ya. Tapi sedikitpun gue nggak ada kepikiran untuk mampir ke kafenya siapa kafenya siapa. Gue fans tapi nggak sebegitunya. Jadi daripada mampir cuma duduk dan yaudah abis itu pulang setelah secangkir kopi (belum lagi jarak yang harus ditempuh juga lumayan), jadi mending fokus dulu ke lokasi-lokasi penting di Seoul yang memang jadi tujuan utama. Nanti kalau balik lagi ke Korea baru deh mampir ke kafe-kafe yang related sama EXO.

Masuk ke BBQ langsung hangat karena tentu saja ruangan itu pakai penghangat. Gue nggak ngecek apakah tempat makan itu ada lebih dari satu lantai. Tapi kita duduk di lantai dasar dan pagi itu beneran baru buka jadi masih sepi. Ada tujuh sampai sepuluh grup meja dan kursi di lantai itu yang tersebar di tengah sampai ke pojok ruangan. Minimalis banget interiornya dan gue suka sih. Pas kita dateng TV-nya lagi nayangin MAMA di HK. WKWKWKWK. Di dinding lo bisa dengan mudah menemukan logo Infinite. Penutup jendela di ruangan tempat kami makan bahkan ada muka Sungyeol yang kayaknya dicetak dari salah satu fansite-nya dia karena fotonya ala-ala fansite banget. Harga makanan dan minuman di sini berkisar antara KRW 3,000 untuk side dish, KRW 3,800 untuk minuman, sampai KRW 19,000 untuk makanan. Standar sih nggak terlalu mahal. Minuman di sini bahkan lebih murah dari kimbab pinggir jalan yang gue makan di depan Lotte Department Store tempo hari. Fck!  

Mely sebenarnya udah sering ke sini. Bisa dibilang pengunjung reguler lah. Jadi dia udah dikenal sama si pemilik warung a.k.a ibunya Sungyeol. Dia juga sempat nunjukin gue yang mana ibunya Sungyeol dan gue cuma manggut-manggut aja. Sementara Ched dan Sacha mungkin nggak akan ngerti sama obrolan kita.


“Gue kira lo ngefans Woohyun?” gue membuka obrolan setelah membuka coat karena panas juga lama-lama.
“Memang Woohyun. Tapi kan Sungyeol juga part of Infinite,” katanya. Gue cuma manggut aja.
Kami sempat berdebat mau pesan apa. Karena tadi kami sebenarnya sudah sarapan jadi nggak terlalu minat untuk makan berat. Lagipula ini adalah kunjungan mandatory buat Mely jadi nggak usahlah makan berat. Akhirnya masing-masing dari kita pesan minum sendiri dan kita pesan satu loyang besar Pizza yang paduan rasanya agak aneh untuk lidah gue jujur aja.

Demi menghindari daging babi dan segala rupa yang haram (gue sama Mely berusaha menjelaskan ke Ched dan Sacha soal itu dan mereka cukup paham) akhirnya pilihan kita jatuh ke pizza seafood. Tapi yang lucu adalah pizza seafood itu (persisnya udang) dipadukan dengan saus madu. Harganya kalau nggak salah KRW 30,000-an deh dan itu kita bagi empat.
“I don’t know rasanya akan kayak gimana. Tapi di menu cuma ini yang kayaknya aman untuk gue dan Mely makan. I hope you guys don’t mind ya?”
Agak gak enak juga memaksakan Ched dan Sacha mengikuti preferensi makanan kami. Tapi toh mereka sebenarnya juga nggak yang pengen makan banget jadi nggak terlalu ngerasa bersalah. Dan serius ya pizza itu rasanya campur aduk banget. Gue belum pernah makan roti dengan mozarella dan udang tapi disiram sama madu. Yaudah ikhlasin. Ched sama Sacha nggak terlalu suka sepertinya sama pizza itu. Mely juga nggak banyak makan. Gue karena sayang aja kalo nggak dimakan nggak punya pilihan lain. Setelah kita sama-sama makan satu slice, buru-buru ambil air putih di pojokan.


Kebanyakan tempat makan di Korea menyediakan dispenser air minum untuk pelanggan dan kita bisa minum sampai puas dan gratis. Dan kebiasaan orang di sana adalah kalau satu ambil minum, dia akan nawarin mereka yang masih makan apakah mau refill atau nggak. Self service sih intinya di sini.

Selama kurang lebih setengah jam kita makan di situ masing-masing mulai ingin tahu lebih banyak soal yang lain. Gue sharing ke Ched dan Sacha soal makanan. Mely merajuk ke cowok-cowok yang lain karena gue nggak follow Instagram-nya (padahal gue baru aja nge-follow Instagram Ched di tempat itu). 
“Jahat gak sih dia padahal kita udah sahabatan lama!” kata Mely.
Waktu itu gue memang nggak follow banyak orang di Instagram. Cuma 10-an kalau nggak salah. Mostly isinya cuma member grup cover dance yang sempat gue idolakan beberapa tahun lalu, Baekhyun, IU dan Taeyeon. Gue nggak nge-follow orang kantor, akun kantor, akun artis lokal, dan apapun. Jujur aja sih gue memang membatasi dalam hal follow mem-follow ini. Karena dengan algoritma Instagram yang random itu males aja melihat postingan 7 hari yang lalu di urutan teratas karena belom sempat dilihat saking kebanyakan nge-follow orang. Mengikuti sedikit orang di Instagram bikin lo cepet keep up sama timeline and less kepo. Jadi nggak riweuh nge-scroll-nya. Tapi sekarang gue sudah follow Mely kok. Don’t worry. Sementara Sacha sama sekali nggak addict sama media sosial.
“Di Paris, nggak banyak orang main media sosial. Instagram juga nggak populer di sana,” katanya. Sebagai orang sana ya kita percaya aja. Dia juga bilang temen-temennya nggak banyak yang main Instagram jadi dia juga nggak punya Instagram. “Paling banter Facebook lah, kalau yang lain jarang.” Katanya.
Gue dan Mely lalu memberitahukan tujuan kita hari itu. Di awal kita juga udah memberikan permakluman kalau mereka nggak harus ikut kita sampai selesai kok. Kalau misalnya di tujuan kedua mereka udah merasa cukup lelah mereka bisa pulang duluan ke stasiun terdekat.


“Ihwa Mural Village semacem pemukiman tapi banyak mural-mural yang lucu buat di foto. Setelah itu kita akan jalan terus melewati Seoul City Wall menuju ke stasiun berikutnya. Kita naik subway nanti lanjut ke Bukchon Hanok kalau nggak kemaleman. Nah itu sih tujuan utamanya. Selanjutnya pas malam Ron minta dianterin ke SM Entertainment. Itu tuh gedung kantor manajemen artis gitu lho,” kata Mely menjelaskan. Gue memotong di bagian itu dengan bilang ke mereka kalau “Ke situ buat urusan kerjaan kok. Gue cuma mau datang dan foto di luar terus udahan. Buat liputan.” Padahal cuma modus aja.
“Nah dari situ nanti kita akan ke Banpo Bridge. Biasanya kalau malam ada air mancur warna-warninya. Cuma gue agak lupa jalannya jadi ya kita akan bertualang.” Lanjut Mely.
“Sounds like a plan. So lets go then!” kata Ched. 
Pizza kita udah abis, stok air minum udah di-refill, nggak ada niatan untuk foto-foto lama di sana karena takut ganggu yang lagi makan, so waktunya berangkat ke Ihwa Mural Village. Dalam perjalanan ke subway station salju mulai turun lagi. Gue pun tersenyum lagi. Akhirnya gue bisa merasakan salju jatuh di kepala gue untuk pertama kalinya dalam hidup. Akhirnya, salju pertama gue di Seoul. 

Finally, snow in Seoul! 


PS: Alamat BBQ Chicken 395-46 Seogyo-dong, Mapo-gu, Seoul. Hapjeong Station Exit 3. Siapa tahu berminat mengunjunginya. Deket banget sama stasiun Hapjeong. Spesialis ayam dan pizza, tapi ada minuman kayak latte gitu-gitu juga. Harga bersahabat sih nggak kayak tiket konser KPop di Jakarta. Bisa buat foto-foto lucu ala Instagram. Buka jam 11:30 KST sampai 24:00 KST. Bisa buat mabok juga di luar untuk yang lagi jenuh sama hidup.
Another PS: KTO (Korean Tourism Organization) sekarang lagi ngadain event di soc-med mereka nih gengs. Hadiahnya merchandise exclusive yang lo pasti pengen deh karena gue pun sebenarnya pengen. Siapa tahu beruntung nggak ada salahnya dicoba. Apa sih event kuisnya? Coba cek link-link di bawah ini deh:

Follow Me/KaosKakiBau in everywhere!
Watch my #vlog on YouTube: KaosKakiBauTV (#vron #vlognyaron)
Twitter: ronzzykevin
Facebook: fb.com/kaoskakibau
Instagram: ronzstagram
LIVE SETIAP SENIN JAM 8 MALAM 'GLOOMY MONDAY!'
Instagram lain: kaoskakibaudotcom
Line@: @kaoskakibau (di search pake @ jangan lupa)

Photos on this article (kecuali yang ada sumber di bawah fotonya) from my personal library. Do not use without permission. WK.

Share:

0 komentar