Merasa Cukup Itu Cukup (Self-Love versi Gue)


Gue yakin nggak cuma gue yang mengeluhkan permasalahan hidup. Tentu saja semua orang punya masalah hidupnya masing-masing, begitu juga gue. Tapi anehnya, beberapa bulan terakhir ini, gue merasa hidup gue jauh lebih baik dari sepanjang 36 bulan yang lalu. Gue merasa agak aneh dan nggak terbiasa dengan ini.

Lha? WKWKKWKWKWKWKW

Kalau lo follow gue di Instagram (HAHAHA ASLI GUE KETAWA PAS NULIS INI), sepanjang 2017, 2018, dan 2019 lo pasti menangkap banyak sekali kegalauan di sana. Kegalauan-kegalauan yang ditulis dalam bentuk quote-quote yang gue upload ke Instagram Stories. Sekarang bahkan masih ada di Highlight gue dan jujur aja gue nggak mau buka-buka itu lagi karena masih merasa mual kalau ngebaca tulisan-tulisan itu. Tapi kalau lo mau, silakan liat dan baca. Sekalian follow juga boleh wkwkwkwkkwkw.

2017 – 2019 itu mungkin gue bisa bilang jadi masa-masa terburuk dan tergalau dalam hidup gue. Entah kenapa gue merasa berada di titik terendah banget di masa-masa itu. Kalau mau ditarik ke belakang lagi mungkin semuanya berawal sejak 2016. Ada banyak hal yang mungkin bisa jadi alasan kenapa gue ada di fase-fase terpuruk itu. Pindah kerja, penyesuaian diri di tempat baru, patah hati, anxiety (self-diagnoes which was not good), ketidakpastian hidup, tempat tinggal yang jelek, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan masih banyak lagi.

Tapi gue nggak bilang sepanjang tiga tahun itu semuanya buruk. Karena tentu saja di antara kegalauan-kegalauan itu (yang bahkan ada salah satu teman di Twitter yang bilang gue mungkin sudah masuk ke fase awal depresi) ada banyak sekali hal-hal positif yang terjadi. Hal-hal inilah yang membuat gue kemudian semakin yakin bahwa hidup itu emang seperti roda. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Dan ketika lo di bawah, lo nggak akan selamanya ada di situ jadi jangan terlalu dipikirin dan jalani semuanya dengan sebaik-baiknya sambil lo belajar. Karena nanti ketika lo di atas, lo juga nggak akan selamanya ada di situ. Ada kalanya lo akan ke bawah lagi, tapi kali ini ketika lo ada di bawah lo sudah tahu kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena lo sudah pernah ada di posisi itu sebelumnya, jadi lo bisa mempersiapkan diri dan paling nggak karena lo sudah pernah ada di bawah, lo tahu bagaimana rasanya dan lo sudah belajar untuk menghadapi segala sesuatu, jadi sekarang you can do better than the last time.

Memasuki tahun 2020 gue digempur oleh banyak banget cobaan terutama masalah kesehatan. Untuk pertama kalinya dalam 28 tahun gue masuk rumah sakit dan dirawat sampai harus dioperasi. Sebelum sampai di ruang operasi gue bahkan sudah menderita berbulan-bulan karena sakit yang gue sendiri nggak tahu apa. Gue menghabiskan dua minggu pertama di tahun 2020 di dalam ruang rawat Rumah Sakit. Dan di situ banyak sekali hal yang terjadi bahkan sebulan setelah itu pun roller coaster hidup rasanya nggak berhenti mengguncang. Tapi kan katanya selalu ada matahari cerah setelah badai, ya? Dan sekarang gue merasa sudah melewati badai-badai itu.

Gue nggak bilang kalau gue sekarang sudah 100% bahagia karena nggak akan ada yang 100% dalam hidup ini. Tapi kalau boleh jujur, selama dua atau tiga bulan terakhir ini, gue berada dalam kondisi terbaik dalam hidup gue selama tiga tahun terakhir. Gue nggak pernah merasa sesehat ini, seproduktif ini, seseneng ini, setenang ini, sebahagia ini, secukup ini.

Gue merasa cukup.

Melihat kondisi fisik dan mental gue selama beberapa bulan ini, gue mungkin sekarang berani dan bisa bilang “I don’t want anything else. I want to live like this, forever.”


Gue nggak bilang kalau semua permasalahan gue sudah selesai sih. Tapi sekarang gue merasa semuanya under control. Gue bahkan sudah mulai tidak mendengarkan bisikan-bisikan negatif yang biasanya terdengar di kepala gue. Kabar terbaiknya adalah gue sudah bisa tidur cepat tanpa harus bergulat dengan perasaan-perasaan yang bikin gue sulit tidur. Gue kayaknya harus berterima kasih deh sama karantina Corona ini. Karena pada akhirnya gue jadi punya waktu buat me-reset semuanya dan seperti halnya ketika Venesia yang sebelumnya nggak pernah disambangi lumba-lumba tapi kemudian selama pandemi muncul lumba-lumba, dan seperti langit Jakarta nggak pernah sebiru kayak pas selama karantina.

2017 ke 2019 itu gue terlalu cuek sama diri gue sendiri sebenarnya. Gue terlalu sibuk mikirin orang dan mikirin bagaimana orang menyikapi hidup mereka. Atau mungkin di satu titik gue pernah kayak sangat mikirin pendapat orang lain tentang hidup gue. Sementara gue sendiri bukannya malah memperhatikan diri tapi sibuk memperhatikan orang. Kesalahan terbesar gue sih yang mungkin sebagian orang terdekat gue sudah mulai sense something wrong with me, about that, tapi mereka kayak nggak vokal buat ngasih tahu ke gue karena mungkin gue agak resistant atau apa gitu.

Melewati serangkaian kejadian yang bikin sakit badan sampai sakit hati di 2017 ke 2019 bikin 2020 gue jadi kayak… penuh pelajaran, gitu mungkin? Maksudnya setelah tiga tahun penuh kegundahan akhirnya gue bisa memetik hikmah gitu lho di 2020 ini. Jadi emang gue ngerasa kayak hidup orang tuh temponya ya nggak bisa sama semua. Mungkin gue butuh tiga tahun buat sadar bahwa selama ini gue melakukan kesalahan, gue nggak pernah mikirin kesehatan, gue cuek sama diri gue sendiri, dan gue bersyukur sih gue cuma butuh tiga tahun. Karena orang mungkin bisa lebih. Bersyukur kalau lebih cepat.

Yang pengin gue katakan di sini adalah semuanya itu melalui proses, pasti, dan prosesnya bisa sebentar bisa juga lama. Tempo masing-masing orang nggak sama dan yang penting lo harus menikmati sih prosesnya.

Maksud gue, sepanjang perjalanan selama tiga tahun itu juga nggak setiap hari dalam setiap bulannya gue merasa terpuruk. Enggak juga. Ketika gue patah hati misalnya, sebulan pertama lah itu berat banget. Mungkin karena itu pertama kalinya gue bener-bener potek kali ya? Jadi move on-nya tuh lama banget. Sebulan setelah kejadian gue ngerasa move on banget nih, tapi abis itu, selang seminggu gue bisa tertekan lagi. Gue bisa kayak… wah kacau lagi gitu hidup gue. Jadi ya proses banget sih. Untuk satu hal itu gue rasa gue butuh dua tahun lebih kali ya buat bener-bener menghapus semua perasaan gue ke satu orang ini. Dan dua tahun itu bukan waktu yang sebentar. Sepanjang dua tahun itu kayak… lo harus membagi pikiran juga kan ke kerjaan dan hal-hal lain di luar kegalauan soal asmara.

Itu sih sebenernya yang susah. Maksud gue, kalau lo fokus cuma move on dari satu masalah doang sepanjang setahun tanpa mikirin masalah-masalah lain kayak kerjaan, gimana survive, bayar tagihan, dan segala macam, mungkin semuanya akan lebih mudah sih. Iya nggak sih? Ini gue cuma berasumsi aja.

Gue nggak bilang kerjaan itu malah menghambat gue untuk move on dari patah hati. Tapi justru malah kerjaan itu yang bikin pikiran gue teralih. Tapi yang namanya hati gue udah bandel soal perasaan suka ke orang ini, jadi ada kalanya kayak di setiap kali gue break dari kerjaan tuh perasaan-perasaannya tuh datang lagi gitu. Itu sih yang nyebelin. Mau gue jalan sampe ke mana juga, kalau ada momen sendiri dan sepi gitu, pasti deh gue kepikiran.

Salahnya gue waktu itu adalah karena gue terlalu fokus ke satu orang dan gue gak pernah mikirin diri gue sendiri. Akhirnya ya gitu, kacau semuanya. Gue mulai sakit-sakitan, gue masuk rumah sakit, gue dioperasi, gue nggak bisa jalan, gue harus belajar jalan, gue harus belajar gimana caranya buat berdiri tegak dan punggung gue nggak sakit lagi, gue harus membiasakan diri dengan ngompol dan nggak bisa nahan buang air. Separah itu sampai gue kayak… capek banget… tapi ya sisi baiknya adalah ketika gue sibuk ngurusin diri gue sendiri, di situlah gue mikir bahwa selama ini gue tuh nggak pernah seperhatian ini sama badan gue. Kalau gue nggak sakit, gue mungkin akan terus-terusan cuek.

Moral of the story, kalian jangan nunggu sampai sakit dulu. Love yourself, your body, your mind, and your soul, mulai sekarang.

*

Kebanyakan orang mungkin nggak tahu harus mulai dari mana. Lo mungkin sering banget dengerin soal love yourself bla bla bla bla. Tapi, harus mulai dari mana sih?


Itu juga yang jadi pertanyaan gue. Karena masing-masing orang beda.

Kayak misalnya ada orang yang menyebut mereka sedang melakukan praktik self-love dengan belanja misalnya. Beli sesuatu buat diri sendiri, shopping fashion, skin care, dan segala macem. Buat mereka mungkin memang itu adalah cara mereka mencintai diri sendiri. Tapi buat gue, kalau gue mengamalkan itu sebagai bentuk dari self-love, gue akan jadi boros jatuhnya. Karena di saat yang sama gue harus bayar hal-hal yang esensial kayak kosan sama transport misalnya. Jadi gue nggak punya banyak budget buat self-love beli skin care atau beli baju bagus gitu.

Mindset gue pada saat itu belum seperti sekarang. Mental gue nggak sesehat sekarang. Kalau saat itu gue ikutin orang-orang, ujung-ujungnya gue akan menyesali karena gue sudah buang-buang duit. Gue mulai menyalahkan diri sendiri karena boros. Ya karena mindset gue aja belum bener. Atau mungkin karena memang cara itu nggak bisa gue aplikasikan ke diri gue.

Ya self-love nggak selalu harus dengan memberikan reward pada diri lo sendiri dalam bentuk barang yang dibeli dengan uang sih sebenernya. Okelah mungkin gue juga kadang-kadang melakukan itu. Secara impulsif gue beli sepatu atau parfum gitu. Tapi buat gue itu nggak maksimal. Karena ya gue bukan mereka.

Lalu apa yang gue lakukan?

Pertama gue akan tanya ke diri gue sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi pada hidup gue?

Oh, saat ini gue lagi nggak bisa fokus ke satu hal. Oh, gue lagi banyak banget mikirin hal-hal nggak penting. Gue selalu mendengarkan kata-kata negatif di kepala gue yang bikin gue down dan selalu memandang jelek ke diri gue. Gue toxic. Gue nggak perhatian sama diri gue sendiri secara mental.

Dari situ lo bisa liat kan, bahwa kebutuhan gue bukan soal baju baru atau skin care. Okelah di saat yang sama jerawat gue parah banget. Tapi itu adalah hal yang berbeda. Karena jujur aja setelah gue mulai jerawatan di sekitar tahun 2018an gitu, gue udah coba banyak banget skin care dan nggak ada yang berhasil. Gue curiganya karena mental gue nggak sehat. Jadi gue mau kayak gimana juga jerawat gue akan tetap muncul.

Sekali lagi, ini gue ya, mungkin beda sama lo atau orang.

Nah kembali lagi ke paragraf sebelumnya soal “Apa yang terjadi dalam hidup gue?”, gue mulai untuk mengurai satu per satu masalahnya. Caranya gimana? Gue punya banyak banget notes di kosan dan di kantor yang selama ini numpuk tanpa dipakai dan selalu kosong. Dulu waktu SMP dan SMA gue suka banget nulis buku harian dan saat itu gue akhirnya memanfaatkan notes-notes itu untuk jadi buku harian. Gue sebelumnya selalu nulis di notes handphone tapi kali ini gue kembali pake pulpen dan nulis di kertas.

It feels really good.

Gue mulai mengurai apa yang ada di kepala gue. Setiap kali muncul perasaan-perasaan aneh, bisikan-bisikan, atau perasaan-perasaan apapun (biasanya munculnya dalam bentuk kalimat sih) gue akan tulis. Gue akan tulis sampai mana itu kalimat berhenti. Sekali lagi ini, ini gue ya. Kalimat-kalimat itu biasanya keluar dalam bentuk potongan-potongan sajak gitu. Isinya bisa ketebak sih: cinta yang nggak sampai, perasaan yang nggak terungkapkan, penyesalan, sakit hati, air mata, keinginan untuk memulai lagi, pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana kalau…”, dan segala hal random yang muncul di kepala gue dan numpuk itu gue berusaha untuk mengurai satu per satu. Gue tulis dan sejijik apapun itu akhirnya, gue membiarkan tangan gue dan isi kepala gue sinkron pada saat itu dan mengizinkan mereka berkolaborasi buat menuliskan apa yang mereka ingin ungkapkan.

Kadang-kadang dalam satu menit, itu bisa berbagai hal yang berbeda. Misalnya kayak sekarang mungkin gue bisa nulis soal kerinduan untuk memiliki teman ngobrol misalnya, tapi semenit kemudian topiknya bisa berubah jadi kayak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kalau gue sama dia bersama. Nanti di menit berikutnya bisa jadi penyesalan yang muncul. Begitu terus. Tapi nggak apa-apa, apa yang muncul di kepala pada saat itu akan gue coba tulis. Dan kalau gue udah capek nulis, gue akan ngomong sendiri dan gue rekam.

Yang pasti apapun caranya, gimana pun caranya, tujuannya adalah untuk mengurai suara-suara di kepala gue, dan membuat pikiran gue jadi lega.

Dan jujur aja, setelah berbulan-bulan melakukan itu, gue nggak pernah selega sekarang.

Gue bukan orang yang sangat terbuka ke temen-temen gue soal hal-hal yang sangat pribadi. Jadi cara ini adalah sebuah metode yang benar-benar ampuh untuk gue yang sebenarnya sangat suka cerita, tapi takut, karena reaksi orang pasti nggak selalu sesuai dengan apa yang gue harapkan. Tapi kertas dan rekorder handphone nggak akan nge-judge dan bereaksi berlebihan ke lo.

Ini agak jahat sih, karena kayaknya gue nge-judge banget temen-temen gue nggak bisa ngerti, tapi untuk yang satu ini gue memilih egois aja deh. Gue keep sendiri aja, dan tulis aja, yang penting tujuannya tersampaikan.

Jadi kesimpulannya, metode self-love pertama gue: melepaskan emosi, melegakan pikiran, membebaskan diri dari kekhawatiran-kekhawatiran dan pikiran yang tidak perlu.


Jujur aja nih, kalau lo hidup sendiri, ketidakpastian soal hidup tuh rasanya kayak… selalu ada gitu. Apalagi buat orang yang cenderung overthinking kayak gue. Bukannya gue nggak suka hidup sendiri dan tinggal sendirian di kosan, gue seneng banget malah karena gue bisa melakukan apapun yang gue mau tanpa harus bentrok dengan kepentingan siapapun, tapi memang ada kalanya kayak lo ngerasa sepi aja gitu. Dan ketika lo merasa sepi, lo pasti deh kepikiran soal masa depan. Ketidakpastian yang ada di ujung sana. Apa yang terjadi besok. Apa yang akan terjadi lusa. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Menulis perasaan-perasaan yang ada di kepala lo saat itu juga sangat membantu lo untuk menyadari bahwa semuanya cuma ada di dalam pikiran lo. Kenyataan yang ada sekarang bukan apa yang ada di dalam pikiran lo. Tapi apa yang sedang terjadi di sekitar lo.

Saat ini kepala gue mungkin bisa mikirin seratus ketidakpastian yang bikin gue khawatir, tapi itu cuma ada di kepala gue dan itu bukan realita. Realitanya adalah gue sedang ngetik di atas keyboard laptop gue yang gue kasih nama Junmin, gue lagi dengerin lagu barunya Evanescence (judulnya The Game Is Over BAGUS BANGET GUYS LAGUNYA BENERAN!), dan gue lagi nulis blog tentang self-love dengan judul merasa cukup itu cukup, sambil sesekali nyedot kopi item yang gue bikin sendiri dan mengucapkan keras-keras setiap kata yang gue ketik.

Itu realita.

Yang di pikiran gue soal bagaimana hidup akan berjalan, apakah jalanan nanti akan macet, bagaimana gue bisa dapat uang tambahan buat bayar listrik, siapa yang akan jadi pasangan gue nanti, apakah masih ada cukup waktu di dunia untuk bisa dinikmati, sampai kapan corona ini akan berakhir, dll dll dll itu cuma ada di kepala lo aja. Dan buat apa dipikirin sih? Pada akhirnya semua itu akan lo hadapi kok. Tapi nanti. Yang sekarang, realitanya, ya dijalani sekarang.

Simpel gak sih kedengerannya?

YES.

TAPI, NGGAK SESIMPEL ITU MELAKUKANNYA. YES GUE TAHU.

Gue nggak bilang gue udah jago, tapi ya, sekarang udah mulai terbiasa.

Motto gue saat ini adalah: jalani hari ini sebaik-baiknya, lakukan semua yang harus dilakukan hari ini. Yang besok, dipikirinnya besok aja.

Done.

ZEN!

Gue juga kayak kebanyakan orang kok. Gue pengen punya banyak uang. Gue pengin nggak mikirin bagaimana harus bayar ini itu. Gue pengen tinggal di apartemen dengan balkon jadi kalo mau bikin OOTD keliatannya bagus. Gue pengen bisa Netflix and chill setiap saat. Gue pengen ini. Gue pengen itu.

Nggak ada abisnya.

Gue juga pengen hidup ideal dan sebaik-baiknya. Tapi apakah ketika akhirnya gue mendapatkan semua keinginan itu pada akhirnya akan membuat gue merasa puas? Gue rasa enggak. Ya mungkin punya banyak uang dan kaya raya bisa bikin gue paling nggak tidak khawatir dengan tagihan-tagihan. Tapi tidak menjamin juga itu akan membuat gue puas dan merasa hidup gue sudah ideal dan sudah baik.

Gue nggak punya semua itu, tapi saat ini gue bisa bilang gue dalam kondisi yang cukup. Dan anehnya, itu membuat gue merasa senang, tenang, dan bahagia.

*

Berbarengan dengan gue menuliskan isi kepala gue di notes, gue juga mendukung self-love gue, sekaligus ini adalah cara selanjutnya, dengan makan apapun yang ingin gue makan.

Ini bukan Ron banget sebenarnya.

Dulu gue anaknya benar-benar tidak pernah mengikuti keingin hati soal makanan. Gue makan yang penting aja. Makan siang, makan malam. Dan yang penting makan. Gue nggak pernah terlalu mikirin lauknya harus apa, kombinasinya harus gimana. Gue tipe orang yang kalau udah suka sama satu hal, gue akan pilih itu terus. Buat gambaran aja nih, selama puasa 2020 ini, gue makan sahur selalu pake tempe orek dan ikan tongkol yang gue beli di warung dekat kosan. Selama sebulan gitu terus. Dan suatu hari ketika gue makan ayam, wow, WOWWWWWW, ENAK BANGET COY! WKWKWKKWKW KAYAK GUE GAK PERNAH MAKAN AYAM SEENAK ITU. Jadi sekarang gue nggak lagi membatasi diri soal makanan. Sebenarnya ya nggak pernah dibatasi sih, tapi lebih kayak… menahan diri untuk nggak berlebihan sebenarnya. Sesekali makan berlebihan itu enak juga kok. Hehehehehe.


Selain itu, gue juga lagi seneng banget Yoga belakangan ini. Sejak Maret atau April gitu gue mulai melakukan Yoga sendiri di kosan dengan dipandu video YouTube. Lo mungkin salah satu orang yang skeptis juga sama kayak gue. Ketika gue mendengar orang lain ngomong soal “Olahraga tuh penting! Bagus buat tubuh lo! Bagus buat mental lo!” gue nggak pernah percaya. Sampai akhirnya gue sakit dan gue merasa kalau gue harus mulai olahraga apapun caranya karena kalau nggak, badan gue akan terus sakit. Salah satu olahraga yang dari dulu gue sangat ingin coba adalah Yoga. Dan ternyata cocok! BANGET! BANGET! Gue suka banget! Dan gue merasakan banyak banget manfaatnya. Terutama buat orang yang kehilangan keseimbangan sejak sebelum operasi dan setelah operasi kayak gue.

Setelah operasi, jangankan berdiri dengan satu kaki, berdiri dengan dua kaki aja gue masih harus dibantu kaki ketiga alias tongkat. Tapi setelah gue Yoga, keseimbangan tubuh gue jadi membaik. Yang paling penting dan paling gue rasain sebenarnya sih gue kayak merasa sehat aja gitu. Yang kayak gue bilang tadi, gue nggak pernah merasa sesehat ini sebelumnya. Sumpah. Kalau ada hal yang sangat berkontribusi buat good vibe yang gue rasakan sekarang, Yoga adalah salah satu hal paling besar kontribusinya.

Oh satu hal lagi yang penting: pindah kosan. Gue merasa ini juga memberikan impact yang sangat besar dalam bagaimana gue menjalani dan melihat hidup. Berada di lingkungan yang lebih baik dan lebih bersih, buat gue, terbukti meningkatkan kesehatan jiwa dan raga. Jadi gue rasa ini bisa diaplikasikan ke dalam hal-hal lain kayak misalnya keluar dari kondisi lingkungan yang toxic. HEHE.

Jadi untuk sekarang kalau IU nanya setiap dia nyanyi Eight “So are you happy, now?” gue akan jawab “Yes. Definitely.”

Gue nggak pernah merasa sebahagia ini. Secukup ini. Dan merasa cukup itu cukup.

Nuff said.


Share:

0 komentar